Sabtu, 09 Juli 2016

Lebaran


Lebaran

Lebaran tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya itu yang terjadi di keluarga saya. Selain tentang hal keabsenan beberapa saudara yang tidak bisa mudik tahun ini, ada hal juga yang mengganjal di hati. Sepintas barangkali ini bukan perkara besar setidaknya itu bagi sebagian besar orang, namun bagi saya perkara ini tetap agak mengganggu. Ini tentang kuliner.

Kuliner yang merupakan salah satu bagian integral dari kebudayaan memang mustahil dinihilkan dari kehidupan manusia. Manusia dengan segala kecerdasannya tak hanya berpikir tentang bagaimana membuat bangunan megah semisal candi, membuat karya sastra masterpiece serupa kitab sutasoma, atau berpikir rumit tentang filosofi hidup. Manusia juga sudah sejak lama berpikir keras tentang memanjakan lidah.

Kuliner yang merupakan intangible heritage ini tak pernah absen dalam sebuah profil budaya daerah tertentu. Berbicara Yogya tak mungkin melupakan Gudeg. Berbicara Madura tak mungkin melewatkan Sate dan barang tentu tiap daerah memiliki hal yang serupa dengan Yogya dan Madura itu. Selain bentang alam, letak geografis dan administratif, kesenian, bahasa, sistem sosial, adat istiadat, kuliner juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah masyarakat. Ia memiliki kemelekatan yang tinggi dengan masyarakat sebab terlibat langsung dalam keseharian mereka. Bahkan kuliner Nusantara tak luput dari pemaknaan filosofis yang dianut pada sebuah  kebudayaan. Dari mulai bahan dasar, cara dan waktu pembuatan serta momentum kuliner tersebut disajikan dalam masyarakat merupakan suatu kekhasan tersendiri. Namun seiring berlarinya jaman, kekhasan kuliner ini hampir sirna. Hampir tak ada istilah makan istimewa bagi masyarakat perkotaan sebab kini jenis makanan apa pun bisa didapatkan dengan mudah.  

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Idul Fitri merupakan salah satu momen terpenting dalam siklus kehidupan masyarakat. Idul Fitri pada awalnya memang milik orang Islam, namun sejalan kemesraannya dengan Nusantara, Idul Fitri sudah menjadi semacam adat istiadat, lebih menjadi ritus budaya yang akhirnya bukan hanya menjadi milik muslim semata namun menjadi milik rakyat Indonesia, apa pun agamanya. Idul Fitri bukan sebatas momentum keagamaan Islam. Bahkan kini esensi Idul Fitri sebagai suatu ritus ibadah, momentum perayaan kemenangan umat Islam yang telah berjihad melawan hawa nafsu mereka sendiri selama sebulan puasa Ramadhan telah mulai ditinggalkan. Kalau pun ada yang demikian, itu tak lebih dari sekedar ceramah pemuka agama, hanya ceramah. Esensi Idul Fitri kiranya menjadi milik personal sebab saum adalah privasi. Saum adalah murni urusan si A dan Tuhannya saja, tanpa melibatkan pak RT, pak Camat bahkan Presiden sekalipun. Plastisitas agama telah membuatnya dinamis. Lebaran di Arab Saudi pastilah berbeda dengan di Jawa Barat. Pun dalam hal kuliener khas Idul Fitri.

Barangkali hampir di seluruh wilayah Nusantara, ketupat adalah sajian yang mustahil dilupakan ketika lebaran. Bahkan dibeberapa keluarga, membuat dan menyantap ketupat lebih wajib dari pada puasa itu sendiri. Tidak ikut puasa ketika Ramadhan tidak masalah, yang penting ikut menyantap ketupat saat lebaran. Warga Priangan, Jawa Barat mengenal ketupat dengan istilah kupat. Panganan ini bisa ditemukan tiap harinya di pedagang kupat tahu atau lengko ayam dan lengko sapi. Pada kupat tahu, sesuai namanya, ketupat ini biasa disajiakan bersama tahu goreng, toge dan bumbu khusus yang berbahan dasar kacang tanah ditambah sedikit kecap dan sambal cabe jika memang menghendaki pedas. Sajian ini biasanya ditambah dengan sedikit kerupuk.

Lengko sapi dan lengko ayam punya cerita lain. Panganan lezat ini terdiri dari kupat, toge dan kuah berbumbu khusus dengan campuran daging ayam atau sapi, ditambah sedikit kecap dan kerupuk tentunya. Namun meski kupat sudah sangat akrab dalam keseharian masyarakat Priangan, tapi kupat saat lebaran punya cerita sendiri. Keberadaan kupat saat lebaran, entah mengapa, punya rasa tersendiri. Ia bahkan  kemudian menjadi semacam simbol Idul Fitri di Indonesia. Natal disimbolkan dengan pohon natal. Imlek dengan salah satu binatang dari dua belas binatang dalam shio Tiongkok. Maka lebaran dengan ketupat dan juga bedug tentunya.

Dalam tradisi keluarga saya, menyantap ketupat di hari lebaran hampir wajib hukumnya. Lebaran tanpa ketupat ibarat berhaji tanpa pergi ke Madinah, meski tak wajib namun janggal jika tak dilakoni. Ketupat lebaran biasanya dihidangkan dengan berbagai panganan lainnya yang hukum keberadaannya sama seperti ketupat, hampir wajib.  Opor ayam, gepuk daging sapi, sayur cabai hijau (kami menyebutnya besengek), dan sambal goreng kentang. Itulah deretan makanan yang hampir wajib ada tiap kali lebaran tiba. Makanan itu biasanya kami santap selepas berziarah ke makam leluhur.  Makanan itu pula yang kami sajikan sebagai hidangan penyambut tamu.

Nah, selepas meninggalnya salah satu leluhur kami, suasana lebaran menjadi sedikit berbeda. Sakralitas kuliner yang saya sebutkan di atas lambat laun menurun. Bahkan lebaran taun kemarin, kami bersantap ketupat tanpa opor ayam. Seingat saya ini kali pertama kami merayakan tanpa opor ayam pada hari H, meski dua hari berikutnya kami membuat opor ayam juga, namun suasananya sudah lain sebab momentumnya sudah bergeser. Kesatuan ruang, waktu dan peristiwa sudah berbeda meski hanya sehari dua hari saja. Kehilangan opor ayam pada hari H bagi saya merupakan kejanggalan yang sangat. Lebaran sebagai tradisi menjadi serasa aneh. Lebaran menjadi seperti hari-hari biasa saja. Selera makan saya pun jelas berkurang. Bagi saya bahkan lebih baik tak ada hidangan istimewa sama sekali ketimbang keberadaannya tidak utuh.

Opor ayam, gepuk daging sapi, ketupat, besengek dan sambal goreng kentang pada lebaran bagi saya lebih dari sekedar kuliner. Mereka mengandung nilai historis yang mampu menyambungkan saya dengan masa lalu ketika keluarga saya masih utuh. Keberadaan mereka mampu membangkitkan kepekaan saya atas pemaknaan lebaran, pemaknaan Idul Fitri.

Alasan hilangnya opor ayam pada lebaran kemarin ialah penghematan dan kesederhanaan. Salah seorang kakak saya bersih keras untuk menangguhkan pembuatan opor ayam. Bagi saya segala sesuatu memiliki jodoh. Ada kesatuan ruang, waktu dan peristiwa yang jika digeser sedikit saja, maka hasilnya akan lain. Meski sebenarnya jika kita berbicara esensi, hakikat, semua wujud, semua waktu akan sama saja. Dari tanah kembali ke tanah. Kosong adalah isi, isi adalah kosong. Berhubungan dengan masa lalu tak harus menggunakan simbol sebab ingatan ada pada diri. Namun barangkali saya belum mampu memasuki tahap itu secara utuh. Saya masih mahluk yang membutuhkan simbol untuk membantu saya menikmati makna tertentu.


Tentang kesederhanaa, saya kira semua ada jodohnya. Ada kalanya kita musti sederhana, ada pula kalanya kita menikmati apa yang telah Tuhan anugrahkan pada kita. Bukankah menikmati anugrah pun bagian dari syukur dan ibadah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...