Rabu, 08 Februari 2017

Tubuh

Koleksi Museum di Berlin, Jerman
Digagas oleh Gunther von Hagens & Angelina Whalley 

Tidak, Lexie, aku baik-baik saja. Memang kemarin-kemarin aku terserang influenza tapi hari ini kondisiku sudah lebih baik. Hidungku sudah berhenti memproduksi lendir dan batukku juga agak mereda. Suhu tubuhku sudah lebih stabil sekarang. Kamu sendiri, apa kabarmu? Lama tak berjumpa. Ah, syukurlah jika kamu sehat.

Oh, benarkah? Kamu juga terserang influenza. Ya, memang rasanya cukup merepotkan. Kadang itu sangat menggaggu aktifitas. Kita sama-sama pernah influenza namun tentu rasanya berbeda. Memang. Kita diserang virus yang sama, virus influenza. Gejalanya boleh jadi sama. Hidung berlendir, kepala pusing, suhu tubuh naik, nyeri pada persendian, demam, dan yang lainnya. Semua orang juga tahu gejala-gejala itu. Kalau kamu bertanya pada dokter pun, ia akan menjawab sama. Tapi yang kumaksud bukan itu. Sebagaimana samanya kita mengalami suatu peristiwa, rasa, kesan, impresinya tetap saja berlainan.

Ini tentang pengalaman tubuh, Lexie. Tubuhmu dan tubuhku berbeda, maka apa-apa yang menimpa kita, meski hal itu sama, respon dan kesan yang ditinggalkannya akan berbeda. Tubuh itu privat, Lexie. Aku kira kita sepakat akan hal itu. Oh, jangan salah paham. Ini bukan perkara jenis kelamin. Memang itu pun patut diperhitungkan. Kita tak bisa menghilangkan soal jenis kelamin begitu saja demi alasan yang lebih filosofis. Kupikir ini bukan sesuatu yang bijak. Tapi ada hal-hal lain yang agaknya cukup kuat menembus soal perbedaan jenis kelamin. Seperti penindasan, misalnya. Ketidakadilan, kekejaman, dan tentu saja cinta. Bagaimanapun, penindasan, ketidakadilan, kekejaman adalah demikian, pada jenis kelamin apa pun.  Hahaha... ya, kita sudah lama sepakat tentang hal ini, bahwa cinta bukan melulu soal jenis kelamin, bukan hanya persoalan bawah perut belaka. Seks dan kasih sayang itu dua hal yang berbeda, demikian yang kubaca dalam sebuah teks drama.

Kamu benar. Aku sepakat. Seks itu penting, baik sebagai media reproduksi, pelestarian spesies atau sebagai kenikmatan tubuh. Sakral atau profan, prokreasi atau rekreasi, peristiwa ketubuhan seks ya begitu adanya. Kamu lebih paham dariku tentang bagaimana kebudayaan-kebudayaan kuno menaruh perhatian cukup besar pada soal seks. Tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan hal-hal yang transenden. Ilahiah. Tapi apakah itu berarti cinta dan seks berbanding lurus? Kupikir tidak. Oke, baiklah. Kita bukan sedang ingin membahas ihwal seks. Tapi berbicara tentang tubuh, seks adalah bagian darinya. Bukankah seks juga adalah peristiwa ketubuhan yang nyata? Ada perjumpaan tubuh di sana. Dan meski pun demikian, kesan, atau kenikmatan, antar tubuh pelaku hubungan seks jelas berbeda, kupikir.

Ini yang kumaksud dengan pengalaman tubuh, Lexie. Apakah kamu benar-benar bisa merasakan sakitnya tubuhku ketika aku diserang influenza, meski kamu sudah pernah diserang virus yang sama? Dan apakah aku bisa merasakan nikmatnya orgasmemu meski kita berdua melakukan hubungan seks dan sama-sama orgamse?

Ketika kamu bilang “Aku bisa turut meraskan sakitmu karena aku pun pernah mengalami hal itu”, sejatinya pada saat itulah kamu memanggil kembali ingatan tentang sakit yang pernah menimpa tubuhmu. Itu memori rasa sakitmu, pada tubuhmu. Bukan sakitku pada tubuhku. Jadi ketika kamu mengucapkan itu, sebenarnya kamu sedang mengingat-ingat saja, memanggil ingatan, mencarinya di arsip biografi tubuhmu sendiri.

Aku sering heran mendengar kata empati atau simpati dalam konteks ketubuhan. Sampai sekarang aku belum benar-benar memahami makna kedua kata itu dan bagaimana menggunakannya. Tolong ambilkan kamusku. Sebentar. Nah, ini dia. Empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Sedang simpati berarti keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Atau ia juga berarti rasa kasih; rasa setuju; rasa suka. Demikian menurut kamus.

Aha, barangkali kamu bisa melengkapi definisi etimologisnya. Ya, dari salah satu sumber saja. Ini untuk sebatas memperkaya pemahaman kita saja. Yunani? Maksudmu kata empati dan simpati berasal dari bahasa Yunani Kuno? Empatheia. Symphateia. Artinya? Oh, jadi ada yang mengartikan bahwa empati berasa dari kata empatheia yang berarti ketertarikan, dan ada pula yang mengatakan bahwa empati berasal dari kata Em dan Pathos. Em berarti masuk, turut, ikut dan Pathos berarti derita. Kupikir, pendapat  yang kedua cukup mirip dengan makna leksikalnya. Dan sympatheia? Oh, sama. Sym bermakna sama-sama, dan pathos berarti derita. Berarti sama-sama menderita. Hmmm...

  Aku tetap pada pendirianku. Pengalaman tubuh itu privat. Empati dan simpati hanya berlaku dalam tataran perasaan saja, kupikir. Jika dalam hal perasaan dan pemikiran, itu jelas bisa melampaui apa pun. Jangankan jenis kelamin, ruang dan waktu bisa jadi tak berarti dalam konteks memahami perasaan dan pemikiran. Meski begitu, tetap saja mustahil lolos dari interpretasi. Maksudku, ketika kamu seolah memahami pemikiranku, atau perasaanku, pemahamanmu itu adalah interpretasimu, tafsirmu. Ini masih bisa mungkin sebab perasaan dan pemikiran itu imateril. Liquid dan mungkin untuk terabsorsi. Sedang dalam konteks tubuh yang materil ini, memiliki  pengalaman tubuh “liyan” kupikir adalah hal yang agak khayali. Mustahil. Sebab pengalaman tubuh inheren pada tubuh itu sendiri dan unsubstituable.

Rengganis,

8 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...