Lengser dan Pernikahan
Pernikahan, sebuah kata yang sangat familiar,
bukan sebuah kata asing. Kata yang wajar, yang telah ada sejak lama. Secara
sederhana barangkali pernikahan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang
berhubungan dengan nikah. Sedang nikah sediri menurut KBBI adalah ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Sedangkan kawin, masih menurut KBBI adalah membentuk keluarga dengan lawan
jenis. Arti leksikal ini agaknya harus direvisi mengingat realitas kontemporer
menyuguhkan fakta yang lebih luas dari sekedar yang ada pada kamus. Kita
menjumpai pernikahan sesama jenis, menjumpai pernikahan dengan semacam mahluk
astral, pernikahan manusia dengan hewan, pernikahan manusia dengan benda mati
atau bahkan manusia yang menikahi dirinya sendiri. Namun, tulisan ini bukan
hendak menyola definisi nikah secara leksikal ataupun faktual. Tulisan ini
lebih menyoal pada sakralitas prosesi pernikahan.
Bertolak dari definisi pernikahan diatas, nikah
yang akan disoal di sini ialah perikahan laki-laki dan perempuan seperti yang
umum terjadi. Pada tiap kebudayaan di dunia baik yang telah musnah atau masih
terjaga hingga kini, selalu ada hal tertentu yang harus dilakukan calon
pengantin. Hal tersebut dapat berupa upacara pernikahan yang didalamnya
terdapat serangkaian kegiatan. Ada pula yang berupa tindakan khusus yang
dilakukan oleh calon pengantin atau keluarga calon pengantin. Apapun itu, pasti
ada hal yang wajib dilakukan yang agar pernikahan tersebut sah secara adat.
Tiap kebudayaan punya cara tersendiri untuk melegalkan suatu pernikahan.
Saya akan menyoal pernikahan di daerah adat Sunda
atau lebih tepatnya Priangan Timur. Saya tidak akan membahas berbagai kegiatan
adat secara detil sebab bukan ahlinya. Saya sebatas berbagi pengalaman dan interpretasi
atas pengalaman saya. Saya seorang penari, penari tradisi tepatnya. Selain
melatih tari di sanggar, kegiatan saya sebagai penari yang concern pada tari tradisi di daerah adalah menari pada acara
resepsi pernikahan atau istilahnya Upacara
Adat Mapag Pangantén. Kami mengistilahkannya manggung. Bagi sebagian besar penari tradisi di tempat tinggal
saya, manggung bukan sebatas mata
pencaharian, tapi lebih merupakan eksistensi sebagai penari. Ini unik dan
barangkali akan saya bahas pada tulisan lain. Kali ini saya lebih ingin
membicarakan mengenai sakralitas rangkaian
upacara pernikahan. Yang saya soal di sini ialah prosesi seni pada
pernikahan.
Pada hari pernikahan, biasanya yang pertama
disaksikan mayarakat ialah penyAmbutan
calon pengantin pria beserta keluarga. Pada momen ini pengantin pria dan
keluarga besarnya akan disAmbut oleh
prosesi seni berupa tari-tarian yang diiringi musik bernuansa tradisi. Inilah
tugas saya, menari untuk menyAmbut
calon pengantin pria. Pada banyak kasus, yang dijemput adalah pengantin pria,
artinya akad pernikahan telah dilakukan sebelumnya. Pada perkembangannya malah
yang dijemput adalah sepasang pengantin baru, bukan hanya pengantin pria saja.
Bahkan prosesi terkadang dua kali digelar. Pertama menyambut calon pengantin pria untuk melaksanakan akad. Usai akad,
menjelang resepsi, diadakan lagi prosesi penyambutan pengantin baru. Formalitas yang agak aneh saya kira.
Alur prosesi seni macam ini sangat beragam.
Maksudya tiap kelompok seni kadang punya gaya berbeda-beda. Namun satu hal yang
menjadi umum adalah keberadaan tokoh Lengser.
Tokoh yang bisa pula dilacak pada kisah-kisah Padjadjaran atau Mundinglaya Dikusumah. Tokoh ini
biasanya dipersonifikasikan sebagai lelaki tua. Biasanya lelaki tua ini
bertingkah jenaka, lucu, penuh improvisasi dan interaksi langsung dengan
penonton. Pada awalnya, fungsi utama Lengser
adalah sebagai semacam protokol bagi jalannya prosesi seni. Lengser biasanya memimpin prosesi hingga
calon pengantin duduk di tempat akad atau pelaminan (jika akad telah dilakukan
sebelumnya). Tokoh lelaki tua inilah yang biasanya sangat ditunggu-tunggu
penonton. Tokoh dengan penuh kejutan dan jenaka. Malah kini Lengser telah berpasangan dengan Ambu, tokoh yang diasumsikan sebagai
istri Lengser. Tokoh Ambu ini biasanya dimainkan oleh
laki-laki yang berpenampilan seperti nenek-nenek. Seiring berkembangnya
kesenian, tokoh Ambu pun kini banyak
yang dimainkan oleh yang berjenis kelamin perempuan. Biasanya tokoh Ambu ini tidak boleh kalah jenaka dan gokil dari Lengser. Ya, sepasang suami istri yang sama-sama edan. Aksi-aksi
mereka sangat ditunggu-tunggu sebab kehadirannya mampu membuat
terpingkal-pingkal. Lengser dan Ambu tidak harus pandai menari, asal
bisa melawak saja cukup. Lawakanlah yang ditunggu, bukan tarian.
Sebelum kedatangan Lengser dan Ambu,
biasanya suasana khidmat dan agung masih bisa dirasakan. Nah, kemunculan Lengser dan Ambu ini akan langsung mengubah suasana 180 derajat. Suasana
menjadi sangat cair, riang, jenaka, humor bahkan konyol. Dalam pandangan saya
bahkan cenderung konyol dan menjijikan. Barangkali itu lebih disebabkan
perbedaan selera humor. Bagi saya persoaannya bukan pada gaya Lengser dan Ambu yang jenaka, tapi lebih pada takaran dan gaya kejenakaan yang
dihadirkan yang kadang menjadi kekonyolan dan kebodohan belaka.
Saya sepakat dengan kejenakaan mereka berdua selama
tidak jatuh pada komedi konyol yang ekstra artifisial. Dan sayangnya inilah yang
kini lebih sering terjadi. Prosesi seni penyAmbutan
berubah menjadi sajian lawak yang konyol dan berlebih. Tak jarang Lengser dan Ambu melakukan aksi-aksi yang berlebih, yang menyakitkan secara
fisik. Makin fisik mereka dieksploitasi makin penonton tertawa dan bahagia,
makinlah prosesi seni itu dinilai berhasil. Penari-penari yang indah dan
gemulai itu seakan tak berarti, seakan hanya gincu belaka.
Sependek pengetahuan saya, bentuk prosesi upacara
adat pernikahan bukan merupakan tinggalan budaya lama, budaya leluhur. Memang
ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa upacara adat penyAmbutan pengantin sudah ada sejak era Padjadjaran pada abad 14,
namun upacara adat pada masa itu hanyalah untuk pernikahan putri raja atau pangagung lain, rakyat biasa tidak boleh
menyelenggarakan yang serupa itu. Upacara adat pernikahan yang kita kenal
sekarang adalah hasil ciptaan seniman pada kurun waktu 1960–1970an.
Dan struktur upacara adat ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan seniman
penggarap atau si empunya hajat.
Saya ingin memfokuskan pembahasan ini pada peran Lengser dan Ambu yang seolah merobek sakralitas prosesi seni pada pernikahan.
Dalam pandangan saya, seni punya banyak fungsi. Selain sebagai hiburan seni
juga punya sisi sakral yang dalam beberapa bagian tidak bisa digeser menjadi
profan. Berangkat dari pemikiran tersebut, prosesi seni pernikahan semustiya
sakral sebab pernikahan itu sendiri dalam pandangan saya adalah hal sakral,
bukan hiburan. Biasanya memang pesta pernikahan diisi dengan beragam hiburan
tapi itu hadir pasca akad nikah, pada acara resepsi. Ketika hiburan itu hadir
lebih dini, hiburan tersebut malah jadi merusak sakralitas, menggeser
sakralitas menjadi profan. Pernikahan menjadi semacam pesta hiburan saja.
Memang ada yang berpendapat bahwa sakralitas pernikahan hanya terletak pada
akad nikah saja, pada ijab qabul (jika dalam Islam), selain dari hal tersebut
bisa dikatakan tidak terlalu sakral atau boleh jadi tidak sakral sama sekali.
Namun saya berpendapat, akad nikah adalah puncak sakralitas. Jika kita
menggunakan kaca mata dramaturgi, puncak haruslah dipersiapkan, dibina, tidak
ujug-ujug puncak. Seperti gunung, tidak mungkin langsung puncak. Ada proses
menuju puncak sedari kaki gunung, lereng hingga kemudian ke puncak. Begitupun jika
teori tersebut kita aplikasikan pada prosesi seni penyambutan calon pengatin
pada acara pernikahan.
Bagaimana membina klimaks yang dalam hal ini
adalah akad nikah? Upacara penyambutan untuk calon pengantin pria adalah
semacam ungkapan rasa hormat dan cinta dari keluarga mempelai perempuan pada
mempelai laki-laki berikut keluarganya. Lelaki benar-benar seolah menjadi “raja
sehari”. Ia diperlakukan istimewa, lain dari biasanya. Bagaimana mungkin
penghormatan terhadap raja sehari ini dilakukan dengan kekonyolan lisptik?
Kehadiran Lengser
yang terlampau konyol justru merusak pembinaan klimaks itu sendiri. Pembinaan
klimaks yang dilakukan para penari pria dan wanita dengan menyuguhkan tarian
yang sesuai dengan suasana kekhidmatan kemudian dilibas habis oleh kehadiran Lengser. Struktur yang dibangun kemudian
rusak sama sekali.
Nah, mengapa ini bisa terjadi? Apakah memang
sakralitas pernikahan sudah menjadi pembicaraan arkaik? Jadul? Kuno? Pernikahan
dipandang sebatas hal yang profan saja. Menikah sama halnya dengan masuk
perguruan tinggi atau bekerja di suatu perusahaan. Menikah sebatas menjadi
salah satu fase hidup yang tak beda dengan masuk kerja, masuk kuliah atau
bahkan berganti pacar. Ataukah kekonyolan Lengser
lebih pada memaksakan masuknya unsur entertaiment pada acara pernikahan?
Memang realitas prosesi seni pernikahan
kontemporer mengindikasikan hal itu. Bahwa kini prosesi seni pernikahan bukan
lagi menjadi sebatas prosesi tetapi menjadi hiburan. Fungsi sakralitas seni
tergerus oleh fungsi seni sebagai hiburan. Upacara adat pernikahan bukan lagi
menjadi prosesi dalam balutan seni tetapi bermetemorfosis menjadi seni
pertunjukan yang mensyaratkan dominannya unsur hiburan.
Saya kira kondisi ini merupakan gambaran dari jiwa
zaman, zeitgeist. Zaman ini
sakralitas nyaris menjadi hal yang langka bahkan dipandang kuno dan
terbelakang. Pernikahan pun tak luput dari kecenderungan ini. Jika
pernikahannya saja sudah tak sakral, mengapa juga hal-hal pendukung pernikahan
masih perlu dipandang sakral? Mengapa prosesi seni penyambutan calon pengantin
pria masih musti sakral? Mengapa Lengser
masih perlu dipandang agung, berwibawa, dan terhormat?
Namun kemudian saya punya pembacaan lain. Apakah
mungkin gaya kekonyolan Lengser adalah
gaya ungkap khas suku Sunda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar