Human Googlisation
Google, kata yang sangat akrab sekali dengan kita,
setidaknya di era milenium ini. Kita sering dibuat tak sadar bahwa google
adalah nama perusahaan atau merk dagang. Dan bagi masyarakat awam barangkali
kurang menyadari bahwa selain google, banyak juga mesin pencari lainnya semisal
Yahoo, Bing, Ask, Lycos dan lain sebagainya. Namun karena google adalah yang
paling populer, setidaknya bagi masyarakat awam di Indonesia, maka google
adalah yang paling sering di-internet-kan.
Google kini memang telah sangat berkembang, bukan
hanya sebagai mesin pencari di internet tapi telah melebarkan jejaringnya ke
segala aspek khususnya ihwal teknologi informasi. Yang paling prestisius dan
kekinian ialah barangkali kehadiran Android, sistem operasi yang diciptakan
google yang kini telah mewabah ke seluruh dunia. Android bersama Apple, BBM dan
operation system lainnya bersaing
memikat warga dunia dalam bidang teknologi informasi.
Google dengan segala kecanggihan dan kecerdasannya
telah mendapat berbagai gelar tambahan dimasyarakat. Mbah Google, Syekh Google,
Prof. Google dan berbagai gelar lainnya yang disematkan masyarakat. Gelar-gelar
yang biasanya disematkan pada orang yang mempunyai wawasan luas dan/atau
mendalam pada suatu bidang ilmu. Fenomena penyematan gelar pada google ini
barangkali awalnya memang sebatas keisengan belaka. Awalnya saya rasa jarang ada
orang yang benar-benar kagum pada benda mati ini sehingga menempatkan
derajatnya setingkat Syekh atau Mbah yang dalam kebudayaan Islam atau Jawa,
gelar itu mustilah dimiliki oleh orang-orang hebat. Untuk gelar Mbah memang
agak umum sebab Mbah bisa juga berarti panggilan untuk orang yang sudah udzur.
Mbah yang saya maksud adalah Mbah yang disematkan kepada ahli-ahli klenik, dukun
dan penggiat supranatural yang biasanya memang tahu banyak hal, seperti google.
Penyematan gelar pada google, yang berawal dari keisengan,
saya kira pada akhirnya menjadikan si pemberi gelar terlanjur gandrung bahkan
fanatik pada google. Ia yang memberi gelar lantas ia pun mengimani gelar
tersebut. Pada akhirnya, google baginya memang benar-benar Syekh, benar-benar
Mbah, benar-benar Profesor. Pengimanan ini barangkali dilakukannya secara tidak
sadar. Google, khususnya pada masyarakat awam yang mulai melek internet,
kehadiran dan fungsinya menjadi semacam kewajiban. Hidup tanpa google seolah
kita kehilangan separuh otak kita, kehilangan ilmu, kehilangan pergaulan.
Padahal google hanyalah benda mati yang status, derajat serta fungsinya tergantung
pada kuasa kita. Kita bisa dengan mudah memperlakukannya sekehendak kita. Kita
jadikan ia teman, guru atau sebatas media pemuas hasrat keingintahuan, itu
terserah pada kita dan semua sah-sah saja.
Kegandrungan kita pada google juga saya kira
merupakan perpanjangan dari hasrat keingitahuan manusia yang memang kodrati
sifatnya. Manusia dengan segala potensi yang dianugrahkan Tuhan memang sudah semustinya
punya hasrat keingintahuan. Dan keingintahuan inilah yang jadi modal awal
terciptanya peradaban manusia. Keingintahuan melekat pada diri manusia sama
seperti hasrat-hasrat lainnya yang sifatnya internal, azali, kodrati, fitrah. Yang
kemudian menjadi berbeda antara dulu dan kini ialah media pemuasnya. Jika
dahulu sebelum ada internet, sumber wawasan dan ilmu masih terbatas pada orang
tertentu dan buku (teks). Hanya dua hal itu yang boleh dikata sebagai penyalur
ilmu. Jika tidak tanya ke orang pintar, ya baca buku (atau literasi lainnya).
Sikap kita terhadap buku dan orang pastilah berbeda dengan sikap kita terhadap
google. Terhadap buku, setidaknya kita akan merawat dan menjaganya karena buku
memang memiliki dimenasi fisik, tak seperti google yang tak berwujud fisik.
Meski pada akhirnya bagi orang-orang yang kurang mencintai buku, usai dibaca,
usai hasrat keingintahuannya terpenuhi, buku itu lantas disimpan entah di mana
atau bahkan dijual ke loak sama sekali. Tapi bagi para pecinta literasi, buku
akan sangat dijaga bahkan dihormati. Ia akan diperlakukannya seperti kekasih.
Usai dibaca, buku itu akan ditempatkan di tempat yang layak dan akan terus
dirawat. Kalaupun dipinjamkan atau diberikan
pada orang lain, si pemberi akan sangat sedih jika bukunya diperlakukan
tidak layak oleh si peminjam atau penerima buku. Hal ini nyaris tak kita
temukan pada kasus google. Sehormat apapun kita pada google, google tetaplah
benda mati tak berwujud. Penghormatan kita pada google sangat lain dengan penghormatan kita
pada buku. Usai kita mengakses google, usai kita mendapat apa yang kita mau,
google ditinggalkan begitu saja. Bahkan saya yakin kebanyakan dari kita tak
pernah mau tahu siapa penemu dan sejarah google. Google sebatas menjadi tool saja, menjadi alat yang tak harus
dirawat, tak harus dijaga, tak harus dihormati. Sikap ketidakhormatan kita dan
pemberian gelar pada google saya takutkan akan diseret ke dunia nyata.
Maksudnya sikap kita pada Mbah, Syekh, Prof. google akan kita samaratakan
dengan sikap kita pada Mbah, Syekh dan Prof. sungguhan, pada mereka yang memang
manusia.
Bagi banyak orang barangkali google (atau
internet) menjadi pilihan pertama sebagai media pemuas hasrat keingintahuan.
Jika merasa belum terpuaskan barulah kita akan beranjak ke perpustakaan atau
toko buku, mencari buku sebagai media pemuas selanjutnya. Jika masih belum
terpuaskan juga, barulah kita mencari seseorang yang kita anggap bisa memuaskan
hasrat ini, atau sebaliknya, bertanya dulu pada orang kemudian membaca buku.
Sebatas mekanisme, ini masih bisa diterima. Yang kemudian menjadi persoalan
ialah jika mekanisme ini kemudian membawa serta sikap, khususnya sikap batin.
Sikap batin kita berhadapan dengan google disamaratakan ketika kita menghadapi
Mbah, Syekh atau Prof. sungguhan. Kita membawa serta ketidakhormatan kita pada
google bersama mekanisme pemuasan hasrat keingintahuan hingga pada taraf
tertinggi, hingga pada taraf Sang Sumber Ilmu, Tuhan Yang Maha Segalagala.
Sikap batin kita pada Tuhan dipukulrata, sama seperti sikap batin kita pada
google. Ini persoalan. Saya kira ini bukan tidak mungkin. Ini bisa saja
terjadi, barangkali sudah terjadi pada alam bawah sadar kita. Kita
memperlakukan Tuhan sebatas menjadi pemuas belaka. Pemuas keingintahuan, pemuas
diri belaka. Kita kemudian lupa berterima kasih jika telah terpuaskan, sama
seperti tak pernahnya kita berterima kasih pada google. Kita lantas memaki-maki
Tuhan, sama seperti memaki google jika keinginan kita tak terpuaskan. Atau yang
lebih mengerikan ialah jika kita justru menuhankan google ketimbang Tuhan itu
sendiri. Nabi dan Kitab Suci pun mengalami nasib yang sama.
Membahas Tuhan, kita tak kan usai
memperdebatkannya. Toh pada akhirnya persoalan ke-Tuhan-an adalah hal keyakinan
dan keyakian sebaiknya tidak diperdebatkan, cukup diyakini dan dilakoni. Saya
lebih meyoroti soal dampak google ini terhadap hubungan manusia.
Hubungan individu dengan individu bisa dilatar
belakangi pelbagai hal. Latar belakang apapun barangkali orientasi akhirnya
adalah diri sendiri, pemuasan diri. Pola hubungan self oriented ini sudah melekat sejak lama, bahkan ada sejak masa
Adam dan Hawa (Eva). Bagi penganut agama-agama Ibrahim, tentu akrab dengan
kisah yang jika dalam Islam disebut Habil dan Qabil. 2 anak Adam yang mengukir
sejarah sebagai pembunuh dan terbunuh pada kasus pembunuhan pertama di dunia.
Pembunuhan atas dasar kepuasan diri. Qabil membunuh saudaranya sendiri, Habil,
lantaran merasa tak puas dijodohkan dengan saudara perempuannya yang kurang
cantik sedang Habil mendapatkan pasangan yang lebih cantik. Inti utamanya saya
pikir ihwal kepuasan diri sendiri. Hal pengorbanan atas nama asmarapun adalah
tentang kepuasan diri. Si pecinta merasa puas jika telah berkorban untuk yang
dicinta. Si pecinta merasa puas jika yang dicinta terpuaskan meski secara
lahiriah si pecinta tampak tak puas, tapi justru batinnya merasa sangat
bahagia. Sikap batin yang terpuaskan ini memang memiliki banyak varian dan
level barangkali. Dalam konteks sosial, manusia pada akhirnya menukar
kepuasannya dengan kepuasanan manusia lain.
Ihwal mempertukarkan kepuasan ini kemudian yang
menjadi sumber dari hubungan manusia dengan manusia lain. Ada yang menukar
kasih sayang, menukar kepuasan seks, menukar ilmu, menukar barang dan menukar
hal lain. Satu yang kemudian berkaitan dengan hasrat keingintahuan ialah
penukaran informasi. Seperti ketika berhubungan dengan google, sejatinya kita
menukar informasi dengan uang, kita membeli informasi. Penukaran informasi
dengan uang ini memang sangat subtil hingga jarang kita sadari. Makin hasrat
keingintahuan kita ingin terpuaskan dengan google, makin kaya si pemilik saham
google di Amerika sana. Tapi saya kira ini adalah hubungan yang wajar, membeli
informasi. Yang kemudian menjadi kurang wajar adalah jika sikap lahir batin pemuasan
hasrat keingintahuan yang biasa kita lakukan pada google lantas kita terapkan
pada sesama manusia. Karena saking seringnya kita memuaskan hasrat pada google,
saya khawatir kita kemudian melakukan hal yang sama pada manusia. Kita
mengg-google-kan manusia. Manusia hanya kita anggap sebagai pemuas hasrat
keingintahuan belaka layaknya google. Usai kita terpuaskan boleh kita lupakan
sama sekali dan kita bisa seenaknya menemui (mengakses) nya demi memuaskan
hasrat ini. Secara sepintas hal ini memang lumrah terjadi tatkala seseorang
menemui orang lain untuk mendapat informasi, ilmu atau wawasan, semacam murid
dan guru. Tetapi yang mengerikan ialah ketika dimensi kemanusiaan dihilangkan
sama sekali atau tererosi secara tidak sadar. Manusia hanya memperlakukan
“guru” tak lebih dari sebuah mesin penjawab, mesin pencari, mesin pengurai
masalah. Kita hanya melihat manusia sebagai alat atau media pemuas hasrat
ingintahu belaka. Kita hanya melihat manusia sebagian saja, satu sudut saja,
bagian yang kita butuhkan belaka. Kita tidak pernah memandang manusia sebagai
manusia yang punya pelbagai dimensi demi keutuhannya dan eksistensinya selaku
manusia.
Sederhanya begini : si A datang ke si B hanya
sekedar ingin berdiskusi. Sebatas diskusi. A sama sekali tak peduli tentang hal
lain selain wawasan, informasi dan ilmu si B, itupun untuk kepuasan si A belaka
sebab si A haus akan hal yang dimiliki B. Ini hal biasa, sampai kemunculan
google. Kemunculan google telah menggeser sikap batin si A. Sikap berhadapan
dengan manusia kemudian bergeser menjadi sikap menghadapi mesin. Si B sebatas
menjadi mesin di mata A.
Awalnya, google saya kira memang terinspirasi dari
para cendekia yang menguasai pelbagai ilmu dan punya cakrawal wawasan yang luas.
Para penemu google ingin menciptakan cendekia maya yang bisa dihubungi kapan
saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sampai pada niatan ini, masih belum ada
persoalan. Google hadir, semakin menyempurnakan diri dan mencapai kondisi
seperti yang diinginkan penemunya. Persoalan muncul tatkala google mewabah dan
menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari manusia. Google yang tadinya ingin
seperti cendekia malah dianggap cendekia sungguhan dan menggeser cendekia dari
bangsa manusia. Bukan hanya cendekia yang tergeser, kehormatan ilmu pun jadi
ikut tergeser karena kecendekiaan google yang murah meriah.
Kecendekiaan google yang murah meriah ini kemudian
direspon oleh para penggunanya menjadi sikap batin yang meremehkan segala
sesuatu, memurah meriahkan segala sesuatu, memurah meriahkan ilmu, memurah
meriahkan manusia. Manusia menjadi kurang berharga, turun kehormatannya di mata
manusia lain (pengguna internet). Manusia cendekia menjadi tidak laku sebab ada
google yang murah meriah. Jikapun ada seseorang cerdas bak google, toh orang lain
hanya akan memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan google. Human Googlisation pada hakekatnya
adalah dehumanisasi.
Dan ketika inilah manusia butuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar