Senin, 13 Agustus 2018

Siti Alimah Dan Lain-Lain; Ekstraksi Marlam#31

Sudah beberapa kali Marlam dihadiri oleh penulis yang cerpennya kami baca bersama, demikian pula Marlam#31 ini. Adalah Dadang Ari Murtono, penulis muda nan enerjik asal Mojokerto ini hadir di Rumah Koclak, bersama jemaah Marlam membincangkan Suluk Siti Alimah, cerpen eksperimental karyanya. Dikatakan eksperimental barangkali karena ada beberapa hal dalam cerpen ini yang lazimnya tidak ditemukan dalam cerpen pada umumnya. Selain karena cerpen ini cukup panjang dibanding dengan cerpen yang umum dikenal masa kini, yakni sepanjang 23 halaman dengan spasi 1 dan terdiri dari satu paragraf saja, cerpen ini pun memuat tabel didalamnya. Tabel ini berisi kisah atau hikmah yang diceritakan Siti Alimah pada suami-suaminya selama tiga puluh sembilan malam berturut-turut dimulai sejak malam pengantin. Siti Alimah dan suamianya duduk telanjang berhadapan. Siti Alimah lantas menceritakan suatu kisah, atau membacakan puisi dalam keadaan bugil itu. Setelah usai, Siti Alimah akan meninggalkan suaminya dalam keadaan telanjang tanpa sempat mereka saling menjamah. Konon, ini seperti yang dilakukan Amongraga dan istrinya, Tambangraras, yang termaktub dalam Serat Centini. Dan barulah pada malam keempat puluh, malam ketika tak ada lagi cerita, dan sebagai gantinya, lingga akan bertemu yoni.
 
Barangkali Suluk Siti Alimah ini sederhana saja ceritanya. Seorang perempuan bernama Siti Alimah “terobsesi” dengan Suluk Tambangraras (Serat Centini) dan mencoba mempraktikannya pada laku hidupnya. Suami pertamanya, Mundrikari, hanya sanggup hidup sampai hari ke tujuh belas. Ia mati kena serangan jantung. Ia mati dengan lingga tegak, dengan ujung yang masih basah. Suami keduanya, Ali Munir, juga mati dengan penis yang masih tegak. Ali Munir mati di hari ke tiga puluh tujuh sejak pernikahan. Ia mati di lokalisasi di hadapan seorang sundal bernama Ayu Buluk, sundal ke tiga yang ditidurinya malam itu. Ali Munir diceritakan bangkit kembali dari kematian pada hari ke tiga pasca kematiannya. Siti Alimah, yang sore itu baru saja selesai mencuci rambut panjangnya di sendang tepi kampung, mendengar tawa khas Ali Munir yang bangkit kembali.
 
Jika digambarkan dalam film, adegan awalnya mungkin terjadi sore hari ketika seorang gadis desa yang cantik, rambutnya basah karena baru selesai dicuci samar-samar  mendengar suara tawa yang sepetinya ia kenal, suara tawa Ali Munir, mantan suaminya yang mati tiga hari lalu. Sesederhana itu saja adegannya. Adegan lantas menjadi berdahan, berranting, dan berakar tepat ketika gadis cantik bernama Siti Alimah itu menggerak-gerakkan kupingnya seperti anjing. Dari zoom in kuping bergerak ini, penonton akan dibawa bertualang hingga ke kisah pendakian Pandawa. Ada juga fragmen kerusuhan sembilan delapan, pembantaian komunis enam lima dan masa lalu ayah Mundrikari yang sanggup mengenali terduga komunis hanya dari baunya, parang zaman Gajah Mada, masa kecil Siti Alimah dan permainan sunan kalijaga-kalijagaan yang absurd, cerita-cerita keperkasaan Ali Munir yang memuaskan tak hanya perempuan saja, ceria-cerita sex Mundrikari yang sempat menusuk pantat sapi, kanibalisme, malam-malam pengantin Siti Alimah, detil kematian Mundrikari, Ali Munir, Alimin, dan anjing Siti Alimah bernama Yudhistira, dan lain-lain. Cerpen ini memuat lebih dari satu cerita yang tidak bersusun secara urut atau kronologis dan seolah tidak terkait namun jika diurut-urut, kesemuan cerita itu terkait satu sama lain dengan satu nama yang jadi muasal kisah ini, Siti Alimah. Cerpen ini seperti jaring laba-laba di mana pusat jaring adalah Siti Alimah.
 
Sebenarnya tidak harus aneh dengan kisah Siti Alimah yang bercabang-cabang ini, toh hidup manusia sebenarnya memang demikian. Seorang manusia pada dasarnya selalu merupakan hasil dari dan penyebab untuk suatu hal bagi manusia lain. Dan manusia lain ini akan berlaku sebagai penyebab untuk dan hasil dari manusia lainnya lagi. Demikian seterusnya hingga nabi Adam, hingga Nur Muhammad, dan Tuhan. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang hadir dan berdiri tunggal. Hanya saja manusia biasanya membatasi penyebab dan hasil itu dengan batasan berupa kategori atau perspektif atau ukuran tertentu yang sebenarnya memutus jaring itu menjadi lebih pendek, barangkali agar lebih mudah dipahami dan diingat. Penjelasan ini mungkin juga bisa lebih terang bila kita mengamati film dan dialog-dialog pada film Lucy.
 
Tentang panjangnya cerpen ini, Dadang mengatakan semustinya pembaca tidak harus terperangah kaget, pasalnya cerpen di era awal-awal kehadirannya justru tidak sependek cerpen “konvensional” yang dikenal saat ini. Panjang pendeknya cerpen konon disebabkan oleh media muatnya. Dahulu, kala cerpen dimuat di majalah-majalah, panjangnya bisa berbelas bahkan berpuluh halaman. Sekarang, ketika cerpen banyak dimuat di koran-koran dengan kolom yang terbatas, cerpenis pun akhirnya  menyesuaikan. Dan malah dewasa ini lahir pula karangan prosa yang lebih pendek dari cerpen pada umumnya, fiksi mini.
 
Tentang isi cerpen, seperti lazimnya Marlam, banyak pendekatan dan perspektif yang  digunakan untuk membincangkannya. Ada yang membaca cerpen ini sebagai kisah suluk dalam arti perjalanan spiritual, bukan Siti Alimah, tapi justru sosok Ali Munir. Ada pula yang memfokuskan pembacannya pada konflik-konflik sosial yang dikisahkan dalam cerpen ini, semisal peristiwa pembantaian komunis pada kurun 1965 sampai 1967 dan ekses peristiwa kerusuhan 1998. Ada pula yang menilik pengaruh dongeng-dongeng sebelum tidur sang ibu Siti Alimah yang katanya terbenam di sub sadarnya dan turut membangun karakter serta kepribadian Siti Alimah yang hidupnya seolah penuh filosofi, sedari ia yang menautkan anjing peliharaannya dengan anjing yang turut menemai Yudhistira ke nirwana, permainan sunan kalijaga-kalijagaan yang ia ciptakan dan ia mengaku mendapat karomah dari Tuhan tatkala banjir bandang menerjang, sampai laku seksualnya yang terinspirasi dari Suluk Tambangraras dan obsesi-obsesinya akan Gatocolo dan Cebolang, dan bagaimana ia memilih suami yang cenderung menentang pandangan umum tentang suami idaman. Ada juga yang melihat teks ini sebagai dekonstruksi dari Suluk Tambangaras itu sendiri di mana ada pemutarbalikan posisi Amongraga dan Tambangraras dalam laku seksual Siti Alimah dan suami-suaminya.
 
Yang menarik, kehadiran tabel dalam cerpen ini yang menurut penulisnya tidaklah menggerakkan cerita. Tabel ini berisi empat puluh hikmah, kisah, atau laku (kegiatan) yang disampaikan Siti Alimah pada suaminya dalam keadaan keduanya telanjang dan berhadapan. Sang suami harus menyimak dengan khidmat dan seksama apa-apa yang disampaikan Siti Alimah tanpa diperkenankan menyentuh, menjamah sang istri, begitu pun sebaliknya. Kedua suaminya tewas sebelum malam keempat puluh dilakoni. Ini mirip kisah Amongraga dan Tambangraras dalam Serat Centini. Apakah Sulu Siti Alimah ini memang dekonstruksi darinya? Apakah memang tabel itu tidak menggerakkan cerita? Atau justru pada tabel itulah terletak kunci pembuka tabir Suluk Siti Alimah ini? Entahlah.
 
Dalam menguraikan peristiwa, Dadang cukuplah detil. Ia menuliskan pembunuhan Alimin dengan sangat detil. Demikian pula kematian Ali Munir dan Mundrikari. Kedua nama terakhir itu mati dalam keadaan penis menegang dan basah.
 
Tema seks memang cukup mendominasi dalam teks ini. Ada yang memandang seks ini sebagai metafor untuk menjelaskan sesuatu yang agung dan mistik, yang sukar bila dijelaskan dengan bahasa lugas. Peristiwa senggama dipandang sebagai laku suci yang darinya akan lahir seorang manusia. Seks adalah laku penciptaan kehidupan. Lewat seks manusia dimungkinkan menciptakan manusia lain. Lewat seks, Tuhan menitipkan takdir kelahiran, takdir penciptaan. Barangkali atas hal inilah mengapa dalam banyak kebudayaan seks menjadi hal yang sakral dan musti dilakukan dengan segenap seremoni. Seturut perkembangan kebudayaan, manusia lantas menciptakan suatu lembaga yang disebut perkawinan yang adalah gerbang laku penciptaan (seks) yang sakral itu. Perkawinan juga adalah kontrol sosial terhadap prilaku seks manusia yang konon promiskuitas pada muasalnya, dan bahkan inses. Tentang inses ini, ada yang berpendapat bahwa diusirnya Adam dan Hawa dari surga adalah karena mereka melakukan inses. Dikatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hawa adalah bagian dari atau barangkali “keturunan” Adam, dan hubungan seks diantara keduanya dilarang Tuhan. Iblis, yang konon menyamar menjadi ular yang konon merupakan simbol seksualitas, menghasut keduanya. Demikianlah salah satu interpretasi yang sempat mengemuka.
 
Hasrat promiskuitas manusia ini lantas melahirkan apa yang kini dikenal dengan lokalisasi. Dalam teks ini setidaknya ada dua lokalisasi yang disebut, Dolly dan Bungu. Keduanya memang ada ada kehidupan nyata, sedang tempat lain yang digunakan sebagai seting semisal Kabuta Lama dan Kabuta Baru adalah fiksi. Pada titik inilah, titik ketika realitas fakta dan fiksi berkelindan begitu rupa, pembaca diajak, atau dipaksa, menerima fiksi itu sebagai realitas yang utuh. Belum lagi kisah Siti Alimah yang konon menganggang beberapa meter diatas bumi tatkala bermian sunan kalijaga-kalijagaan, dan itulah yang menyelamatkannya dari banjir bandang. Juga kisah Ali Munir yang mampu memuaskan lima puluh lelaki dan sekian perempuan dalam waktu semalam dengan penis besinya yang empat pulun sentimeter itu. Beberapa peristiwa itu, peristiwa yang ganjil secara nalar logis itu, hadir berdampingan dengan peristiwa-peristiwa masih mampu diterima logika. Dengan demikian, apakah cerpen ini bisa dikategorikan sebagai realisme magis? Ataukah surrealis?
 
Apapun itu, agaknya Dadang memang cukup matang membaca beberapa teks-teks klasik dan kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Jawa, kehidupan dan dunia ini tidak sepenuhnya musti logis a la Barat. Hidup dan dunia ini tidak terpisah tegas antara rasional dan tidak rasional, terindra dan tak terindra. Kesemua itu manunggal dalam sebuah kosmos kehidupan yang kompleks. Dan, seperti kehidupan yang kompleks, banyak anak cerita dalam cerpen ini yang memungkinkan didedah dengan beragam pisau analisis, oleh karenanya tulisan serampangan ini tentu jauh panggang dari api untuk memadai.
 
Kabarnya, cerpen ini telah dikembangkan menjadi novel dan diikutsertakan lomba penulisan novel. Kita do’akan saja semoga novelnya bisa lolos sebagai pemenang dan usia karyanya lebih panjang dari usia penulisnya. Alfaatihah.
 
Panjalu, 13 Agustus 2018
 
foto : patung tanpa kepala di Candi Sukuh
sumber internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...