Koleksi Museum di Berlin, Jerman
Digagas oleh Gunther von Hagens & Angelina Whalley
Tidak, Lexie, aku baik-baik saja. Memang
kemarin-kemarin aku terserang influenza tapi hari ini kondisiku sudah lebih
baik. Hidungku sudah berhenti memproduksi lendir dan batukku juga agak mereda.
Suhu tubuhku sudah lebih stabil sekarang. Kamu sendiri, apa kabarmu? Lama tak
berjumpa. Ah, syukurlah jika kamu sehat.
Oh, benarkah? Kamu juga terserang influenza. Ya,
memang rasanya cukup merepotkan. Kadang itu sangat menggaggu aktifitas. Kita
sama-sama pernah influenza namun tentu rasanya berbeda. Memang. Kita diserang
virus yang sama, virus influenza. Gejalanya boleh jadi sama. Hidung berlendir,
kepala pusing, suhu tubuh naik, nyeri pada persendian, demam, dan yang lainnya.
Semua orang juga tahu gejala-gejala itu. Kalau kamu bertanya pada dokter pun,
ia akan menjawab sama. Tapi yang kumaksud bukan itu. Sebagaimana samanya kita
mengalami suatu peristiwa, rasa, kesan, impresinya tetap saja berlainan.
Ini tentang pengalaman tubuh, Lexie. Tubuhmu dan
tubuhku berbeda, maka apa-apa yang menimpa kita, meski hal itu sama, respon dan
kesan yang ditinggalkannya akan berbeda. Tubuh itu privat, Lexie. Aku kira kita
sepakat akan hal itu. Oh, jangan salah paham. Ini bukan perkara jenis kelamin.
Memang itu pun patut diperhitungkan. Kita tak bisa menghilangkan soal jenis
kelamin begitu saja demi alasan yang lebih filosofis. Kupikir ini bukan sesuatu
yang bijak. Tapi ada hal-hal lain yang agaknya cukup kuat menembus soal
perbedaan jenis kelamin. Seperti penindasan, misalnya. Ketidakadilan,
kekejaman, dan tentu saja cinta. Bagaimanapun, penindasan, ketidakadilan,
kekejaman adalah demikian, pada jenis kelamin apa pun. Hahaha... ya, kita sudah lama sepakat tentang
hal ini, bahwa cinta bukan melulu soal jenis kelamin, bukan hanya persoalan
bawah perut belaka. Seks dan kasih sayang itu dua hal yang berbeda, demikian
yang kubaca dalam sebuah teks drama.
Kamu benar. Aku sepakat. Seks itu penting, baik
sebagai media reproduksi, pelestarian spesies atau sebagai kenikmatan tubuh. Sakral
atau profan, prokreasi atau rekreasi, peristiwa ketubuhan seks ya begitu
adanya. Kamu lebih paham dariku tentang bagaimana kebudayaan-kebudayaan kuno
menaruh perhatian cukup besar pada soal seks. Tak sedikit pula yang mengaitkannya
dengan hal-hal yang transenden. Ilahiah. Tapi apakah itu berarti cinta dan seks
berbanding lurus? Kupikir tidak. Oke, baiklah. Kita bukan sedang ingin membahas
ihwal seks. Tapi berbicara tentang tubuh, seks adalah bagian darinya. Bukankah
seks juga adalah peristiwa ketubuhan yang nyata? Ada perjumpaan tubuh di sana.
Dan meski pun demikian, kesan, atau kenikmatan, antar tubuh pelaku hubungan
seks jelas berbeda, kupikir.
Ini yang kumaksud dengan pengalaman tubuh, Lexie.
Apakah kamu benar-benar bisa merasakan sakitnya tubuhku ketika aku diserang
influenza, meski kamu sudah pernah diserang virus yang sama? Dan apakah aku
bisa merasakan nikmatnya orgasmemu meski kita berdua melakukan hubungan seks
dan sama-sama orgamse?
Ketika kamu bilang “Aku bisa turut meraskan sakitmu
karena aku pun pernah mengalami hal itu”, sejatinya pada saat itulah kamu
memanggil kembali ingatan tentang sakit yang pernah menimpa tubuhmu. Itu memori
rasa sakitmu, pada tubuhmu. Bukan sakitku pada tubuhku. Jadi ketika kamu
mengucapkan itu, sebenarnya kamu sedang mengingat-ingat saja, memanggil
ingatan, mencarinya di arsip biografi tubuhmu sendiri.
Aku sering heran mendengar kata empati atau simpati
dalam konteks ketubuhan. Sampai sekarang aku belum benar-benar memahami makna
kedua kata itu dan bagaimana menggunakannya. Tolong ambilkan kamusku. Sebentar.
Nah, ini dia. Empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau
mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang atau kelompok lain. Sedang simpati berarti keikutsertaan merasakan
perasaan orang lain. Atau ia juga berarti rasa kasih; rasa setuju; rasa suka.
Demikian menurut kamus.
Aha, barangkali kamu bisa melengkapi definisi
etimologisnya. Ya, dari salah satu sumber saja. Ini untuk sebatas memperkaya
pemahaman kita saja. Yunani? Maksudmu kata empati dan simpati berasal dari
bahasa Yunani Kuno? Empatheia. Symphateia. Artinya? Oh, jadi ada yang
mengartikan bahwa empati berasa dari kata empatheia yang berarti ketertarikan,
dan ada pula yang mengatakan bahwa empati berasal dari kata Em dan Pathos. Em berarti
masuk, turut, ikut dan Pathos berarti derita. Kupikir, pendapat yang kedua cukup mirip dengan makna
leksikalnya. Dan sympatheia? Oh, sama. Sym bermakna sama-sama, dan pathos
berarti derita. Berarti sama-sama menderita. Hmmm...
Aku tetap pada pendirianku. Pengalaman tubuh
itu privat. Empati dan simpati hanya berlaku dalam tataran perasaan saja,
kupikir. Jika dalam hal perasaan dan pemikiran, itu jelas bisa melampaui apa pun.
Jangankan jenis kelamin, ruang dan waktu bisa jadi tak berarti dalam konteks
memahami perasaan dan pemikiran. Meski begitu, tetap saja mustahil lolos dari
interpretasi. Maksudku, ketika kamu seolah memahami pemikiranku, atau
perasaanku, pemahamanmu itu adalah interpretasimu, tafsirmu. Ini masih bisa
mungkin sebab perasaan dan pemikiran itu imateril. Liquid dan mungkin untuk
terabsorsi. Sedang dalam konteks tubuh yang materil ini, memiliki pengalaman tubuh “liyan” kupikir adalah hal
yang agak khayali. Mustahil. Sebab pengalaman tubuh inheren pada tubuh itu sendiri dan unsubstituable.
Rengganis,
8 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar