Aduh, saya sudah berkali-kali menghapus
paragraf demi paragraf. Saya bingung, saya musti nulis apa. Tapi saya ingin
nulis. Jadinya, ya, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi. Dan begitu
sampai akhirnya dirasa tuntas meski sebenarnya tak pernah tuntas. Siklus itu
pun terjadi di Teater Tarian Mahesa Ciamis meski dengan musabab yang berbeda. Berproses,
pentas, bubar, proses, pentas, bubar, proses, pentas, bubar, dan begitu
seterusnya tiap kali pementasan. Bubar, maksudnya eks pemainnya tak lagi
berminat bergiat aktif di teater sebagai kerabat panggung.
TTMC bukan kelompok lama. Usianya belum
genap 10 tahun, tepatnya baru 7. Dalam perjalanan pendeknya, TTMC sudah sekian
kali pentas. Sekian kali pula saya dan beberapa sahabat lain memohon-mohon
teman atau temannya teman atau pacarnya teman buat ikut garapan teater sebagai
aktor atau pemusik. Syaratnya hanya satu, bersedia setia berproses setidaknya
hingga seluruh rangkaian pentas berakhir. Biasanya kami menutup rangkaian sebuah
produksi teater dengan syukuran berupa makan-makan semampu yang kami mampu. Dan
biasanya dari sekian yang kami ajak itu, kebanyakan hanya bertahan satu garapan
itu saja, setelahnya mereka lebih memilih menjadi penonton setia TTMC, atau
bantu-bantu saat pertunjukan berlangsung, atau kami pintai sumbangan kopi,
rokok, atau camilan, atau putus komunikasi sama sekali. Ada juga beberapa yang
bersedia ikhas mendermakan uangnya untuk membantu biaya produksi. Semoga Tuhan YMMH
(Yang Maha Murah Hati) membalas segala kebaikan mereka. Amin.
Mereka yang bertahan jumlahnya kalah jauh
dengan mereka yang memilih jadi penonton, donatur, atau bantu-bantu saat pentas
saja. Selama ini, sebagai keluarga tentu anggota keluarga besar TTMC makin
bertambah tetapi tetap saja kami selalu kesulitan mencari orang yang bersedia
terlibat intens berproses baik latihan rutin maupun latihan dengan tujuan
pentas. Bagi TTMC, barangkali lebih sulit mendapat aktor ketimbang mendapat dana
buat produksi. Untuk dana produksi, bisa saja kami pinjam uang dari seseorang
lantas dibayar kemudian dari hasil penjualan karcis. Asal jelas
hitung-hitungannya, selesai perkara. Lantas aktor? Logikanya tidak sesederhana
mengurus duit. Tentu, sebab yang diperkarakan ialah subjek yang bergerak,
berakal, dan berhasrat, ya, manusia, dengan segenap latar belakang dan
kompleksitasnya.
Sebab itu, saya dan beberapa kawan di TTMC
merasa perlu melakukan sesuatu agar krisis pemain ini tak berlarut-larut. Harus
ada strategi yang membumi buat menjaring orang bersedia turut serta. Kenapa harus
membumi? Sebab strategi jitu yang dilakukan Laskar Panggung di “bumi” Bandung,
Teater Koma di “bumi” Jakarta, Teater Garasi di “bumi” Yogyakarta, misalnya,
belum tentu cocok untuk diterapkan oleh TTMC di “bumi” Ciamis. Saya meyakini,
(kelompok) teater melekat dengan ruang dan waktu disaat dan di mana ia lahir
dan hirup. Butoh punya bentuk yang sedemikian dan mendunia seperti yang dikenal
sekarang lantaran ia lahir dan hidup di Jepang sejak pasca PD II. Kalau saja ia
lahir dan hidup di Kirgiztan pasca runtuhnya Soviet, tentu namanya tidak akan
Butoh dan bentuknya tidak akan sepeti yang kita kenal. Singkatnya, ia Butoh
karena ia di Jepang dan lahir sekitar 1950an.
Penacarian strategi pun terus dilakukan dan
pada Oktober 2017 mulailah kami melakukan penjaringan anggota baru. Gerbang
awalnya lokakarya “Sekilas Teater” dengan sasaran peserta yakni
komunitas-komunitas teater sekolah dan kampus. Lebih dari 50 orang mendaftar
sebagai peserta. Lokarya tanpa bayar alias gratis. Seluruh kebutuhan penyelenggaraan
kami hadirkan secara swadaya. Sistemnya gotong royong, siapa menyumbang apa
seseuai kehendak dan kemampuan. Waktu itu, tim penyelenggara masih segar dan
cukup fokus. Dari 50 lebih itu, ada 14 orang yang mendaftar anggota baru.
Setelah terdata, mereka-mereka lantas kami
arahkan untuk mengikuti kelas materi selama 2 hari 1 malam. Kemudian agenda
berlanjut ke latihan rutin. Dan di sinilah para calon anggota itu mulai
menyusut. Ketika memasuki tahap latihan pentas resital tinggal 5 orang tersisa
dan terus menyusut hingga akhirnya hanya 2 orang saja yang berhasil bertahan.
Aduh karya Putu Wijaya bukan dipilih tanpa
alasan. Ketika masih ber-12, naskah ini dipandang cocok karena direncanakan
akan lebih banyak bermain grouping. Akting per individu tidak membutuhkan kajian
dan teknik yang sukar, terlebih soal kedalaman. Sebagai pembelajaran, naskah
ini dirasa pas. Namun apa mau dikata, nyatanya mereka yang mendaftar itu
berguguran, hilang sama sekali.
Ketika itu, ketika para pemain Aduh ini
berguguran, mengganti naskah bukan pilihan tepat karena waktu yang makin
mendekati hari pentas. Dengan berbagai upaya, akhirnya Aduh berhasil digelar pada Minggu, 24
Desember 2017 di Gedung Pramuka Ciamis.
Di Ciamis memang tidak punya tradisi
berteater di kelompok independen. Umumnya teater subur di sekolah-sekolah dan
kampus. Di kedua tempat itu, masalah penjaringan sumber daya cenderung lebih
mudah dilakukan. Di sekolah, teater lebih menggiurkan. Selain memang terdapat
dapat intrakulikuler, tektek bengek proses dan pentasnya pun cenderung lebih
mudah diatasi. Ini bisa dipahami sebab teater sekolah atau kampus punya naungan
lembaga yang jelas, jaringannya jelas, sumber dayanya jelas, dan perkara sumber
dana tidak akan seburam teater independen.
Bertahan sebagai teater independen di
Kabupaten Ciamis memang ngeri-ngeri sedap. Tidak mudah tapi juga tidak
mustahil. Stategi penjaringan bisa berubah kapan saja dan bertahan saja tentu
bukan visi utama TTMC. Inginnya kami maju dan berkembang. Dan jurus kami untuk
bertahan adalah dengan terus maju dan berkembang. Semoga.
Panjalu, 27
Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar