Sabtu, 28 Mei 2016

Negara, Seni dan Seniman



Negara, Seni dan Seniman

Suatu sore, saya bersama seorang teman sedang melatih anak-anak SMA untuk sebuah pementasan teater di sekolah mereka. Beberapa waktu sebelumnya, guru mereka yang merupakan pembina kesenian di sekolah tersebut menghubungi saya dan meminta bantuan untuk melatih serta menyutradarai ekskul kesenian di SMA itu untuk sebuah pementasan yang rutin diadakan tiap tahunnya. Saya menyangupi karena memang sedang membutuhkan uang untuk pertunjukan kelompok teater saya yang sedang saya garap. Saya bersama dua orang teman, seorang penata musik dan seorang lagi penata artistik, saya sendiri sebagai sutradara merangkap penata tari menyanggupi untuk menggarap pementasan itu.
Latihan disepakati seminggu tiga kali, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Jadwal itu ialah penyesuaian saya dengan jadwal latihan teater kelompok saya. Biasanya kami berlatih di ruang kelas. Sore itu, entah bagaimana cerita awalnya kami berlatih di aula. Memang sejak lama pun saya meminta pada pengurus untuk bisa mengurus ijin agar kami bisa berlatih di aula yang juga akan kami gunakan sebagai tempat pementasan. Latihan sore itu mulai jam tiga kurang. Biasanya kami berlatih hingga pukul enam. Sore itu ketika latihan masih berjalan, seseorang mengingatkan saya untuk memperpendek durasi latihan karena aula yang kami pakai latihan akan digunakan untuk acara pramuka. Saya mengiyakan saja dan jam lima kurang pun latihan sudah saya sudahi. Usai latihan, seperti biasa saya mengevaluasi latihan yang barusan saja berlangsung. Ditengah pembicaraan, tiba-tiba si ketua ekskul itu menyela dan mengatakan bahwa aula akan segera digunakan untuk upacara anak-anak pramuka, jadi aula harus segera dikosongkan. Reaksi saya ketika itu selayaknya manusia, marah. Dan perasaan saya saat itu kecewa sekaligus sedih. Ternyata begitu terinjaknya kesenian dibanding ekskul lain. Memang terkesan sederhana dan remeh temeh masalahnya. Cuma menyela  evaluasi karena aula akan digunakan untuk kegiatan pramuka. Tapi dibalik itu saya merasa miris. Seketika itu memang saya hanya marah saja, itu pun tak begitu dahsyat. Namun ketika pulang, saya berpikir tentang kejadian barusan. Sejenak mengingat masa lalu, beberapa kali saya mengalami peristiwa seperti itu meski tak serupa. Intinya ekskul kesenian selalu saja terinjak dan terkalahkan oleh ekskul yang lebih “nasional”. Kesenian di sekolahan hanya jadi pelengkap saja dan tidak pernah benar-benar serius dipelajari, apalagi diamalkan, cuma dipengenalan sebatas permukaan saja. Dan selalu kesenian dikerjakan dengan setengah hati, kesenian selalu menjadi nomor sekian, tidak penting, aksesoris, pelengkap dan hiburan semata. Maka wajar jika ekskul seni itu selalu terinjak-injak, kalah oleh ekskul yang lebih “nasional”. 
Saya tidak tahu kapan pastinya seniman mulai ada di muka bumi ini. Yang jelas saya tahu ialah sejarah mengatakan bahwa kerajaan, negara serta peradaban manapun di belahan dunia manapun  yang pernah ada di muka bumi ini pasti memiliki karya seni dan senimannya. Artinya bahwa negara, kerajaan, kesultanan atau apapun istilahnya pastilah tak terlepas dari seni dan secara otomatis senimannya.
Lihat saja misalnya peradaban Mesir Kuno yang jejak kesenian dan senimannya bisa kita telusuri dari hieroglif yang katanya terdiri dari 700 gambar itu. Mari berkunjung ke Cina Kuno yang sisa kemegahannya masih dapat kita nikmati hingga kini. India dengan Ramayana dan Mahabarata-nya telah bercerita banyak hal tentang manusia, negara serta filsafat Hindu. Berkunjung ke Eropa, kita tak bisa lepas dari sejarah kerajaannya juga seni dan senimannya. Inggris dengan William Shakespear-nya, Jerman dengan Gothe-nya, Itali dengan Da Vinci-nya, dsb.
Bicara Nusantara juga tak bisa lepas dari bicara keseniannya. Lahir, berkembang serta jayanya kerajaan-kerajaan Nusantara berbanding lurus dengan perkembangan seni di kerajaan tersebut. Singosari, Kediri, Majapahit, Sriwijaya, Sunda, Galuh, Bali, Caruban Nagari dan kerajaanya lainnya pastilah memiliki kesenian dan senimannya. Kini kisah sejarah itu masih dapat kita saksikan di daerah yang memiliki keraton atau kesultanan. Sebut saja misalnya Yogya, Solo serta Cirebon yang masih memiliki keraton, ketiga keraton itu pun masih pula memiliki kesenian serta seniman keraton (kerajaan).
Seniman-seniman itu dihidupi oleh Negara dan tugasnya jelas, menciptakan karya seni. Sejak dulu memang seniman memiliki kekerabatan yang dekat dengan keluarga kerajaan baik kerajaan Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Seniman-seniman kerajaan ini bertugas membuat karya seni yang mana ia hidup darinya. Karya seninya dihargai oleh negara bahkan dipelihara dan dihormati. Banyak juga seniman  yang membuat karya seni pesanan penguasa baik sebagai hiburan atau bahkan propaganda. Intinya sudah sejak lama negara/kerajaan memiliki hubungan erat dengan seni dan senimannya sampai ada istilah seniman kerajaan.
Dan bagaimana Indonesia kini? Negara, seni dan senimannya? Saya tak akan terlampau luas membicarakan Indonesia yang belum pernah saya jelajahi tiap incinya. Ruang lingkupnya akan saya persempit menjadi kabupaten Ciamis, sebuah kabupaten di Jawa Barat. Dari Ciamis ini  embrio pemikiran saya tentang Negara, seni dan seniman lahir. Dan Ciamis pun akan saya persempit lagi dunia pendidikannya dan saya ini pun saya persempit lagi menjadi sekolah setingkat SMA saja, ini masih dipersempit lagi hingga memang apa yang saya ungkapkan disini ialah hasil pemikiran yang berasal dari pergesekan saya dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar saya alami sendiri, salah satunya yang saya sampaikan di muka.
Ya, awalnya saya berpikir pramuka adalah sahabat ekskul seni karena memang pengalaman saya di sewaktu sekolah di SMA berkata demikian. Ternyata barangkali pemikiran itu timbul karena kebetulan saya berkawan baik dengan para anggota dan pengurus pramuka di sekolah saya waktu itu. Setelah saya pikir kembali, justru pramukalah yang menjadi penindas kesenian. Bukan karena orang-orang pramukanya, tapi karena payung hukumnya. Pramuka, setahu saya, memang memiliki payung hukum berupa undang-undang. Bahkan presiden otomatis menjadi pramuka utama (kalau tak salah). Pramuka diwajibkan ada di setiap sekolah di seluruh NKRI, mulai dari SD sampai SMA. Segala tektek bengeknya telah teratur jelas dalam UU dan AD ART Gerakan Pramuka. Dan nyatanya memang di tiap sekolah pasti ada pramuka. Anggarannya jelas, even-evennya dari yang lokalan tingkat kecamatan hingga tingkal internasional selalu digelar. Pertanyaannya kenapa pramuka bisa sampai dianak emaskan seperti itu? Apakah karena pramuka berskala internasional? Apakah kesenian tidak berskala nasional? Atau apakah karena dahulu pramuka membantu perjuangan kemerdekaan? Oh, apakah seniman waktu itu cuma bengong saja? Padahal kita tahu Soekarno pun dulu sempat berjuang dengan media seni drama ketika dalam pengasingan dan kita juga tahu bagaimana perjuangan para penyair, misalnya, dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ataukah karena pramuka diyakini sebagai media pembentukan karakter bagi para anggotanya sedang kesenian hanya media hiburan saja?
Akibat penindasan yang sering dialami kesenian di sekolah, akhirnya  menjadikan saya apriori pada ekskul “nasional” itu. Atau bisa saja ini akibat saya iri pada mereka. Kenapa mereka begitu diperhatikan negara sedang kesenian biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang didukung? Padahal jika kita merujuk sejarah, berbicara pramuka di Indonesia kita akan berhenti pada tahun dan peristiwa tertentu pada jaman kemerdekaan misalnya. Namun ketika kita bicara kesenian, mungkin penelitian kita akan berhenti pada awal kehidupan manusia di muka bumi. Dari hal ini saya berpikir bahwa kita, masyarakat Indonesia (sebagai negara) terjebak dalam kebudayaan ‘45 saja. Kebudayaan ’45 merupakan istilah saya untuk merujuk pada kebudayaan yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan. Pramuka dan PASKIBRA adalah salah satu contohnya. Kenapa kita begitu dangkal dengan berpikir hanya sampai tahun ’45 saja? Memang sebagai Negara barangkali, tahun ’45 merupakan peristiwa paling bersejarah maka banyak hal yang berkaitannya dengannya kemudian di “nasional”kan atau bahkan disakralkan. Tapi berbicara Nusantara atau bicara kita sebagai etnis A, suku A, kerajaan A dan sebagainya yang lebih mengakar, kita memiliki sesuatu yang jauh lebih tua dari usia Indonesia, jauh lebih tua dari Pramuka atau PASKIBRA. Kita punya sesuatu yang sebenarnya lebih mendarah daging dari kedua organisasi itu dan mungkin karena terlalu mendarah daging, terlalu melekat sampai-sampai sering kita lupakan.
 Saya tidak tahu pasti kenapa pramuka begitu disakralkan oleh negara dan keberadaannya diwajibkan di sekolah. Dan kenapa negara tidak mewajibkan kesenian di sekolah. Kesenian hanya dipelajari dua jam pelajaran tiap minggunya, itu pun dipelajari sebatas formalitas saja. Padahal jika benar-benar dilakoni  kesenian justru bukan sebatas hiburan belaka namun kesenian bisa digunakan sebagai media pembentukan karakter, yang menurut saya jika kesenian yang lakoni itu merupakan kesenian lokal, justru karater yang hadir akan lebih meng-Indonesia.
  Berbicara seniman negara, seperti disebutkan di muka, hampir semua negara/kerajaan/kekaisaran/kesultanan atau apa pun istilahnya pastilah memiliki tim kesenian yang memang diurus dan dihidupi negara. Justru saya tidak mengetahui adanya atlet kerajaan pada jaman dahulu. Atlet negara, keberadaannya menyusul setelah ada kompetisi olah raga antar negara, dan itu usianya jauh lebih muda dari kesenian. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa kesenian yang dulu menjadi bagian dari sebuah negara/kerajaan kini nasibnya tidak jelas, bahkan cenderung kurang didukung. Jangankan negara, di sekolah saja, seperti pengalaman saya diatas, kesenian begitu terpinggirkan. Pikiran sementara saya prihal nasib kesenian (kebudayaan) yang begitu menyedihkan ialah karena Indonesia memang tidak punya “Kebudyaan Nasional” atau “Kesenian Nasional” sebab Indonesia terdiri dari beratus kebudayaan maka otomatis juga terdiri dari beratus pula kesenian. Mungkin si pemerintah (sebagai penyelenggara Negara) bingung, karena bingung maka tidak diurus saja sekalian. Atas hal ini, perlukah kita menyalahkan Gajah Mada yang menurut sejarah ialah orang yang pertama kali menyatukan kerajaan-kerajaan se-Nusantara dibawah bendera Majapahit yang kemudian menjadi cikal bakal Indonesia?
Coba jika Indonesia tak pernah bersatu seperti sekarang? Jika kita masih berupa kerajaan-kerajaan? Atau jika bentuk negara kita ialah serikat seperti Amerika Serikat yang mana masing-masing Negara bagian memiliki aturan sendiri-sendiri yang tak bertentangan dengan undang-undang pemerintahan federal?
Mari berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...