Sudah beberapa kali Marlam dihadiri oleh penulis yang
cerpennya kami baca bersama, demikian pula Marlam#31 ini.
Adalah Dadang Ari Murtono, penulis muda nan enerjik asal Mojokerto ini hadir di
Rumah Koclak, bersama jemaah Marlam membincangkan Suluk Siti Alimah, cerpen
eksperimental karyanya. Dikatakan eksperimental barangkali karena ada beberapa hal dalam
cerpen ini yang lazimnya tidak ditemukan dalam cerpen pada umumnya. Selain
karena cerpen ini cukup panjang dibanding dengan cerpen yang umum dikenal masa kini,
yakni sepanjang 23 halaman dengan spasi 1 dan terdiri dari satu paragraf saja,
cerpen ini pun memuat tabel didalamnya. Tabel ini berisi kisah atau hikmah yang
diceritakan Siti Alimah pada suami-suaminya selama tiga puluh sembilan malam
berturut-turut dimulai sejak malam pengantin. Siti Alimah dan suamianya duduk
telanjang berhadapan. Siti Alimah lantas menceritakan suatu kisah, atau
membacakan puisi dalam keadaan bugil itu. Setelah usai, Siti Alimah akan
meninggalkan suaminya dalam keadaan telanjang tanpa sempat mereka saling
menjamah. Konon, ini seperti yang dilakukan Amongraga dan istrinya,
Tambangraras, yang termaktub dalam Serat Centini. Dan barulah pada malam
keempat puluh, malam ketika tak ada lagi cerita, dan sebagai gantinya, lingga
akan bertemu yoni.
Barangkali Suluk Siti Alimah ini sederhana saja
ceritanya. Seorang perempuan bernama Siti Alimah “terobsesi” dengan Suluk
Tambangraras (Serat Centini) dan mencoba mempraktikannya pada laku hidupnya.
Suami pertamanya, Mundrikari, hanya sanggup hidup sampai hari ke tujuh belas.
Ia mati kena serangan jantung. Ia mati dengan lingga tegak, dengan ujung yang
masih basah. Suami keduanya, Ali Munir, juga mati dengan penis yang masih
tegak. Ali Munir mati di hari ke tiga puluh tujuh sejak pernikahan. Ia mati di
lokalisasi di hadapan seorang sundal bernama Ayu Buluk, sundal ke
tiga yang ditidurinya malam itu. Ali Munir diceritakan bangkit kembali dari
kematian pada hari ke tiga pasca kematiannya. Siti Alimah, yang sore
itu baru saja selesai mencuci rambut panjangnya di sendang tepi kampung,
mendengar tawa khas Ali Munir yang bangkit kembali.
Jika digambarkan dalam film, adegan awalnya
mungkin terjadi sore hari ketika seorang gadis desa yang cantik,
rambutnya basah karena baru selesai dicuci samar-samar
mendengar suara tawa yang sepetinya ia kenal,
suara tawa Ali Munir, mantan suaminya yang mati tiga hari lalu. Sesederhana itu
saja adegannya. Adegan lantas menjadi berdahan, berranting,
dan berakar tepat ketika gadis cantik bernama Siti Alimah itu
menggerak-gerakkan kupingnya seperti anjing. Dari zoom in kuping bergerak ini,
penonton akan dibawa bertualang hingga ke kisah pendakian Pandawa. Ada juga
fragmen kerusuhan sembilan delapan, pembantaian komunis enam lima dan masa lalu
ayah Mundrikari yang sanggup mengenali terduga komunis hanya dari baunya,
parang zaman Gajah Mada, masa kecil Siti Alimah dan permainan sunan
kalijaga-kalijagaan yang absurd, cerita-cerita keperkasaan Ali Munir yang
memuaskan tak hanya perempuan saja, ceria-cerita sex Mundrikari yang
sempat menusuk pantat sapi, kanibalisme, malam-malam pengantin Siti Alimah, detil kematian Mundrikari, Ali Munir, Alimin, dan anjing Siti Alimah bernama Yudhistira, dan lain-lain. Cerpen ini memuat lebih dari satu
cerita yang tidak bersusun secara urut atau kronologis dan seolah tidak terkait
namun jika diurut-urut, kesemuan cerita itu terkait satu sama lain dengan satu
nama yang jadi muasal kisah ini, Siti Alimah. Cerpen ini seperti jaring
laba-laba di mana pusat jaring adalah Siti Alimah.
Sebenarnya tidak harus aneh dengan kisah Siti Alimah
yang bercabang-cabang ini, toh hidup manusia sebenarnya memang demikian.
Seorang manusia pada dasarnya selalu merupakan hasil dari dan penyebab untuk
suatu hal bagi manusia lain. Dan manusia lain ini akan berlaku sebagai penyebab
untuk dan hasil dari manusia lainnya lagi. Demikian seterusnya hingga nabi
Adam, hingga Nur Muhammad, dan Tuhan. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang hadir dan berdiri tunggal. Hanya
saja manusia biasanya membatasi penyebab dan hasil itu dengan batasan berupa
kategori atau perspektif atau ukuran tertentu yang sebenarnya memutus jaring
itu menjadi lebih pendek, barangkali agar lebih mudah dipahami dan diingat. Penjelasan ini mungkin juga bisa lebih terang bila kita mengamati film
dan dialog-dialog pada film Lucy.
Tentang panjangnya cerpen ini, Dadang
mengatakan semustinya pembaca tidak harus terperangah kaget, pasalnya cerpen di
era awal-awal kehadirannya justru tidak sependek cerpen “konvensional” yang
dikenal saat ini. Panjang pendeknya cerpen konon disebabkan oleh media muatnya.
Dahulu, kala cerpen dimuat di majalah-majalah, panjangnya bisa berbelas bahkan
berpuluh halaman. Sekarang, ketika cerpen banyak dimuat di koran-koran dengan
kolom yang terbatas, cerpenis pun akhirnya menyesuaikan. Dan malah dewasa ini lahir pula
karangan prosa yang lebih pendek dari cerpen pada umumnya, fiksi mini.
Tentang isi
cerpen, seperti lazimnya Marlam, banyak pendekatan dan perspektif yang digunakan untuk membincangkannya. Ada yang
membaca cerpen ini sebagai kisah suluk dalam arti perjalanan spiritual, bukan
Siti Alimah, tapi justru sosok Ali Munir. Ada pula yang memfokuskan pembacannya
pada konflik-konflik sosial yang dikisahkan dalam cerpen ini, semisal peristiwa
pembantaian komunis pada kurun 1965 sampai 1967 dan ekses peristiwa kerusuhan
1998. Ada pula yang menilik pengaruh dongeng-dongeng sebelum tidur sang ibu
Siti Alimah yang katanya terbenam di sub sadarnya dan turut membangun karakter serta
kepribadian Siti Alimah yang hidupnya seolah penuh filosofi, sedari ia yang
menautkan anjing peliharaannya dengan anjing yang turut menemai Yudhistira ke
nirwana, permainan sunan kalijaga-kalijagaan yang ia ciptakan dan ia mengaku
mendapat karomah dari Tuhan tatkala banjir bandang menerjang, sampai laku
seksualnya yang terinspirasi dari Suluk Tambangraras dan obsesi-obsesinya akan
Gatocolo dan Cebolang, dan bagaimana ia memilih suami yang cenderung menentang
pandangan umum tentang suami idaman. Ada juga yang melihat teks ini sebagai
dekonstruksi dari Suluk Tambangaras itu sendiri di mana ada pemutarbalikan
posisi Amongraga dan Tambangraras dalam laku seksual Siti Alimah dan
suami-suaminya.
Yang menarik,
kehadiran tabel dalam cerpen ini yang menurut penulisnya tidaklah menggerakkan
cerita. Tabel ini berisi empat puluh hikmah, kisah, atau laku (kegiatan) yang
disampaikan Siti Alimah pada suaminya dalam keadaan keduanya telanjang dan
berhadapan. Sang suami harus menyimak dengan khidmat dan seksama apa-apa yang
disampaikan Siti Alimah tanpa diperkenankan menyentuh, menjamah sang istri,
begitu pun sebaliknya. Kedua suaminya tewas sebelum malam keempat puluh
dilakoni. Ini mirip kisah Amongraga dan Tambangraras dalam Serat Centini. Apakah
Sulu Siti Alimah ini memang dekonstruksi darinya? Apakah memang tabel itu tidak
menggerakkan cerita? Atau justru pada tabel itulah terletak kunci pembuka tabir
Suluk Siti Alimah ini? Entahlah.
Dalam menguraikan
peristiwa, Dadang cukuplah detil. Ia menuliskan pembunuhan Alimin dengan sangat
detil. Demikian pula kematian Ali Munir dan Mundrikari. Kedua nama terakhir itu
mati dalam keadaan penis menegang dan basah.
Tema seks
memang cukup mendominasi dalam teks ini. Ada yang memandang seks ini sebagai
metafor untuk menjelaskan sesuatu yang agung dan mistik, yang sukar bila
dijelaskan dengan bahasa lugas. Peristiwa senggama dipandang sebagai laku suci
yang darinya akan lahir seorang manusia. Seks adalah laku penciptaan kehidupan.
Lewat seks manusia dimungkinkan menciptakan manusia lain. Lewat seks, Tuhan
menitipkan takdir kelahiran, takdir penciptaan. Barangkali atas hal inilah
mengapa dalam banyak kebudayaan seks menjadi hal yang sakral dan musti
dilakukan dengan segenap seremoni. Seturut perkembangan kebudayaan, manusia
lantas menciptakan suatu lembaga yang disebut perkawinan yang adalah gerbang
laku penciptaan (seks) yang sakral itu. Perkawinan juga adalah kontrol sosial
terhadap prilaku seks manusia yang konon promiskuitas pada muasalnya, dan
bahkan inses. Tentang inses ini, ada yang berpendapat bahwa diusirnya Adam dan
Hawa dari surga adalah karena mereka melakukan inses. Dikatakan bahwa Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hawa adalah bagian dari atau barangkali “keturunan”
Adam, dan hubungan seks diantara keduanya dilarang Tuhan. Iblis, yang konon
menyamar menjadi ular yang konon merupakan simbol seksualitas, menghasut
keduanya. Demikianlah salah satu interpretasi yang sempat mengemuka.
Hasrat promiskuitas
manusia ini lantas melahirkan apa yang kini dikenal dengan lokalisasi. Dalam teks
ini setidaknya ada dua lokalisasi yang disebut, Dolly dan Bungu. Keduanya memang
ada ada kehidupan nyata, sedang tempat lain yang digunakan sebagai seting
semisal Kabuta Lama dan Kabuta Baru adalah fiksi. Pada titik inilah, titik
ketika realitas fakta dan fiksi berkelindan begitu rupa, pembaca diajak, atau
dipaksa, menerima fiksi itu sebagai realitas yang utuh. Belum lagi kisah Siti
Alimah yang konon menganggang beberapa meter diatas bumi tatkala bermian sunan
kalijaga-kalijagaan, dan itulah yang menyelamatkannya dari banjir bandang. Juga
kisah Ali Munir yang mampu memuaskan lima puluh lelaki dan sekian perempuan
dalam waktu semalam dengan penis besinya yang empat pulun sentimeter itu. Beberapa
peristiwa itu, peristiwa yang ganjil secara nalar logis itu, hadir berdampingan
dengan peristiwa-peristiwa masih mampu diterima logika. Dengan demikian, apakah
cerpen ini bisa dikategorikan sebagai realisme magis? Ataukah surrealis?
Apapun itu,
agaknya Dadang memang cukup matang membaca beberapa teks-teks klasik dan
kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Jawa, kehidupan dan dunia ini tidak sepenuhnya
musti logis a la Barat. Hidup dan dunia ini tidak terpisah tegas antara rasional dan
tidak rasional, terindra dan tak terindra. Kesemua itu manunggal dalam sebuah
kosmos kehidupan yang kompleks. Dan, seperti kehidupan yang kompleks, banyak
anak cerita dalam cerpen ini yang memungkinkan didedah dengan beragam pisau
analisis, oleh karenanya tulisan serampangan ini tentu jauh panggang dari api
untuk memadai.
Kabarnya, cerpen
ini telah dikembangkan menjadi novel dan diikutsertakan lomba penulisan novel. Kita
do’akan saja semoga novelnya bisa lolos sebagai pemenang dan usia karyanya
lebih panjang dari usia penulisnya. Alfaatihah.
Panjalu,
13 Agustus 2018
foto : patung tanpa kepala di Candi Sukuh
sumber internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar