Senin, 20 November 2017

King v.s. Jack


Siapa yang kenal Hayam Wuruk? Iya, Hayam Wuruk yang raja Majapahit itu, yang ketenarannya menggema ke seantero Nusantara. Tapi beliau agaknya masih kalah tenar ketimbang Maha Patihnya, Gajah Mada. Tepat sekali, Maha Patih yang terkenal dengan sumpah Amukti Palapa-nya. Sumpah yang kelak menjadi landasan sang Maha Patih menalukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sumpah yang bagi sebagian masyarakat Sunda punya arti lain sebab lantaran sumpah itu putri Sunda dari Kawali yang konon cantik jeita itu, Citraresmi, harus mati bunuh diri. Tapi ya sudahlah. Fakta atau upaya adu domba, terima saja pelajaran baiknya.

Saya sebenarnya bukan mau cerita soal Majapahit atau Perang Bubat yang dramatis itu, atau ihwal “Gaj Ahmada” yang diyakini sebagian kecil orang sebagai seorang muslim. Saya hanya iseng membayangkan, bagaimana jika zaman itu Hayam Wuruk dan Gajah Mada ikut pemilu. Saya membayangkan bilamana mereka saling bertarung sebagai kontestan pemilu. Ceritanya pasti menarik dan dicatat sejarah sebagai salah satu pertarungan politik monumental yang penuh intrik.

Politik tak kenal kawan dan lawan sejati. Politik hanya kenal kepentingan golongannya sendiri. Setidaknya itulah yang terjadi hingga saat ini di negara ini. Partai politik tak mungkin memikirkan kejayaan partai lainnya. Jika pun terpaksa harus koalisi, ujung-ujungnya ya golongannya sendiri yang harus pertama dapat manfaat sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya. Partai politik pasti menginginkan dirinya menjadi partai penguasa dan kalau memungkinkan, ia harus jadi satu-satunya partai yang ada di negara itu, persis seperti di negara-negara sosialis-komunis yang hanya kenal sistem satu partai. Tapi karena negara kita tak pakai sistem itu, maka untuk  berkuasa terpaksa harus kerjasama.

Jika Hayam Wuruk dan Gajah Mada benar-benar ikut pemilu sebagai rival, Majapahit bisa dipastikan akan porak-poranda, hancur lebur. Dua orang yang berkantor di tempat yang sama, bekerja untuk satu visi yang sama, dibiayai hidupnya  dari sumber keuangan yang sama, punya hak dan wewenang di pemerintahan yang agak-agak sama besar, bisa dibayangkan apa jadinya bila mereka berdua bertarung? Mungkin bisa mengalahkan hebatnya pertarungan duet Naruto-Sasuke versus Kaguya. Duel Hashirama Senju lawan Uchiha Madara jelas tidak ada apa-apanya dibanding dahsyatnya gulat politik kedua penguasa Majapahit itu.

Mereka berdua mungkin terlalu sukar dibayangkan sebagai peserta pemilu, tapi situasi macam begitu mudah sekali ditemukan dewasa ini di Indonesia. Pemandangan Bupati dan Gubernur yang lantas bertarung melawan Wakilnya, itu sudah biasa. Dan Sekretaris Daerah pun kini latah terjun ke dunia politik. Bupati Petahan v.s. Sekda, demikianlah yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Hal begini tak usah susah-susah dibayangkan sebab sudah tayang versi aslinya di panggung politik level provinsi atau kabupaten, tinggal disimak saja tanpa perlu lelah menganalisis kode-kode bahasa politik tingkat dewa sebab semuanya begitu terang benderang, terbuka, dan kadang jorok dan porno. Tinggal nonton saja dan semua akan nampak dengan jelas.

Sekda boleh dikata semacam Sekjen-nya pemerintah daerah. Ia lazimnya ASN dengan golongan tertinggi di daerahnya dan adalah puncak tertinggi karir struktural seseorang di jenjang ASN/PNS. Dalam struktur pejabat pemerintah daerah, dialah pejabat struktural tertinggi. Ia tentu punya peran, fungsi, hak, wewenang, dan kuasa yang besar dalam sebuah pemerintahan. Bilamana seorang Sekda terlibat politik praktis, ia sangat berpotensi tergelincir abuse of power, layaknya yang sering dilakukan para petahana yang kembali bertarung. Dan jika itu benar terjadi maka pemerintahan daerah, di tahun-tahun terakhir menjelang pemilu, hanya akan diisi oleh perang-perang antar instansi pemerintah, para pejabat eselon, camat-camat, lurah-lurah, bahkan mungkin bidan-bidan di desa pun boleh jadi turut terlibat dalam peperangan jalur plat merah ini.

Para ASN mulai dari kepala-kepala SKPD, kepala sekolah, camat. lurah, dan sebagainya akan terpecah menjadi dua kubu, pendukung Bupati dan pendukung Sekda. Bupati yang punya kuasa mengalih pindahkan para pejabat akan merombak habis-habisan jajarannya. Siapa tak sekubu, siap-siaplah menduduki jabatan baru yang jelas tak kan lebih baik. Program-program pemerintah yang seyogianya tak berpihak kecuali pada rakyat jelas akan tercemar. Kegiatan-kegiatan SKPD akan sarat dengan aroma politik elektoral. Camat mana yang mau mendukung, jangan harap wilayahnya dapat kucuran dana. Kepala dinas mana yang nampak bersebrangan, pasti kekeringan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik dari Bupati maupun Sekda sangat berkemungkinan jadi ajang kampanye terselubung. Pengelolaan anggaran sudah pasti akan tak keruan. Rakyat dalam arti sesungguhnya jelas tak dapat tempat kecuali dengan imbalan suara buat para kontestan.

Jika perang pejabat ini berkobar, siapa yang jadi korban? Siapa lagi kalau bukan rakyat. Pertarungan para elit tak pernah membunuh diri mereka sendiri. Mereka selalu punya pihak lain sebagai korban, tumbal. Dan jika rakyat yang karena sudah terlalu sering menjadi korban lantas terbiasa, lantas menerimnya sebagai takdir absolut,  pasrah dan memilih menikmati dirinya selaku korban ketimbang melawan, tepat saat itulah akal sehat dan hati nurani menemui ajalnya.  

……………….
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan
peradaban yang dangkal

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan
iman dan akal
di dalam daulat manusia
namun dauat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akan sehat

…………………………….
(Maskumambang, W. S. Rendra)  

Demikianlah seorang penyair menulis.

Panjalu,

20/11/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...