Minggu, 29 Mei 2016

Mabuk Tari

MABUKTARI

+   A, di sanggar?
Muhun. Kumaha manawi?
+   Bade latihan tari.
Mangga. Kanggo naon manawi?
+   Kanggo ujian.
......................

Kira-kira itu isi esemes saya dengan seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan PGMI di sebuah universitas swasta di kota saya. Saya tinggal dan bergiat di sanggar seni tari tradisional di sebuah kota kecil. Orang-orang sering datang ke sanggar kami untuk belajar menari. Mereka ingin belajar menari rata-rata anak sekolah atau mahasiswa. Biasanya untuk kepentingan ujian mata pelajaran/kuliah seni. Hampir tidak ada orang yang datang ke sanggar kami dengan tujuan ingin bisa menari karena ingin atau karena kecintaannya pada kesenian. Maklum saja, saya tinggal di kota kecil yang tanggung. Belum terlalu siap dengan modernitas yang utuh. Tidak juga mau mengakar pada local wisdom. Nanggung. Penampakan kota yang sudah disentuh modernitas di sana sini tidak diimbangi dengan pola pikir yang modern. Pola pikirnya masih cenderung ngampung. Modernitasnya masih cangkang di satu sisi, sisi lain justru kini sedang menggencarnya gerakan cinta budaya lokal. Sayangnya itu pun masih cangkang. Masih baju saja atau aksesoris.
Wah, malah melenceng membahas kota tempat saya tinggal, padahal maksud saya ingin membicarakan tentang tari, khususnya yang terjadi di sanggar tempat saya bergiat.
Baru-baru kemarin ada sekelompok mahasiswa yang datang ke sanggar minta untuk dibuatkan dan dilatih tari guna kepentingan ujian mata kuliah kesenian. Anggotanya ada enam orang, perempuan semua. Latihan setiap hari selama lebih kurang seminggu. Sangat mepet dan sangat tidak ideal jika berpikir kualitas. Namun karena ini hanya untuk nilai ujian saja, mereka pun agaknya tak terlalu berpikir ke arah sana. Latihan pertama sampai terakhir, saya memperhatikan perkembangan mereka. Kualitas gerak, koreografi juga psikis mereka.
Ada satu orang diantara mereka yang pernah aktif menari semasa esem-a. Yang lain saya kira tidak. Tampak jelas perbedaannya antara yang pernah menari dengan yang sama sekali baru kali itu menari. Tubuhnya jelas kaku. Koordinasi tubuhnya tidak bekerja dengan baik. Hafalan koreografinya lemah. Daya musikalitasnya pun buruk. Seraca psikis, saya perhatikan semangat mereka latihan memang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ada yang semangat meski ia sering salah. Ada pula yang kurang semangat dan ia selalu juga salah.
Namun yang menjadi menarik, saat menuju usai, saat semua koreografi untuk kepenentingan tari komposisi ini sudah disusun, pola lantai, musik, bahkan kostum telah digarap, ada sesuatu yang saya kira mereka pun tak menyadari. Saya perhatikan, di saat akhir itu, mereka seakan lupa bahwa mereka latihan menari adalah untuk ujian. Tidak ada sama sekali bebena ujian akaemik di mata mereka. Mereka seolah melupakannya atau terlupakan barangkali. Yang saya lihat hanya kegembiraan, kepuasan, kenikmatan menari. Ini menjadi sangat nampak karena hal ini tidak muncul di awal-awal latihan. Latihan pertama sampai ketiga saya masih melihat beban ujian di mata mereka yang kian kemari kian pudar kemudian tergantikan oleh beban pementasan yang sama sekali lain dengan beban ujian yang orientasinya nilai kuantitatif. Mereka terlena, terhanyut dalam atmosfer proses seni pertunjukan. Mereka mabuk.
Saya mencoba mengingat kembali ke belakang pada saat ada kelompok serupa yang latihan di sanggar kami. Maksudnya sekelompok siswa atau mahasiswa yang datang ke sanggar minta dilatih tari untuk tujuan ujian akademik. Mereka yang datang ke sanggar kami tidak ada yang kuliah di jurusan kesenian karena memang kampus-kampus yang ada di kota saya tidak memiliki jurusan itu. Biasanya mahasiswa yang datang ialah mereka yang kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PG-SD) atau PG-MI (Madrasah Ibtidaiyah), Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PG-TK) atau Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD). Di jurusan-jurusan itu memang ada mata kuliah kesenian yang terkadang pada ujiannya harus mementaskan sebuah tarian, biasanya berkelompok. Yang coba saya ingat ialah ternyata fenomena mabuk tari ini terjadi pada hampir semua kelompok siswa/mahasiswa. Pada akhir-akhir proses latihan, orientasi mereka seolah berubah dari yang awalnya (sebatas) ujian kemudian menjadi pementasan.
Ini yang menarik bagi saya. Bagaimana proses berkesenian bisa mengubah sesuatu bahkan niat sekalipun ketika itu dijalani dengan sungguh-sungguh. Tari, teater dan musik sebagai genre seni yang konon tergolong seni kolektif ini memang mengandung banyak keajaiban, khususnya ketika proses penggarapannya. Barangkali sebetulnya ini bukan ajaib dalam arti irasional atau gaib. Sebenarnya, saya kira ini bisa saja dijelaskan secara psikologis.
Tiap kepala jelas pasti berbeda. Beda segalanya : karakter, pikiran, perasaan, kemampuan dan sebagainya. Kalau pun ada kesamaan, tidak mungkin sama seratus persen. Biarpun pada awalnya mereka yang terlibat dalam satu tim pementasan itu punya visi yang sama, tapi pada praktiknya pasti berbenturan dengan berbagai hal. Sebut saja misalnya benturan yang terjadi antar individu itu sendiri. Atau bahkan benturan intra individu, dia dengan dirinya sendiri. Benturan keseluruhan kelompok itu dengan kelompok lain, misalnya. Dan banyak lagi. Banyaknya benturan yang terjadi tidak akan mengubah visi jika memang semua sudah sepakat dengan visi bersama yang sebelumnya telah ditetapkan. Justru inilah yang biasanya menjadi sumber benturan.
Sebut saya visi itu adalah tujuan utama. Visi itu pengikat sekian kepala yang terlibat. Katakan misalnya tujuan mereka adalah pentas tari untuk kepentingan ujian yang hasil akhirnya pasti nilai dalam wujud angka atau huruf tertentu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sekelompok orang ini musti melewati sebuah jalan. Dalam proses berkesenian, salah satu bagian jalan tersebut ialah latihan. Latihan tari. Berbicara latihan tari, banyak aspek yang akan terlibat. Kesenian adalah ciptaan manusia. Dalam tari, manusia sebagai pencipta sekaligus media sebab media utama tari adalah tubuh. Artinya latihan tari sangat berkaitan dengan manusia. Maka berbicara latihan tari pasti berbicara manusia : kelenturan, kekuatan, stamina, kecerdasan koordinasi tubuh, daya tangkap, daya ingat, dan lain-lain. Sekelompok orang ini pasti berbeda-beda dalam hal kelenturan, kekuatan dan lainnya. Di atas segala perbedaan itulah mereka musti mewujudkan visinya, tujuannya.
Dalam praktiknya, banyak saya temukan bahwa ada satu dua orang dalam kelompok tersebut yang mendominasi. Maksudnya ada saja satu dua orang yang dijadikan pemimpin atau dia menjadikan dirinya pemimpin. Biasanya sosok pemimpin adalah orang yang dianggap  terbaik dalam menari diantara mereka. Ketika awal latihan, seperti yang sudah saya kemukakan, mereka masih terpatok pada tujuan awal, ujian. Pembicaraan mereka masih seputar ujian. Namun kian kemari, ketika mereka mulai merasakan atmosfer latihan, atmosfer proses, lambat laun topik mereka beralih pada pemetasan, pada kesenian itu sendiri. Ini barangkali karena atmosfer latihan itu sendiri yang mempengaruhi mereka.
Sekelompok orang yang bukan penari, belajar menari dalam waktu singkat untuk kepentingan ujian akademik. Bisa dibayangkan bagaimana proses yang musti dilalui. Tubuh harus dalam seketika menjadi tubuh tari. Belum lagi jika tari yang disajikan berupa tari rampak yang kekompakan gerak adalah menjadi mutlak. Mereka yang bukan penari akan cukup kesulitan melakukan ini. Tapi sesulit apa pun ini harus mereka tempuh demi sebuah pertunjukan tari yang memuaskan setidaknya bagi mereka sendiri. Untuk mencapai kepuasan tersebut, mereka musti berusaha keras menyesuaikan diri dengan tari. Bagaimana mereka berusaha menyesuaikan diri dengan koreografi, dengan pola lantai, dengan musik, dengan properti inlah barangkali yang mengalihkan pikiran mereka dari awalnya pikiran ujian ke pikiran pertunjukan.
Dan ketika mereka mencapai klimaksnya, saya melihat wajah kepuasan. Bukan kepuasan karena telah melaksanakan ujian, tapi kepuasaan batin usai pementasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...