Minggu, 05 Juni 2016

Human Googlisation

Human Googlisation
Hasil gambar untuk google
Google, kata yang sangat akrab sekali dengan kita, setidaknya di era milenium ini. Kita sering dibuat tak sadar bahwa google adalah nama perusahaan atau merk dagang. Dan bagi masyarakat awam barangkali kurang menyadari bahwa selain google, banyak juga mesin pencari lainnya semisal Yahoo, Bing, Ask, Lycos dan lain sebagainya. Namun karena google adalah yang paling populer, setidaknya bagi masyarakat awam di Indonesia, maka google adalah yang paling sering di-internet-kan.
Google kini memang telah sangat berkembang, bukan hanya sebagai mesin pencari di internet tapi telah melebarkan jejaringnya ke segala aspek khususnya ihwal teknologi informasi. Yang paling prestisius dan kekinian ialah barangkali kehadiran Android, sistem operasi yang diciptakan google yang kini telah mewabah ke seluruh dunia. Android bersama Apple, BBM dan operation system lainnya bersaing memikat warga dunia dalam bidang teknologi informasi.
Google dengan segala kecanggihan dan kecerdasannya telah mendapat berbagai gelar tambahan dimasyarakat. Mbah Google, Syekh Google, Prof. Google dan berbagai gelar lainnya yang disematkan masyarakat. Gelar-gelar yang biasanya disematkan pada orang yang mempunyai wawasan luas dan/atau mendalam pada suatu bidang ilmu. Fenomena penyematan gelar pada google ini barangkali awalnya memang sebatas keisengan belaka. Awalnya saya rasa jarang ada orang yang benar-benar kagum pada benda mati ini sehingga menempatkan derajatnya setingkat Syekh atau Mbah yang dalam kebudayaan Islam atau Jawa, gelar itu mustilah dimiliki oleh orang-orang hebat. Untuk gelar Mbah memang agak umum sebab Mbah bisa juga berarti panggilan untuk orang yang sudah udzur. Mbah yang saya maksud adalah Mbah yang disematkan kepada ahli-ahli klenik, dukun dan penggiat supranatural yang biasanya memang tahu banyak hal, seperti google.
Penyematan gelar pada google, yang berawal dari keisengan, saya kira pada akhirnya menjadikan si pemberi gelar terlanjur gandrung bahkan fanatik pada google. Ia yang memberi gelar lantas ia pun mengimani gelar tersebut. Pada akhirnya, google baginya memang benar-benar Syekh, benar-benar Mbah, benar-benar Profesor. Pengimanan ini barangkali dilakukannya secara tidak sadar. Google, khususnya pada masyarakat awam yang mulai melek internet, kehadiran dan fungsinya menjadi semacam kewajiban. Hidup tanpa google seolah kita kehilangan separuh otak kita, kehilangan ilmu, kehilangan pergaulan. Padahal google hanyalah benda mati yang status, derajat serta fungsinya tergantung pada kuasa kita. Kita bisa dengan mudah memperlakukannya sekehendak kita. Kita jadikan ia teman, guru atau sebatas media pemuas hasrat keingintahuan, itu terserah pada kita dan semua sah-sah saja.
Kegandrungan kita pada google juga saya kira merupakan perpanjangan dari hasrat keingitahuan manusia yang memang kodrati sifatnya. Manusia dengan segala potensi yang dianugrahkan Tuhan memang sudah semustinya punya hasrat keingintahuan. Dan keingintahuan inilah yang jadi modal awal terciptanya peradaban manusia. Keingintahuan melekat pada diri manusia sama seperti hasrat-hasrat lainnya yang sifatnya internal, azali, kodrati, fitrah. Yang kemudian menjadi berbeda antara dulu dan kini ialah media pemuasnya. Jika dahulu sebelum ada internet, sumber wawasan dan ilmu masih terbatas pada orang tertentu dan buku (teks). Hanya dua hal itu yang boleh dikata sebagai penyalur ilmu. Jika tidak tanya ke orang pintar, ya baca buku (atau literasi lainnya). Sikap kita terhadap buku dan orang pastilah berbeda dengan sikap kita terhadap google. Terhadap buku, setidaknya kita akan merawat dan menjaganya karena buku memang memiliki dimenasi fisik, tak seperti google yang tak berwujud fisik. Meski pada akhirnya bagi orang-orang yang kurang mencintai buku, usai dibaca, usai hasrat keingintahuannya terpenuhi, buku itu lantas disimpan entah di mana atau bahkan dijual ke loak sama sekali. Tapi bagi para pecinta literasi, buku akan sangat dijaga bahkan dihormati. Ia akan diperlakukannya seperti kekasih. Usai dibaca, buku itu akan ditempatkan di tempat yang layak dan akan terus dirawat. Kalaupun dipinjamkan atau diberikan  pada orang lain, si pemberi akan sangat sedih jika bukunya diperlakukan tidak layak oleh si peminjam atau penerima buku. Hal ini nyaris tak kita temukan pada kasus google. Sehormat apapun kita pada google, google tetaplah benda mati tak berwujud. Penghormatan kita  pada google sangat lain dengan penghormatan kita pada buku. Usai kita mengakses google, usai kita mendapat apa yang kita mau, google ditinggalkan begitu saja. Bahkan saya yakin kebanyakan dari kita tak pernah mau tahu siapa penemu dan sejarah google. Google sebatas menjadi tool saja, menjadi alat yang tak harus dirawat, tak harus dijaga, tak harus dihormati. Sikap ketidakhormatan kita dan pemberian gelar pada google saya takutkan akan diseret ke dunia nyata. Maksudnya sikap kita pada Mbah, Syekh, Prof. google akan kita samaratakan dengan sikap kita pada Mbah, Syekh dan Prof. sungguhan, pada mereka yang memang manusia.
Bagi banyak orang barangkali google (atau internet) menjadi pilihan pertama sebagai media pemuas hasrat keingintahuan. Jika merasa belum terpuaskan barulah kita akan beranjak ke perpustakaan atau toko buku, mencari buku sebagai media pemuas selanjutnya. Jika masih belum terpuaskan juga, barulah kita mencari seseorang yang kita anggap bisa memuaskan hasrat ini, atau sebaliknya, bertanya dulu pada orang kemudian membaca buku. Sebatas mekanisme, ini masih bisa diterima. Yang kemudian menjadi persoalan ialah jika mekanisme ini kemudian membawa serta sikap, khususnya sikap batin. Sikap batin kita berhadapan dengan google disamaratakan ketika kita menghadapi Mbah, Syekh atau Prof. sungguhan. Kita membawa serta ketidakhormatan kita pada google bersama mekanisme pemuasan hasrat keingintahuan hingga pada taraf tertinggi, hingga pada taraf Sang Sumber Ilmu, Tuhan Yang Maha Segalagala. Sikap batin kita pada Tuhan dipukulrata, sama seperti sikap batin kita pada google. Ini persoalan. Saya kira ini bukan tidak mungkin. Ini bisa saja terjadi, barangkali sudah terjadi pada alam bawah sadar kita. Kita memperlakukan Tuhan sebatas menjadi pemuas belaka. Pemuas keingintahuan, pemuas diri belaka. Kita kemudian lupa berterima kasih jika telah terpuaskan, sama seperti tak pernahnya kita berterima kasih pada google. Kita lantas memaki-maki Tuhan, sama seperti memaki google jika keinginan kita tak terpuaskan. Atau yang lebih mengerikan ialah jika kita justru menuhankan google ketimbang Tuhan itu sendiri. Nabi dan Kitab Suci pun mengalami nasib yang sama.
Membahas Tuhan, kita tak kan usai memperdebatkannya. Toh pada akhirnya persoalan ke-Tuhan-an adalah hal keyakinan dan keyakian sebaiknya tidak diperdebatkan, cukup diyakini dan dilakoni. Saya lebih meyoroti soal dampak google ini terhadap hubungan manusia.
Hubungan individu dengan individu bisa dilatar belakangi pelbagai hal. Latar belakang apapun barangkali orientasi akhirnya adalah diri sendiri, pemuasan diri. Pola hubungan self oriented ini sudah melekat sejak lama, bahkan ada sejak masa Adam dan Hawa (Eva). Bagi penganut agama-agama Ibrahim, tentu akrab dengan kisah yang jika dalam Islam disebut Habil dan Qabil. 2 anak Adam yang mengukir sejarah sebagai pembunuh dan terbunuh pada kasus pembunuhan pertama di dunia. Pembunuhan atas dasar kepuasan diri. Qabil membunuh saudaranya sendiri, Habil, lantaran merasa tak puas dijodohkan dengan saudara perempuannya yang kurang cantik sedang Habil mendapatkan pasangan yang lebih cantik. Inti utamanya saya pikir ihwal kepuasan diri sendiri. Hal pengorbanan atas nama asmarapun adalah tentang kepuasan diri. Si pecinta merasa puas jika telah berkorban untuk yang dicinta. Si pecinta merasa puas jika yang dicinta terpuaskan meski secara lahiriah si pecinta tampak tak puas, tapi justru batinnya merasa sangat bahagia. Sikap batin yang terpuaskan ini memang memiliki banyak varian dan level barangkali. Dalam konteks sosial, manusia pada akhirnya menukar kepuasannya dengan kepuasanan manusia lain. 
Ihwal mempertukarkan kepuasan ini kemudian yang menjadi sumber dari hubungan manusia dengan manusia lain. Ada yang menukar kasih sayang, menukar kepuasan seks, menukar ilmu, menukar barang dan menukar hal lain. Satu yang kemudian berkaitan dengan hasrat keingintahuan ialah penukaran informasi. Seperti ketika berhubungan dengan google, sejatinya kita menukar informasi dengan uang, kita membeli informasi. Penukaran informasi dengan uang ini memang sangat subtil hingga jarang kita sadari. Makin hasrat keingintahuan kita ingin terpuaskan dengan google, makin kaya si pemilik saham google di Amerika sana. Tapi saya kira ini adalah hubungan yang wajar, membeli informasi. Yang kemudian menjadi kurang wajar adalah jika sikap lahir batin pemuasan hasrat keingintahuan yang biasa kita lakukan pada google lantas kita terapkan pada sesama manusia. Karena saking seringnya kita memuaskan hasrat pada google, saya khawatir kita kemudian melakukan hal yang sama pada manusia. Kita mengg-google-kan manusia. Manusia hanya kita anggap sebagai pemuas hasrat keingintahuan belaka layaknya google. Usai kita terpuaskan boleh kita lupakan sama sekali dan kita bisa seenaknya menemui (mengakses) nya demi memuaskan hasrat ini. Secara sepintas hal ini memang lumrah terjadi tatkala seseorang menemui orang lain untuk mendapat informasi, ilmu atau wawasan, semacam murid dan guru. Tetapi yang mengerikan ialah ketika dimensi kemanusiaan dihilangkan sama sekali atau tererosi secara tidak sadar. Manusia hanya memperlakukan “guru” tak lebih dari sebuah mesin penjawab, mesin pencari, mesin pengurai masalah. Kita hanya melihat manusia sebagai alat atau media pemuas hasrat ingintahu belaka. Kita hanya melihat manusia sebagian saja, satu sudut saja, bagian yang kita butuhkan belaka. Kita tidak pernah memandang manusia sebagai manusia yang punya pelbagai dimensi demi keutuhannya dan eksistensinya selaku manusia.
Sederhanya begini : si A datang ke si B hanya sekedar ingin berdiskusi. Sebatas diskusi. A sama sekali tak peduli tentang hal lain selain wawasan, informasi dan ilmu si B, itupun untuk kepuasan si A belaka sebab si A haus akan hal yang dimiliki B. Ini hal biasa, sampai kemunculan google. Kemunculan google telah menggeser sikap batin si A. Sikap berhadapan dengan manusia kemudian bergeser menjadi sikap menghadapi mesin. Si B sebatas menjadi mesin di mata A.
Awalnya, google saya kira memang terinspirasi dari para cendekia yang menguasai pelbagai ilmu dan punya cakrawal wawasan yang luas. Para penemu google ingin menciptakan cendekia maya yang bisa dihubungi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sampai pada niatan ini, masih belum ada persoalan. Google hadir, semakin menyempurnakan diri dan mencapai kondisi seperti yang diinginkan penemunya. Persoalan muncul tatkala google mewabah dan menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari manusia. Google yang tadinya ingin seperti cendekia malah dianggap cendekia sungguhan dan menggeser cendekia dari bangsa manusia. Bukan hanya cendekia yang tergeser, kehormatan ilmu pun jadi ikut tergeser karena kecendekiaan google yang murah meriah.
Kecendekiaan google yang murah meriah ini kemudian direspon oleh para penggunanya menjadi sikap batin yang meremehkan segala sesuatu, memurah meriahkan segala sesuatu, memurah meriahkan ilmu, memurah meriahkan manusia. Manusia menjadi kurang berharga, turun kehormatannya di mata manusia lain (pengguna internet). Manusia cendekia menjadi tidak laku sebab ada google yang murah meriah. Jikapun ada seseorang cerdas bak google, toh orang lain hanya akan memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan google. Human Googlisation pada hakekatnya adalah dehumanisasi.

Dan ketika inilah manusia butuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...