Senin, 13 November 2017

Seni Dan Kekuasaan

Pada awal mulanya membuat gambar hewan-hewan di dinding gua atau menari-nari mengelilingi api unggun barangkali belum disadari sebagai seni dan memang belum dinamai sebagai seni. Kegiatan itu adalah bagian dari keseharian, itu saja. Dan kesemua itu adalah kebutuhan, artinya harus dilakukan. Menari-nari mengitari api unggun, pada awalnya, bukan perkara mau atau tidak mau, suka tidak suka, tapi itu semua adalah wajib dilakukan. Mungkin hal itu berhubungan dengan keyakinan metafisik masyarakat masa itu.

Kemudian kegiatan seni bergerak maju ke arah “mencipakan keindahan”. Inspirasi besarnya boleh jadi mitologi, keyakinan pada hal gaib, singkatnya hal tak kasat mata yang lazimnya diyakini lebih hebat dari manusia. Seni bukan jadi semata-mata “menciptakan keindahan”, tetapi lebih dalam,  menjadi cara manusia memahami segala sesuatu yang belum ia ketahui secara pasti. Sebelum diketahui bahwa petir adalah lompatan bunga api listrik yang bisa dijelaskan gamblang oleh ilmu pengetahuan, orang-orang Yunani Kuno memahami petir sebagai bentuk kuasa Dewa Zeus yang bersemayam di Gunung Olympus. Sedang masyarakat Skandinavia Kuno memahaminya sebagai buah kekuatan palu Mjonir milik Dewa Thor yang tinggal di Asgard. Setelah ilmu pengetahuan membogkarnya, kepercayaan itu lantas disekap dalam sangkar mitos belaka. Tetapi seni modern justru masih menjadikannya sumber inspirasi. Hollywood malah menjadikannya sumber pundi-pundi dollar.

Folklore, termasuk dongeng-dongeng di dalamnya, tidaklah lahir dari kelololan suatu kaum. Sebaliknya, ia lahir dari hasil perenungan yang dalam. Mitologi, legenda, cerita rakyat, dan folklore secara umum diciptakan berlapis-lapis. Ada dimensi kisah dan ada pula dimensi makna, atau nilai yang tersembunyi di dalamnya. Nilai yang jadi pegangan hidup kaum di mana folklore itu lahir dan hidup. Seperti mitologi Yunani Kuno yang banyak jadi rujukan filafat Plato.

Manusia berkembang, akal budinya berkerja menciptakan peradaban. Dan akal budi itu pula yang menuntun manusia menciptakan suatu kesatuan manusia yang lantas dinamai kerajaan, imperium, kekaisaran, kesultanan, singkatnya, manusia menciptakan negara. Kelahiran negara turut pula merombak kegiatan seni. Kegiatan seni tak lagi sebatas memproduksi keindahan. Seni jadi memiliki tujuan lain selain tujuan spiritual dan penglipur lara. Ia kini jadi ornamen kekuasaan, seperti pedang, yang awalnya hanya untuk berburu, memotong pohon atau membela diri dari hewan buas, kemudian pedang bertransformasi jadi “senjata”.

Pada awal kelahirannya, negara masih dipimpin seseorang yang dipercaya sebagai titisan atau representasi tuhan (dewa). Oleh karena itu sang pemimpin mutlak dijadikan sumber segala kebenaran. Raja adalah hukum dan hukum adalah raja. Sabda raja adalah sabda tuhan. Seni pun tak luput dari keyakinan macam ini. Seni yang bagus, indah, dan “diperbolehkan” harus atas ucapan raja. Jika raja mengatakan kesenian A adalah buruk dan tidak pantas, maka rakyat akan menerimanya sebagai kebenaran absolut.
Dan karena raja adalah penguasa tertinggi yang punya hak sangat istimewa, maka banyak pihak yang berlomba mendekati raja dan berusaha menjadi orang yang disukai beliau, dan senimanpun turut serta melakukannya. Rupa-rupa kesenian diciptakan untuk menyenangkan hati raja. Saat kerajaan inilah mulai santer yang namanya seniman. Kesenian sudah bukan milik bersama lagi, tapi jelas siapa penciptanya dan ditujukan  untuk siapa. Produksi keindahan sudah campur aduk dengan kepentingan pemenuhan kesenangan penguasa. Kesenian banyak yang merupakan pesanan dari penguasa, baik sebagai penghibur belaka  atau selaku alat propaganda kekuasaan.

Tetapi, meski sedemikian pelik kehidupan kesenian dalam istana, masih ada yang dengan riang gembira menyanyi, menari, membuat syair, dan membuat patung. Merekalah yang tinggal jauh dari istana, yang memproduksi keindahan untuk kepuasaan diri mereka sendiri dan manfaat bagi orang-orang disekitarnya. Kegiatan  dan hasil karya seni-nya mungkin tak semegah keseniana istana, tetapi seni pinggiran ini punya kekuatannya sendiri. Keseniannya bukan upeti, bukan pula kepanjangan cakar kekuasaan.

Selamat Bulan November, bulan pesta pora akhir tahun.

Panjalu, 12112017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...