Senin, 04 Desember 2017

Ciamis Art Space; mimpi yang panjang


Sabtu, 25 November 2017 nanti “Usik Puisi” akan digelar di Ciamis, tepatnya di Studio Titik Dua Ciamis yang juga adalah kediaman Mpu sastra Sunda, Godi Suwarna. Pada “Usik Puisi”, selain membedah antologi puisi Léngkah milik Ari Andriansyah juga rencananya akan dimeriahkan oleh pembacaan dan musikalisasi puisi, serta pertunjukan tari dari Studio Titik Dua yang dinahkodai Rachmayati Nilakusumah, S. Sn. serta beberapa sajian lainnya. Acara ini digagas oleh Rumah Koclak yang dijenderali oleh penyair dan cerpenis dwi bahasa Toni Lesmana dan Wida Waridah.
 
Beberapa waktu sebelumnya, di tempat yang sama, diadakan pula Ibing Puisi. Acara yang digelar sejak sore itu berisi pembacaan dan musikali puisi, bedah antologi puisi Hariweusweus Leuweung Pineus karya Arom Hidayat oleh Lugiena De, pertunjukan tari, musik, dan sajian pamungkas “Jaktar” atau Sajak Tari, sebuah kolaborasi dua maestro : pembacaan sajak oleh Godi Suwarna dan tari oleh istri beliau, Rachmayati Nilakusumah. Ada pula Komunitas Stand Up Comedy yang turut memeriahkan selain Borangan (Ngabodor Sorangan) yang dibawakan langsung oleh sang saestro, Taufik Faturohman yang juga sempat menghibur anak-anak dengan sajian khasnya, sulap. Pada Sabtu, 30 September 2017 itu hadir pula penyair Soni Farid Maulana yang selain berkisah tentang pengalamanya melanglang buana ke mancanegara, juga membacakan beberapa puisinya. Beberapa kawan dari Majelengka dan Kuningan pun hadir memeriahkan acara. Meski gerimis, tataan ruang nan artistik oleh Sugih Bastaman berpadu tata cahaya karya Dasep Sumardjani mampu menyihir penonton untuk betah berlama-lama hingga acara berkahir pada tengah malam.  
 
Panggung mungil di atas kolam kediaman Godi Suwarna itu jadi saksi untuk sekian gelaran seni di Ciamis. Selain kegiatan yang berisi pertunjukan-pertunjukan seni, Studio Titik Dua juga kerap dijadikan tempat berbincang sastra, Majelis Sore Malam atau lebih dikenal dengan Marlam. Marlam merupakan kegiatan pembacaan cerpen secara berantai kemudian dilanjutkan dengan membincangkannya secara bebas. Tafsir teks cepen bisa sangat kaya dan beragam karena masing-masing jemaah Marlam boleh menyuarakan interpretasinya tanpa ada pembatasan ketat ala akademisi sastra. Selain cerpen, Marlam pernah pula membaca novel Déng dalam terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Deri Hudaya. Kegiatan yang diinisiasi oleh Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) dan Rumah Koclak ini diadakan dua minggu sekali. Tempatnya berpindah-pindah. Padepokan Seni Budaya Rengganis, Studio Titik Dua, Sekretariat LSM WISMA, kediaman aktivis Maiyah, Deni Weje, dan Selasar Lab. Sejarah FKIP UNIGAL adalah sekian tempat yang pernah dijadikan Majelis Sore Malam. Hingga Marlam terkahir, majelis ini sudah dilaksanakan sebanyak 25 kali.
 
Ruang Seni Plat Merah di Ciamis Kota
 
Ciamis punya kekayaan seni tradisional dan adat istiadat yang luar biasa. Dari situ pula beberapa pengembangan dilakukan lantas menjadikannya bentuk baru dengan ruh yang tetap terkait dengan akarnya. Seniman Ciamis pun tak sedikit yang namanya dikenal baik di kancah Jawa Barat maunpun nasional. Bahkan Godi Suwarna sudah sekian kali membacakan sajak-sajak Sunda-nya di Eropa dan Australia. Yang terbaru, beliau tampil memukau dalam Europalia Arts Fest di Brussels, Belgia pada Oktober 2017.
 
Sayangnya capaian-capaian yang menggembirakan itu tidak menjadikan geliat kesenian di Ciamis cukup menggembirakan, khususnya jika menilik ketersediaan sarana dan prasarana kegiatan kesenian di wilayah Ciamis Kota. Ciamis Kota nyaris tak memiliki ruang berkesenian yang representatif. Jika alun-alun Ciamis dijuduli sebagai art space, itu justru malah pengkerdilan. Alun-alun Ciamis adalah ruang publik, artinya ruang milik publik, milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan khusus untuk kesenian semata. Alun-alun dengan ikon air mancur bunga bangkai itu lebih menjadi tempat nongkrong dan aktivitas perdagangan. Kegiatan seni hanya sesekali saja, itu pun biasanya skala besar karena menggelar acara di ruang terbuka semacam alun-alun Ciamis butuh biaya mahal, khususnya perijinan dan keamanan. Dan memang tak semua bentuk dan jenis kesenian biasa ditampilkan di ruang publik ini.
 
Taman Lokasana yang terletak di Jl. K.H. Ahmad Dahlan memang kabarnya diproyeksikan sebagai pemecah keramaian di wilayah Ciamis Kota. Meski memiliki panggung permanen, fasilitas lain di taman yang  pembangunannya dikabarkan menelan Rp3,5 milyar dari APBD Provinsi Jabar ini memang lebih mengarah pada outdoor sport center. Sejak dibuka pada 2013, kawasan yang pembangunannya tersandung kasus korupsi senilai Rp800 juta ini memang pernah digunakan beberapa acara kesenian, khususnya konser-konser musik. Di Ciamis, dan mungkin di tempat lain, musik modern nasibnya memang lebih baik ketimbang tari, seni rupa, teater, sastra, dan musik tradisional. Ini bisa di pahami karena musik modern memang sudah kokoh sebagai industri, sebagai sebuah kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi. Dan inilah logika pemerintah.
 
Bila musik modern lebih leluasa berekspresi, di lain sisi, keberadaan bangunan bernama Gedung Kesenian Ciamis yang terletak di Jl. Ir. H. Djuanda belum mampu menjadi stimulus pendongkrak geliat kegiatan kesenian di Ciamis, khusunya seni non-musik modern. Alasannya barangkali karena gedung itu memang tidak memenuhi kualifikasi sebagai gedung kesenian. Kualitas akustik yang buruk serta desain interior yang memang bukan ditujukan untuk sebuah ruang pertunjukan atau pameran seni  khusus, menjadikan sebagian seniman ogah menggunakannya. Menyewa Gedung Kesenian Ciamis sama saja dengan menyewa gedung-gedung balai pertemuan atau balai pernikahan lainnya di Ciamis, sama-sama harus menyiasati ruang jika menghendaki ruang seni pertunjukan yang mendekati ideal. Hingga saat ini pun, Gedung Kesenian Ciamis lebih sering digunakan untuk rapat, pertemuan, atau kegiatan lain yang tak ada hubungan sama sekali dengan kesenian. Nasibnya nyaris sama dengan Gedung Islamic Centre yang lebih sering digunakan acara resepsi pernikahan ketimbang kegiatan keagamaan itu sendiri.
 
Penggunaaan gedung-gedung menjadi ruang resepsi pernikahan atau rapat dan pertemuan lain yang tak sejalan dengan judul atau nama gedung yang bersangkutan memang tidak masalah selama berimbang. Artinya fungsi gedung itu sesuai namanya masih bisa dirasakan masyarakat. Bila Gedung Kesenian Ciamis masih bisa dirasakan manfaatanya sebagai art space bagi masyarakat, dengan mengesampingkan arsitektur gedung yang jauh panggang dari api itu, usailah satu perkara. Persoalan arsitektur itu mungkin bisa diselesaikan bertahap bila memang ada goodwill dari para pimpinan pemegang kuasa anggaran.
 
Yang katanya ruang-ruang kesenian plat merah nyatanya belum mampu mengoptimalkan dirinya. Dan sebagai manusia-manusia (yang idealnya) merdeka, segelintir penggiat seni di Ciamis memilih menciptakan art space-nya sendiri. Sekian nama tempat dan acara yang digelar di dalamnya sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini nyaris seluruhnya bersifat swadaya. Memberi usul dan mengkritisi pemerintah Ciamis lewat tulisan dan kata-kata ternyata belum cukup kuat untuk mengetuk nalar dan nurani sang pemegang kuasa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyambung lidah rakyat rupa-rupanya masih ripuh disandera kepentingan politik praktis, terlebih di tahun menjelang Pemilu seperti sekarang ini.    
 
Berharap pada pemerintah untuk berkebijakan secara bijak, wajar saja sebab demikianlah relasi yang terjadi di negara demokrasi. Selama logis dan berdasar, kritik dan saran adalah bagian dari keikutsertaan masyarakat membangun daerahnya. Di sisi lain, menciptakan ruang-ruang berkesenian non plat merah adalah perjuangan, upaya berkarya, berkreasi sebab seniman tidak boleh mati.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...