Siapa yang kenal Hayam Wuruk? Iya, Hayam Wuruk yang raja Majapahit itu,
yang ketenarannya menggema ke seantero Nusantara. Tapi beliau agaknya masih
kalah tenar ketimbang Maha Patihnya, Gajah Mada. Tepat sekali, Maha Patih yang
terkenal dengan sumpah Amukti Palapa-nya. Sumpah yang kelak menjadi landasan
sang Maha Patih menalukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sumpah yang bagi
sebagian masyarakat Sunda punya arti lain sebab lantaran sumpah itu putri Sunda
dari Kawali yang konon cantik jeita itu, Citraresmi, harus mati bunuh diri. Tapi
ya sudahlah. Fakta atau upaya adu domba, terima saja pelajaran baiknya.
Saya sebenarnya bukan mau cerita soal Majapahit atau Perang Bubat yang
dramatis itu, atau ihwal “Gaj Ahmada” yang diyakini sebagian kecil orang
sebagai seorang muslim. Saya hanya iseng membayangkan, bagaimana jika zaman itu
Hayam Wuruk dan Gajah Mada ikut pemilu. Saya membayangkan bilamana mereka saling
bertarung sebagai kontestan pemilu. Ceritanya pasti menarik dan dicatat sejarah
sebagai salah satu pertarungan politik monumental yang penuh intrik.
Politik tak kenal kawan dan lawan sejati. Politik hanya kenal
kepentingan golongannya sendiri. Setidaknya itulah yang terjadi hingga saat ini
di negara ini. Partai politik tak mungkin memikirkan kejayaan partai lainnya.
Jika pun terpaksa harus koalisi, ujung-ujungnya ya golongannya sendiri yang
harus pertama dapat manfaat sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya. Partai
politik pasti menginginkan dirinya menjadi partai penguasa dan kalau
memungkinkan, ia harus jadi satu-satunya partai yang ada di negara itu, persis
seperti di negara-negara sosialis-komunis yang hanya kenal sistem satu partai. Tapi
karena negara kita tak pakai sistem itu, maka untuk berkuasa terpaksa harus kerjasama.
Jika Hayam Wuruk dan Gajah Mada benar-benar ikut pemilu sebagai rival,
Majapahit bisa dipastikan akan porak-poranda, hancur lebur. Dua orang yang
berkantor di tempat yang sama, bekerja untuk satu visi yang sama, dibiayai
hidupnya dari sumber keuangan yang sama,
punya hak dan wewenang di pemerintahan yang agak-agak sama besar, bisa
dibayangkan apa jadinya bila mereka berdua bertarung? Mungkin bisa mengalahkan
hebatnya pertarungan duet Naruto-Sasuke versus Kaguya. Duel Hashirama Senju
lawan Uchiha Madara jelas tidak ada apa-apanya dibanding dahsyatnya gulat
politik kedua penguasa Majapahit itu.
Mereka berdua mungkin terlalu sukar dibayangkan sebagai peserta pemilu,
tapi situasi macam begitu mudah sekali ditemukan dewasa ini di Indonesia. Pemandangan
Bupati dan Gubernur yang lantas bertarung melawan Wakilnya, itu sudah biasa. Dan
Sekretaris Daerah pun kini latah terjun ke dunia politik. Bupati Petahan v.s.
Sekda, demikianlah yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Hal begini tak
usah susah-susah dibayangkan sebab sudah tayang versi aslinya di panggung
politik level provinsi atau kabupaten, tinggal disimak saja tanpa perlu lelah
menganalisis kode-kode bahasa politik tingkat dewa sebab semuanya begitu terang
benderang, terbuka, dan kadang jorok dan porno. Tinggal nonton saja dan semua
akan nampak dengan jelas.
Sekda boleh dikata semacam Sekjen-nya pemerintah daerah. Ia lazimnya
ASN dengan golongan tertinggi di daerahnya dan adalah puncak tertinggi karir
struktural seseorang di jenjang ASN/PNS. Dalam struktur pejabat pemerintah
daerah, dialah pejabat struktural tertinggi. Ia tentu punya peran, fungsi, hak,
wewenang, dan kuasa yang besar dalam sebuah pemerintahan. Bilamana seorang
Sekda terlibat politik praktis, ia sangat berpotensi tergelincir abuse of power, layaknya yang sering dilakukan para petahana yang kembali bertarung. Dan
jika itu benar terjadi maka pemerintahan daerah, di tahun-tahun terakhir
menjelang pemilu, hanya akan diisi oleh perang-perang antar instansi
pemerintah, para pejabat eselon, camat-camat, lurah-lurah, bahkan mungkin bidan-bidan
di desa pun boleh jadi turut terlibat dalam peperangan jalur plat merah ini.
Para ASN mulai dari kepala-kepala SKPD, kepala sekolah, camat. lurah, dan
sebagainya akan terpecah menjadi dua kubu, pendukung Bupati dan pendukung Sekda.
Bupati yang punya kuasa mengalih pindahkan para pejabat akan merombak
habis-habisan jajarannya. Siapa tak sekubu, siap-siaplah menduduki jabatan baru
yang jelas tak kan lebih baik. Program-program pemerintah yang seyogianya tak
berpihak kecuali pada rakyat jelas akan tercemar. Kegiatan-kegiatan SKPD akan
sarat dengan aroma politik elektoral. Camat mana yang mau mendukung, jangan
harap wilayahnya dapat kucuran dana. Kepala dinas mana yang nampak
bersebrangan, pasti kekeringan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik dari
Bupati maupun Sekda sangat berkemungkinan jadi ajang kampanye terselubung. Pengelolaan
anggaran sudah pasti akan tak keruan. Rakyat dalam arti sesungguhnya jelas tak
dapat tempat kecuali dengan imbalan suara buat para kontestan.
Jika perang pejabat ini berkobar, siapa yang jadi korban? Siapa lagi
kalau bukan rakyat. Pertarungan para elit tak pernah membunuh diri mereka
sendiri. Mereka selalu punya pihak lain sebagai korban, tumbal. Dan jika rakyat
yang karena sudah terlalu sering menjadi korban lantas terbiasa, lantas menerimnya
sebagai takdir absolut, pasrah dan
memilih menikmati dirinya selaku korban ketimbang melawan, tepat saat itulah
akal sehat dan hati nurani menemui ajalnya.
……………….
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan
peradaban yang dangkal
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan
iman dan akal
di dalam daulat manusia
namun dauat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akan sehat
…………………………….
(Maskumambang, W. S. Rendra)
Demikianlah seorang penyair menulis.
Panjalu,
20/11/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar