Negara, Seni
dan Seniman
Suatu sore, saya bersama seorang teman
sedang melatih anak-anak SMA untuk sebuah pementasan teater di sekolah mereka.
Beberapa waktu sebelumnya, guru mereka yang merupakan pembina kesenian di
sekolah tersebut menghubungi saya dan meminta bantuan untuk melatih serta
menyutradarai ekskul kesenian di SMA itu untuk sebuah pementasan yang rutin
diadakan tiap tahunnya. Saya menyangupi karena memang
sedang membutuhkan uang untuk pertunjukan kelompok teater saya yang sedang saya
garap. Saya bersama dua orang teman, seorang penata musik dan seorang lagi
penata artistik, saya sendiri sebagai sutradara merangkap penata tari
menyanggupi untuk menggarap pementasan itu.
Latihan disepakati seminggu tiga kali,
Kamis, Jum’at dan Sabtu. Jadwal itu ialah penyesuaian saya dengan jadwal
latihan teater kelompok saya. Biasanya kami berlatih di ruang kelas. Sore itu,
entah bagaimana cerita awalnya kami berlatih di aula. Memang sejak lama pun
saya meminta pada pengurus untuk bisa mengurus ijin agar kami bisa berlatih di
aula yang juga akan kami gunakan sebagai tempat pementasan. Latihan sore itu
mulai jam tiga kurang. Biasanya kami berlatih hingga pukul enam. Sore itu
ketika latihan masih berjalan, seseorang mengingatkan saya untuk memperpendek
durasi latihan karena aula yang kami pakai latihan akan digunakan untuk acara
pramuka. Saya mengiyakan saja dan jam lima kurang pun latihan sudah saya sudahi.
Usai latihan, seperti biasa saya mengevaluasi latihan yang barusan saja berlangsung.
Ditengah pembicaraan, tiba-tiba si ketua ekskul itu menyela dan mengatakan
bahwa aula akan segera digunakan untuk upacara anak-anak pramuka, jadi aula
harus segera dikosongkan. Reaksi saya ketika itu selayaknya manusia, marah. Dan
perasaan saya saat itu kecewa sekaligus sedih. Ternyata begitu terinjaknya
kesenian dibanding ekskul lain. Memang terkesan sederhana dan remeh temeh
masalahnya. Cuma menyela evaluasi karena
aula akan digunakan untuk kegiatan pramuka. Tapi dibalik itu saya merasa miris.
Seketika itu memang saya hanya marah saja, itu pun tak begitu dahsyat. Namun
ketika pulang, saya berpikir tentang kejadian barusan. Sejenak mengingat masa
lalu, beberapa kali saya mengalami peristiwa seperti itu meski tak serupa.
Intinya ekskul kesenian selalu saja terinjak dan terkalahkan oleh ekskul yang
lebih “nasional”. Kesenian di sekolahan hanya jadi pelengkap saja dan tidak
pernah benar-benar serius dipelajari, apalagi diamalkan, cuma dipengenalan
sebatas permukaan saja. Dan selalu kesenian dikerjakan dengan setengah hati,
kesenian selalu menjadi nomor sekian, tidak penting, aksesoris, pelengkap dan
hiburan semata. Maka wajar jika ekskul seni itu selalu terinjak-injak, kalah
oleh ekskul yang lebih “nasional”.
Saya tidak tahu kapan pastinya seniman
mulai ada di muka bumi ini. Yang jelas saya tahu ialah sejarah mengatakan bahwa
kerajaan, negara serta peradaban manapun di belahan dunia manapun yang pernah ada di muka bumi ini pasti
memiliki karya seni dan senimannya. Artinya bahwa negara, kerajaan, kesultanan
atau apapun istilahnya pastilah tak terlepas dari seni dan secara otomatis
senimannya.
Lihat saja misalnya peradaban Mesir Kuno
yang jejak kesenian dan senimannya bisa kita telusuri dari hieroglif yang
katanya terdiri dari 700 gambar itu. Mari berkunjung ke Cina Kuno yang sisa kemegahannya
masih dapat kita nikmati hingga kini. India dengan Ramayana dan Mahabarata-nya
telah bercerita banyak hal tentang manusia, negara serta filsafat Hindu.
Berkunjung ke Eropa, kita tak bisa lepas dari sejarah kerajaannya juga seni dan
senimannya. Inggris dengan William Shakespear-nya, Jerman dengan Gothe-nya,
Itali dengan Da Vinci-nya, dsb.
Bicara Nusantara juga tak bisa lepas
dari bicara keseniannya. Lahir, berkembang serta jayanya kerajaan-kerajaan
Nusantara berbanding lurus dengan perkembangan seni di kerajaan tersebut.
Singosari, Kediri, Majapahit, Sriwijaya, Sunda, Galuh, Bali, Caruban Nagari dan
kerajaanya lainnya pastilah memiliki kesenian dan senimannya. Kini kisah
sejarah itu masih dapat kita saksikan di daerah yang memiliki keraton atau kesultanan.
Sebut saja misalnya Yogya, Solo serta Cirebon yang masih memiliki keraton,
ketiga keraton itu pun masih pula memiliki kesenian serta seniman keraton
(kerajaan).
Seniman-seniman itu dihidupi oleh
Negara dan tugasnya jelas, menciptakan karya seni. Sejak dulu memang seniman
memiliki kekerabatan yang dekat dengan keluarga kerajaan baik kerajaan
Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Seniman-seniman kerajaan ini bertugas membuat
karya seni yang mana ia hidup darinya. Karya seninya dihargai oleh negara
bahkan dipelihara dan dihormati. Banyak juga seniman yang membuat karya seni pesanan penguasa baik
sebagai hiburan atau bahkan propaganda. Intinya sudah sejak lama
negara/kerajaan memiliki hubungan erat dengan seni dan senimannya sampai ada
istilah seniman kerajaan.
Dan bagaimana Indonesia kini? Negara,
seni dan senimannya? Saya tak akan terlampau luas membicarakan Indonesia yang
belum pernah saya jelajahi tiap incinya. Ruang lingkupnya akan saya persempit
menjadi kabupaten Ciamis, sebuah kabupaten di Jawa Barat. Dari Ciamis
ini embrio
pemikiran saya tentang Negara, seni dan seniman lahir.
Dan Ciamis pun akan saya persempit lagi dunia pendidikannya dan saya ini pun
saya persempit lagi menjadi sekolah setingkat SMA saja, ini masih dipersempit
lagi hingga memang apa yang saya ungkapkan disini ialah hasil pemikiran yang
berasal dari pergesekan saya dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar saya
alami sendiri, salah satunya yang saya sampaikan di muka.
Ya, awalnya saya berpikir pramuka
adalah sahabat ekskul seni karena memang pengalaman saya di sewaktu sekolah di
SMA berkata demikian. Ternyata barangkali pemikiran itu timbul karena kebetulan
saya berkawan baik dengan para anggota dan pengurus pramuka di sekolah saya
waktu itu. Setelah saya pikir kembali, justru pramukalah yang menjadi penindas
kesenian. Bukan karena orang-orang pramukanya, tapi karena payung hukumnya.
Pramuka, setahu saya, memang memiliki payung hukum berupa undang-undang. Bahkan
presiden otomatis menjadi pramuka utama (kalau tak salah). Pramuka diwajibkan
ada di setiap sekolah di seluruh NKRI, mulai dari SD sampai SMA. Segala tektek
bengeknya telah teratur jelas dalam UU dan AD ART
Gerakan Pramuka.
Dan nyatanya memang di tiap sekolah pasti ada pramuka. Anggarannya jelas, even-evennya dari yang lokalan tingkat kecamatan
hingga tingkal internasional selalu digelar. Pertanyaannya kenapa
pramuka bisa sampai dianak emaskan seperti itu? Apakah karena pramuka berskala
internasional? Apakah kesenian tidak berskala nasional? Atau apakah karena dahulu
pramuka membantu perjuangan kemerdekaan? Oh, apakah seniman waktu itu cuma
bengong saja? Padahal kita tahu Soekarno pun dulu
sempat berjuang dengan media seni drama ketika
dalam pengasingan dan kita juga tahu
bagaimana perjuangan para penyair, misalnya,
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ataukah karena pramuka diyakini sebagai media
pembentukan karakter bagi para anggotanya sedang kesenian hanya media hiburan
saja?
Akibat penindasan yang sering dialami
kesenian di sekolah, akhirnya menjadikan
saya apriori pada ekskul “nasional” itu. Atau bisa saja ini akibat saya iri
pada mereka. Kenapa mereka begitu diperhatikan negara sedang kesenian
biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang didukung? Padahal jika kita merujuk
sejarah, berbicara pramuka di Indonesia kita akan berhenti pada tahun dan
peristiwa tertentu pada jaman kemerdekaan misalnya. Namun ketika kita bicara
kesenian, mungkin penelitian kita akan berhenti pada awal kehidupan manusia di
muka bumi. Dari hal ini saya berpikir bahwa kita, masyarakat Indonesia (sebagai
negara) terjebak dalam kebudayaan ‘45 saja. Kebudayaan ’45 merupakan istilah
saya untuk merujuk pada kebudayaan yang erat kaitannya dengan perjuangan
kemerdekaan. Pramuka dan PASKIBRA adalah salah satu contohnya. Kenapa kita
begitu dangkal dengan berpikir hanya sampai tahun ’45 saja? Memang sebagai
Negara barangkali, tahun ’45 merupakan peristiwa paling bersejarah maka banyak
hal yang berkaitannya dengannya kemudian di “nasional”kan atau bahkan
disakralkan. Tapi berbicara Nusantara atau bicara kita sebagai etnis A, suku A,
kerajaan A dan sebagainya yang lebih
mengakar,
kita memiliki sesuatu yang jauh lebih tua dari usia Indonesia, jauh lebih tua
dari Pramuka atau PASKIBRA. Kita punya sesuatu yang sebenarnya lebih mendarah
daging dari kedua organisasi itu dan mungkin karena terlalu mendarah
daging, terlalu melekat sampai-sampai sering kita lupakan.
Saya tidak tahu pasti kenapa pramuka begitu
disakralkan oleh negara dan keberadaannya diwajibkan di sekolah. Dan kenapa
negara tidak mewajibkan kesenian di sekolah. Kesenian hanya dipelajari dua jam
pelajaran tiap minggunya, itu pun dipelajari sebatas formalitas saja. Padahal
jika benar-benar dilakoni kesenian
justru bukan sebatas hiburan belaka namun kesenian bisa digunakan sebagai media
pembentukan karakter, yang menurut saya jika kesenian yang lakoni itu merupakan
kesenian lokal, justru karater yang hadir akan lebih meng-Indonesia.
Berbicara seniman negara, seperti disebutkan di muka, hampir semua negara/kerajaan/kekaisaran/kesultanan
atau apa pun istilahnya pastilah memiliki tim kesenian yang memang diurus dan
dihidupi negara. Justru saya tidak mengetahui adanya atlet kerajaan pada jaman
dahulu. Atlet negara, keberadaannya menyusul setelah ada kompetisi olah raga
antar negara, dan itu usianya jauh lebih muda dari kesenian. Mengapa fenomena
ini bisa terjadi? Mengapa kesenian yang dulu menjadi bagian dari sebuah
negara/kerajaan kini nasibnya tidak jelas, bahkan cenderung kurang didukung.
Jangankan negara, di sekolah saja, seperti pengalaman saya diatas, kesenian
begitu terpinggirkan. Pikiran sementara saya prihal nasib kesenian (kebudayaan)
yang begitu menyedihkan ialah karena Indonesia memang tidak punya “Kebudyaan
Nasional” atau “Kesenian Nasional” sebab Indonesia terdiri dari beratus
kebudayaan maka otomatis juga terdiri dari beratus pula kesenian. Mungkin si
pemerintah (sebagai penyelenggara Negara) bingung, karena bingung maka tidak
diurus saja sekalian. Atas hal ini, perlukah
kita menyalahkan Gajah Mada yang menurut sejarah ialah orang yang pertama kali
menyatukan kerajaan-kerajaan se-Nusantara dibawah bendera Majapahit yang
kemudian menjadi cikal bakal Indonesia?
Coba jika Indonesia tak pernah bersatu
seperti sekarang? Jika kita masih berupa kerajaan-kerajaan? Atau jika bentuk
negara kita ialah serikat seperti Amerika Serikat yang mana masing-masing
Negara bagian memiliki aturan sendiri-sendiri yang tak bertentangan dengan
undang-undang pemerintahan federal?
Mari berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar