Sabtu, 25 November 2017 nanti “Usik Puisi”
akan digelar di Ciamis, tepatnya di Studio Titik Dua Ciamis yang juga adalah
kediaman Mpu sastra Sunda, Godi Suwarna. Pada “Usik Puisi”, selain membedah
antologi puisi Léngkah milik Ari
Andriansyah juga rencananya akan dimeriahkan oleh pembacaan dan musikalisasi
puisi, serta pertunjukan tari dari Studio Titik Dua yang dinahkodai Rachmayati
Nilakusumah, S. Sn. serta beberapa sajian lainnya. Acara ini digagas oleh Rumah
Koclak yang dijenderali oleh penyair dan cerpenis dwi bahasa Toni Lesmana dan
Wida Waridah.
Beberapa waktu sebelumnya, di tempat yang sama,
diadakan pula Ibing Puisi. Acara yang digelar sejak sore itu berisi pembacaan
dan musikali puisi, bedah antologi puisi Hariweusweus
Leuweung Pineus karya Arom Hidayat oleh Lugiena De, pertunjukan tari,
musik, dan sajian pamungkas “Jaktar” atau Sajak Tari, sebuah kolaborasi dua
maestro : pembacaan sajak oleh Godi Suwarna dan tari oleh istri beliau,
Rachmayati Nilakusumah. Ada pula Komunitas Stand Up Comedy yang turut
memeriahkan selain Borangan (Ngabodor Sorangan) yang dibawakan langsung oleh
sang saestro, Taufik Faturohman yang juga sempat menghibur anak-anak dengan
sajian khasnya, sulap. Pada Sabtu, 30 September 2017 itu hadir pula penyair
Soni Farid Maulana yang selain berkisah tentang pengalamanya melanglang buana
ke mancanegara, juga membacakan beberapa puisinya. Beberapa kawan dari
Majelengka dan Kuningan pun hadir memeriahkan acara. Meski gerimis, tataan
ruang nan artistik oleh Sugih Bastaman berpadu tata cahaya karya Dasep
Sumardjani mampu menyihir penonton untuk betah berlama-lama hingga acara
berkahir pada tengah malam.
Panggung mungil di atas kolam kediaman Godi
Suwarna itu jadi saksi untuk sekian gelaran seni di Ciamis. Selain kegiatan
yang berisi pertunjukan-pertunjukan seni, Studio Titik Dua juga kerap dijadikan
tempat berbincang sastra, Majelis Sore Malam atau lebih dikenal dengan Marlam.
Marlam merupakan kegiatan pembacaan cerpen secara berantai kemudian dilanjutkan
dengan membincangkannya secara bebas. Tafsir teks cepen bisa sangat kaya dan
beragam karena masing-masing jemaah Marlam boleh menyuarakan interpretasinya
tanpa ada pembatasan ketat ala akademisi sastra. Selain cerpen, Marlam pernah
pula membaca novel Déng dalam terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh
Deri Hudaya. Kegiatan yang diinisiasi oleh Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC)
dan Rumah Koclak ini diadakan dua minggu sekali. Tempatnya berpindah-pindah. Padepokan
Seni Budaya Rengganis, Studio Titik Dua, Sekretariat LSM WISMA, kediaman
aktivis Maiyah, Deni Weje, dan Selasar Lab. Sejarah FKIP UNIGAL adalah sekian
tempat yang pernah dijadikan Majelis Sore Malam. Hingga Marlam terkahir,
majelis ini sudah dilaksanakan sebanyak 25 kali.
Ruang
Seni Plat Merah di Ciamis Kota
Ciamis punya kekayaan seni tradisional dan
adat istiadat yang luar biasa. Dari situ pula beberapa pengembangan dilakukan
lantas menjadikannya bentuk baru dengan ruh yang tetap terkait dengan akarnya.
Seniman Ciamis pun tak sedikit yang namanya dikenal baik di kancah Jawa Barat
maunpun nasional. Bahkan Godi Suwarna sudah sekian kali membacakan sajak-sajak
Sunda-nya di Eropa dan Australia. Yang terbaru, beliau tampil memukau dalam
Europalia Arts Fest di Brussels, Belgia pada Oktober 2017.
Sayangnya capaian-capaian yang
menggembirakan itu tidak menjadikan geliat kesenian di Ciamis cukup
menggembirakan, khususnya jika menilik ketersediaan sarana dan prasarana
kegiatan kesenian di wilayah Ciamis Kota. Ciamis Kota nyaris tak memiliki ruang
berkesenian yang representatif. Jika alun-alun Ciamis dijuduli sebagai art space, itu justru malah
pengkerdilan. Alun-alun Ciamis adalah ruang publik, artinya ruang milik publik,
milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan khusus untuk
kesenian semata. Alun-alun dengan ikon air mancur bunga bangkai itu lebih
menjadi tempat nongkrong dan
aktivitas perdagangan. Kegiatan seni hanya sesekali saja, itu pun biasanya
skala besar karena menggelar acara di ruang terbuka semacam alun-alun Ciamis
butuh biaya mahal, khususnya perijinan dan keamanan. Dan memang tak semua
bentuk dan jenis kesenian biasa ditampilkan di ruang publik ini.
Taman Lokasana yang terletak di Jl. K.H.
Ahmad Dahlan memang kabarnya diproyeksikan sebagai pemecah keramaian di wilayah
Ciamis Kota. Meski memiliki panggung permanen, fasilitas lain di taman yang pembangunannya dikabarkan menelan Rp3,5 milyar
dari APBD Provinsi Jabar ini memang lebih mengarah pada outdoor sport center. Sejak dibuka pada 2013, kawasan yang
pembangunannya tersandung kasus korupsi senilai Rp800 juta ini memang pernah
digunakan beberapa acara kesenian, khususnya konser-konser musik. Di Ciamis,
dan mungkin di tempat lain, musik modern nasibnya memang lebih baik ketimbang
tari, seni rupa, teater, sastra, dan musik tradisional. Ini bisa di pahami
karena musik modern memang sudah kokoh sebagai industri, sebagai sebuah
kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi. Dan inilah logika pemerintah.
Bila musik modern lebih leluasa
berekspresi, di lain sisi, keberadaan bangunan bernama Gedung Kesenian Ciamis
yang terletak di Jl. Ir. H. Djuanda belum mampu menjadi stimulus pendongkrak
geliat kegiatan kesenian di Ciamis, khusunya seni non-musik modern. Alasannya
barangkali karena gedung itu memang tidak memenuhi kualifikasi sebagai gedung
kesenian. Kualitas akustik yang buruk serta desain interior yang memang bukan
ditujukan untuk sebuah ruang pertunjukan atau pameran seni khusus, menjadikan sebagian seniman ogah menggunakannya. Menyewa Gedung
Kesenian Ciamis sama saja dengan menyewa gedung-gedung balai pertemuan atau
balai pernikahan lainnya di Ciamis, sama-sama harus menyiasati ruang jika
menghendaki ruang seni pertunjukan yang mendekati ideal. Hingga saat ini pun,
Gedung Kesenian Ciamis lebih sering digunakan untuk rapat, pertemuan, atau
kegiatan lain yang tak ada hubungan sama sekali dengan kesenian. Nasibnya
nyaris sama dengan Gedung Islamic Centre yang lebih sering digunakan acara
resepsi pernikahan ketimbang kegiatan keagamaan itu sendiri.
Penggunaaan gedung-gedung menjadi ruang
resepsi pernikahan atau rapat dan pertemuan lain yang tak sejalan dengan judul
atau nama gedung yang bersangkutan memang tidak masalah selama berimbang.
Artinya fungsi gedung itu sesuai namanya masih bisa dirasakan masyarakat. Bila
Gedung Kesenian Ciamis masih bisa dirasakan manfaatanya sebagai art space bagi masyarakat, dengan
mengesampingkan arsitektur gedung yang jauh panggang dari api itu, usailah satu
perkara. Persoalan arsitektur itu mungkin bisa diselesaikan bertahap bila memang
ada goodwill dari para pimpinan
pemegang kuasa anggaran.
Yang katanya ruang-ruang kesenian plat
merah nyatanya belum mampu mengoptimalkan dirinya. Dan sebagai manusia-manusia
(yang idealnya) merdeka, segelintir penggiat seni di Ciamis memilih menciptakan
art space-nya sendiri. Sekian nama
tempat dan acara yang digelar di dalamnya sebagaimana disebutkan diawal tulisan
ini nyaris seluruhnya bersifat swadaya. Memberi usul dan mengkritisi pemerintah
Ciamis lewat tulisan dan kata-kata ternyata belum cukup kuat untuk mengetuk
nalar dan nurani sang pemegang kuasa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
penyambung lidah rakyat rupa-rupanya masih ripuh
disandera kepentingan politik praktis, terlebih di tahun menjelang Pemilu
seperti sekarang ini.
Berharap pada pemerintah untuk berkebijakan
secara bijak, wajar saja sebab demikianlah relasi yang terjadi di negara
demokrasi. Selama logis dan berdasar, kritik dan saran adalah bagian dari
keikutsertaan masyarakat membangun daerahnya. Di sisi lain, menciptakan
ruang-ruang berkesenian non plat merah adalah perjuangan, upaya berkarya,
berkreasi sebab seniman tidak boleh mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar