Lebaran
Lebaran tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
setidaknya itu yang terjadi di keluarga saya. Selain tentang hal keabsenan
beberapa saudara yang tidak bisa mudik tahun ini, ada hal juga yang mengganjal
di hati. Sepintas barangkali ini bukan perkara besar setidaknya itu bagi
sebagian besar orang, namun bagi saya perkara ini tetap agak mengganggu. Ini
tentang kuliner.
Kuliner yang merupakan salah satu bagian integral dari kebudayaan
memang mustahil dinihilkan dari kehidupan manusia. Manusia dengan segala
kecerdasannya tak hanya berpikir tentang bagaimana membuat bangunan megah
semisal candi, membuat karya sastra masterpiece
serupa kitab sutasoma, atau berpikir rumit tentang filosofi hidup. Manusia juga
sudah sejak lama berpikir keras tentang memanjakan lidah.
Kuliner yang merupakan intangible
heritage ini tak pernah absen dalam sebuah profil budaya daerah tertentu.
Berbicara Yogya tak mungkin melupakan Gudeg. Berbicara Madura tak mungkin
melewatkan Sate dan barang tentu tiap daerah memiliki hal yang serupa dengan
Yogya dan Madura itu. Selain bentang alam, letak geografis dan administratif,
kesenian, bahasa, sistem sosial, adat istiadat, kuliner juga merupakan bagian
tak terpisahkan dari sebuah masyarakat. Ia memiliki kemelekatan yang tinggi
dengan masyarakat sebab terlibat langsung dalam keseharian mereka. Bahkan
kuliner Nusantara tak luput dari pemaknaan filosofis yang dianut pada sebuah kebudayaan. Dari mulai bahan dasar, cara dan
waktu pembuatan serta momentum kuliner tersebut disajikan dalam masyarakat
merupakan suatu kekhasan tersendiri. Namun seiring berlarinya jaman, kekhasan
kuliner ini hampir sirna. Hampir tak ada istilah makan istimewa bagi masyarakat
perkotaan sebab kini jenis makanan apa pun bisa didapatkan dengan mudah.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Idul Fitri
merupakan salah satu momen terpenting dalam siklus kehidupan masyarakat. Idul
Fitri pada awalnya memang milik orang Islam, namun sejalan kemesraannya dengan
Nusantara, Idul Fitri sudah menjadi semacam adat istiadat, lebih menjadi ritus
budaya yang akhirnya bukan hanya menjadi milik muslim semata namun menjadi
milik rakyat Indonesia, apa pun agamanya. Idul Fitri bukan sebatas momentum
keagamaan Islam. Bahkan kini esensi Idul Fitri sebagai suatu ritus ibadah,
momentum perayaan kemenangan umat Islam yang telah berjihad melawan hawa nafsu
mereka sendiri selama sebulan puasa Ramadhan telah mulai ditinggalkan. Kalau
pun ada yang demikian, itu tak lebih dari sekedar ceramah pemuka agama, hanya
ceramah. Esensi Idul Fitri kiranya menjadi milik personal sebab saum adalah
privasi. Saum adalah murni urusan si A dan Tuhannya saja, tanpa melibatkan pak
RT, pak Camat bahkan Presiden sekalipun. Plastisitas agama telah membuatnya
dinamis. Lebaran di Arab Saudi pastilah berbeda dengan di Jawa Barat. Pun dalam
hal kuliener khas Idul Fitri.
Barangkali hampir di seluruh wilayah Nusantara, ketupat adalah
sajian yang mustahil dilupakan ketika lebaran. Bahkan dibeberapa keluarga,
membuat dan menyantap ketupat lebih wajib dari pada puasa itu sendiri. Tidak
ikut puasa ketika Ramadhan tidak masalah, yang penting ikut menyantap ketupat
saat lebaran. Warga Priangan, Jawa Barat mengenal ketupat dengan istilah kupat.
Panganan ini bisa ditemukan tiap harinya di pedagang kupat tahu atau lengko
ayam dan lengko sapi. Pada kupat tahu, sesuai namanya, ketupat ini biasa
disajiakan bersama tahu goreng, toge dan bumbu khusus yang berbahan dasar
kacang tanah ditambah sedikit kecap dan sambal cabe jika memang menghendaki
pedas. Sajian ini biasanya ditambah dengan sedikit kerupuk.
Lengko sapi dan lengko ayam punya cerita lain. Panganan lezat ini
terdiri dari kupat, toge dan kuah berbumbu khusus dengan campuran daging ayam
atau sapi, ditambah sedikit kecap dan kerupuk tentunya. Namun meski kupat sudah
sangat akrab dalam keseharian masyarakat Priangan, tapi kupat saat lebaran punya cerita sendiri. Keberadaan
kupat saat lebaran, entah mengapa, punya rasa tersendiri. Ia bahkan kemudian menjadi semacam simbol Idul Fitri di
Indonesia. Natal disimbolkan dengan pohon natal. Imlek dengan salah satu
binatang dari dua belas binatang dalam shio Tiongkok. Maka lebaran dengan
ketupat dan juga bedug tentunya.
Dalam tradisi keluarga saya, menyantap ketupat di hari lebaran
hampir wajib hukumnya. Lebaran tanpa ketupat ibarat berhaji tanpa pergi ke
Madinah, meski tak wajib namun janggal jika tak dilakoni. Ketupat lebaran
biasanya dihidangkan dengan berbagai panganan lainnya yang hukum keberadaannya
sama seperti ketupat, hampir wajib. Opor ayam,
gepuk daging sapi, sayur cabai hijau (kami menyebutnya besengek), dan sambal
goreng kentang. Itulah deretan makanan yang hampir wajib ada tiap kali lebaran
tiba. Makanan itu biasanya kami santap selepas berziarah ke makam leluhur. Makanan itu pula yang kami sajikan sebagai hidangan
penyambut tamu.
Nah, selepas meninggalnya salah satu leluhur kami, suasana lebaran
menjadi sedikit berbeda. Sakralitas kuliner yang saya sebutkan di atas lambat
laun menurun. Bahkan lebaran taun kemarin, kami bersantap ketupat tanpa opor
ayam. Seingat saya ini kali pertama kami merayakan tanpa opor ayam pada hari H,
meski dua hari berikutnya kami membuat opor ayam juga, namun suasananya sudah
lain sebab momentumnya sudah bergeser. Kesatuan ruang, waktu dan peristiwa
sudah berbeda meski hanya sehari dua hari saja. Kehilangan opor ayam pada hari
H bagi saya merupakan kejanggalan yang sangat. Lebaran sebagai tradisi menjadi
serasa aneh. Lebaran menjadi seperti hari-hari biasa saja. Selera makan saya
pun jelas berkurang. Bagi saya bahkan lebih baik tak ada hidangan istimewa sama
sekali ketimbang keberadaannya tidak utuh.
Opor ayam, gepuk daging sapi, ketupat, besengek dan sambal goreng
kentang pada lebaran bagi saya lebih dari sekedar kuliner. Mereka mengandung
nilai historis yang mampu menyambungkan saya dengan masa lalu ketika keluarga
saya masih utuh. Keberadaan mereka mampu membangkitkan kepekaan saya atas
pemaknaan lebaran, pemaknaan Idul Fitri.
Alasan hilangnya opor ayam pada lebaran kemarin ialah penghematan
dan kesederhanaan. Salah seorang kakak saya bersih keras untuk menangguhkan
pembuatan opor ayam. Bagi saya segala sesuatu memiliki jodoh. Ada kesatuan
ruang, waktu dan peristiwa yang jika digeser sedikit saja, maka hasilnya akan
lain. Meski sebenarnya jika kita berbicara esensi, hakikat, semua wujud, semua
waktu akan sama saja. Dari tanah kembali ke tanah. Kosong adalah isi, isi
adalah kosong. Berhubungan dengan masa lalu tak harus menggunakan simbol sebab
ingatan ada pada diri. Namun barangkali saya belum mampu memasuki tahap itu
secara utuh. Saya masih mahluk yang membutuhkan simbol untuk membantu saya
menikmati makna tertentu.
Tentang kesederhanaa, saya kira semua ada jodohnya. Ada kalanya kita
musti sederhana, ada pula kalanya kita menikmati apa yang telah Tuhan
anugrahkan pada kita. Bukankah menikmati anugrah pun bagian dari syukur dan
ibadah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar