Sabtu, 11 Juni 2016

Lengser dan Pernikahan

Lengser dan Pernikahan

Hasil gambar untuk pernikahan sunda

Pernikahan, sebuah kata yang sangat familiar, bukan sebuah kata asing. Kata yang wajar, yang telah ada sejak lama. Secara sederhana barangkali pernikahan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan nikah. Sedang nikah sediri menurut KBBI adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedangkan kawin, masih menurut KBBI adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis. Arti leksikal ini agaknya harus direvisi mengingat realitas kontemporer menyuguhkan fakta yang lebih luas dari sekedar yang ada pada kamus. Kita menjumpai pernikahan sesama jenis, menjumpai pernikahan dengan semacam mahluk astral, pernikahan manusia dengan hewan, pernikahan manusia dengan benda mati atau bahkan manusia yang menikahi dirinya sendiri. Namun, tulisan ini bukan hendak menyola definisi nikah secara leksikal ataupun faktual. Tulisan ini lebih menyoal pada sakralitas prosesi pernikahan.
Bertolak dari definisi pernikahan diatas, nikah yang akan disoal di sini ialah perikahan laki-laki dan perempuan seperti yang umum terjadi. Pada tiap kebudayaan di dunia baik yang telah musnah atau masih terjaga hingga kini, selalu ada hal tertentu yang harus dilakukan calon pengantin. Hal tersebut dapat berupa upacara pernikahan yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan. Ada pula yang berupa tindakan khusus yang dilakukan oleh calon pengantin atau keluarga calon pengantin. Apapun itu, pasti ada hal yang wajib dilakukan yang agar pernikahan tersebut sah secara adat. Tiap kebudayaan punya cara tersendiri untuk melegalkan suatu pernikahan.
Saya akan menyoal pernikahan di daerah adat Sunda atau lebih tepatnya Priangan Timur. Saya tidak akan membahas berbagai kegiatan adat secara detil sebab bukan ahlinya. Saya sebatas berbagi pengalaman dan interpretasi atas pengalaman saya. Saya seorang penari, penari tradisi tepatnya. Selain melatih tari di sanggar, kegiatan saya sebagai penari yang concern pada tari tradisi di daerah adalah menari pada acara resepsi pernikahan atau istilahnya Upacara Adat Mapag Pangantén. Kami mengistilahkannya manggung. Bagi sebagian besar penari tradisi di tempat tinggal saya, manggung bukan sebatas mata pencaharian, tapi lebih merupakan eksistensi sebagai penari. Ini unik dan barangkali akan saya bahas pada tulisan lain. Kali ini saya lebih ingin membicarakan mengenai sakralitas rangkaian  upacara pernikahan. Yang saya soal di sini ialah prosesi seni pada pernikahan.
Pada hari pernikahan, biasanya yang pertama disaksikan mayarakat ialah penyAmbutan calon pengantin pria beserta keluarga. Pada momen ini pengantin pria dan keluarga besarnya akan disAmbut oleh prosesi seni berupa tari-tarian yang diiringi musik bernuansa tradisi. Inilah tugas saya, menari untuk menyAmbut calon pengantin pria. Pada banyak kasus, yang dijemput adalah pengantin pria, artinya akad pernikahan telah dilakukan sebelumnya. Pada perkembangannya malah yang dijemput adalah sepasang pengantin baru, bukan hanya pengantin pria saja. Bahkan prosesi terkadang dua kali digelar. Pertama menyambut calon pengantin pria untuk melaksanakan akad. Usai akad, menjelang resepsi, diadakan lagi prosesi penyambutan pengantin baru. Formalitas yang agak aneh saya kira.
Alur prosesi seni macam ini sangat beragam. Maksudya tiap kelompok seni kadang punya gaya berbeda-beda. Namun satu hal yang menjadi umum adalah keberadaan tokoh Lengser. Tokoh yang bisa pula dilacak pada kisah-kisah Padjadjaran atau Mundinglaya Dikusumah. Tokoh ini biasanya dipersonifikasikan sebagai lelaki tua. Biasanya lelaki tua ini bertingkah jenaka, lucu, penuh improvisasi dan interaksi langsung dengan penonton. Pada awalnya, fungsi utama Lengser adalah sebagai semacam protokol bagi jalannya prosesi seni. Lengser biasanya memimpin prosesi hingga calon pengantin duduk di tempat akad atau pelaminan (jika akad telah dilakukan sebelumnya). Tokoh lelaki tua inilah yang biasanya sangat ditunggu-tunggu penonton. Tokoh dengan penuh kejutan dan jenaka. Malah kini Lengser telah berpasangan dengan Ambu, tokoh yang diasumsikan sebagai istri Lengser. Tokoh Ambu ini biasanya dimainkan oleh laki-laki yang berpenampilan seperti nenek-nenek. Seiring berkembangnya kesenian, tokoh Ambu pun kini banyak yang dimainkan oleh yang berjenis kelamin perempuan. Biasanya tokoh Ambu ini tidak boleh kalah jenaka dan gokil dari Lengser. Ya, sepasang suami istri yang sama-sama edan. Aksi-aksi mereka sangat ditunggu-tunggu sebab kehadirannya mampu membuat terpingkal-pingkal. Lengser dan Ambu tidak harus pandai menari, asal bisa melawak saja cukup. Lawakanlah yang ditunggu, bukan tarian.
Sebelum kedatangan Lengser dan Ambu, biasanya suasana khidmat dan agung masih bisa dirasakan. Nah, kemunculan Lengser dan Ambu ini akan langsung mengubah suasana 180 derajat. Suasana menjadi sangat cair, riang, jenaka, humor bahkan konyol. Dalam pandangan saya bahkan cenderung konyol dan menjijikan. Barangkali itu lebih disebabkan perbedaan selera humor. Bagi saya persoaannya bukan pada gaya Lengser dan Ambu yang jenaka, tapi lebih pada takaran dan gaya kejenakaan yang dihadirkan yang kadang menjadi kekonyolan dan kebodohan belaka.
Saya sepakat dengan kejenakaan mereka berdua selama tidak jatuh pada komedi konyol yang ekstra artifisial. Dan sayangnya inilah yang kini lebih sering terjadi. Prosesi seni penyAmbutan berubah menjadi sajian lawak yang konyol dan berlebih. Tak jarang Lengser dan Ambu melakukan aksi-aksi yang berlebih, yang menyakitkan secara fisik. Makin fisik mereka dieksploitasi makin penonton tertawa dan bahagia, makinlah prosesi seni itu dinilai berhasil. Penari-penari yang indah dan gemulai itu seakan tak berarti, seakan hanya gincu belaka.
Sependek pengetahuan saya, bentuk prosesi upacara adat pernikahan bukan merupakan tinggalan budaya lama, budaya leluhur. Memang ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa upacara adat penyAmbutan pengantin sudah ada sejak era Padjadjaran pada abad 14, namun upacara adat pada masa itu hanyalah untuk pernikahan putri raja atau pangagung lain, rakyat biasa tidak boleh menyelenggarakan yang serupa itu. Upacara adat pernikahan yang kita kenal sekarang adalah hasil ciptaan seniman pada kurun waktu 1960–1970an. Dan struktur upacara adat ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan seniman penggarap atau si empunya hajat.
Saya ingin memfokuskan pembahasan ini pada peran Lengser dan Ambu yang seolah merobek sakralitas prosesi seni pada pernikahan. Dalam pandangan saya, seni punya banyak fungsi. Selain sebagai hiburan seni juga punya sisi sakral yang dalam beberapa bagian tidak bisa digeser menjadi profan. Berangkat dari pemikiran tersebut, prosesi seni pernikahan semustiya sakral sebab pernikahan itu sendiri dalam pandangan saya adalah hal sakral, bukan hiburan. Biasanya memang pesta pernikahan diisi dengan beragam hiburan tapi itu hadir pasca akad nikah, pada acara resepsi. Ketika hiburan itu hadir lebih dini, hiburan tersebut malah jadi merusak sakralitas, menggeser sakralitas menjadi profan. Pernikahan menjadi semacam pesta hiburan saja. Memang ada yang berpendapat bahwa sakralitas pernikahan hanya terletak pada akad nikah saja, pada ijab qabul (jika dalam Islam), selain dari hal tersebut bisa dikatakan tidak terlalu sakral atau boleh jadi tidak sakral sama sekali. Namun saya berpendapat, akad nikah adalah puncak sakralitas. Jika kita menggunakan kaca mata dramaturgi, puncak haruslah dipersiapkan, dibina, tidak ujug-ujug puncak. Seperti gunung, tidak mungkin langsung puncak. Ada proses menuju puncak sedari kaki gunung, lereng hingga kemudian ke puncak. Begitupun jika teori tersebut kita aplikasikan pada prosesi seni penyambutan calon pengatin pada acara pernikahan.
Bagaimana membina klimaks yang dalam hal ini adalah akad nikah? Upacara penyambutan untuk calon pengantin pria adalah semacam ungkapan rasa hormat dan cinta dari keluarga mempelai perempuan pada mempelai laki-laki berikut keluarganya. Lelaki benar-benar seolah menjadi “raja sehari”. Ia diperlakukan istimewa, lain dari biasanya. Bagaimana mungkin penghormatan terhadap raja sehari ini dilakukan dengan kekonyolan lisptik?
Kehadiran Lengser yang terlampau konyol justru merusak pembinaan klimaks itu sendiri. Pembinaan klimaks yang dilakukan para penari pria dan wanita dengan menyuguhkan tarian yang sesuai dengan suasana kekhidmatan kemudian dilibas habis oleh kehadiran Lengser. Struktur yang dibangun kemudian rusak sama sekali.
Nah, mengapa ini bisa terjadi? Apakah memang sakralitas pernikahan sudah menjadi pembicaraan arkaik? Jadul? Kuno? Pernikahan dipandang sebatas hal yang profan saja. Menikah sama halnya dengan masuk perguruan tinggi atau bekerja di suatu perusahaan. Menikah sebatas menjadi salah satu fase hidup yang tak beda dengan masuk kerja, masuk kuliah atau bahkan berganti pacar. Ataukah kekonyolan Lengser lebih pada memaksakan masuknya unsur entertaiment pada acara pernikahan?
Memang realitas prosesi seni pernikahan kontemporer mengindikasikan hal itu. Bahwa kini prosesi seni pernikahan bukan lagi menjadi sebatas prosesi tetapi menjadi hiburan. Fungsi sakralitas seni tergerus oleh fungsi seni sebagai hiburan. Upacara adat pernikahan bukan lagi menjadi prosesi dalam balutan seni tetapi bermetemorfosis menjadi seni pertunjukan yang mensyaratkan dominannya unsur hiburan.
Saya kira kondisi ini merupakan gambaran dari jiwa zaman, zeitgeist. Zaman ini sakralitas nyaris menjadi hal yang langka bahkan dipandang kuno dan terbelakang. Pernikahan pun tak luput dari kecenderungan ini. Jika pernikahannya saja sudah tak sakral, mengapa juga hal-hal pendukung pernikahan masih perlu dipandang sakral? Mengapa prosesi seni penyambutan calon pengantin pria masih musti sakral? Mengapa Lengser masih perlu dipandang agung, berwibawa,  dan terhormat?

Namun kemudian saya punya pembacaan lain. Apakah mungkin gaya kekonyolan Lengser adalah gaya ungkap khas suku Sunda?    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...