Sabtu, 28 Mei 2016

Ke-hadir-an Cinta



Ke-hadir-an Cinta

Hasil gambar untuk love 
 
Sejak sekitar tiga hari terakhir Saya dan seorang kawan, Salim (bukan nama sebenarnya), berdiskusi santai. Kami membicarakan banyak hal dan yang terutama sekali, yang agak jarang kami bicarakan, hal cinta. Ini bukan diskusi yang ujug-ujug, yang tanpa kausalitas. Saya tergelitik menyoal seorang teman perempuan kami yang sedang dirundung asmara bahkan berniat serius menyempurnakannya hingga pernikahan (jika pernikahan dipandang suatu penyempurnaan asmara).
Ini sebenarnya obrolan iseng, bisa saja tidak penting sama sekali, pada awalnya. Kami sekedar bergosip, menggosipkan kawan yang menghadapi pernikahan. Obrolan  yang sangat umum dan biasa. Membicarakan sikap lahir batin yang dapat kami tangkap dari kawan perempuan itu, sebut saja Sophia (bukan nama sebenarnya). Sikap yang eksplisit, yang Ia katakan langsung atau sikap implisit yang merupakan hasil penafsiran Saya dan Salim. Bukan hanya Sophia, penafsiran pun kami lakukan atas sikap lahir batin dari calon suaminya, sebut saja Rama (bukan nama sebenarnya).
 Kisah asmara Sophia dan Rama sebenarnya biasa-biasa saja, tidak yang unik. Saya sering mendengar kisah asmara yang serupa ini bahkan  yang lebih dramatis pun pernah Saya dengar. Singkat kisahnya begini, Sophia dalam waktu dekat berencana menikah dengan Rama. Sophia seorang perempuan dari keluarga sederhana. Ia punya seorang kakak perempuan yang belum menikah. Rama, seorang duda beranak satu. Berasal dari keluarga sederhana pula. Ayah Rama seorang seniman dan ini mewaris pada Rama meski dalam bidang seni yang berbeda. Rama dan Sophia sudah pacaran selama lebih kurang dua tahun. Keluarga Rama sudah sangat mempercayakan Sophia sebagai istri Rama, namun sebaliknya, kedua orang tua Sophia kurang sreg jika putri mereka musti menikahi seorang duda. Juga persoalan melangkahi kakak perempuannya yang hingga kini masih lajang. Sederhana dan umum sekali. Tidak ada masalah ekstrem yang mengerikan, sekilas tidak ada yang ramai untuk dijadikan bahan pemikiran. Memang jika dipandang sepintas lalu, kisah ini sangat umum dan kurang menarik jika dibadingkan perikahan beda agama atau perikahan sesama jenis, atau serupa kisah Romeo And Juliet yang legendaris itu, cinta dengan jargon “true love never ending because true love never end”, dengan akhir kematian sepasang kekasih itu. Satu sisi kisah ini boleh dibilang menggambarkan keagungan cinta tapi satu sisi bisa dibilang pula kisah ini tak lebih dari kekonyolan anak muda yang tak punya pandangan futuristik, kekonyolan asmara, sangat irasional (sebab cinta barangkali irasional).
Tapi pembicaraan Saya dan Salim itu menjadi serius ketika kami melakukan penalaran dengan metode induksi, dari hal khusus-khusus menarik simpulan yang bersifat umum. Kami mengabstraksi kisah Sophia dan Rama. Keisengan ini berawal dari sikap Sophia yang siap tapi tak siap untuk menaiki bahtera rumah tangga, melauti samodra realitas yang serba tak pasti ini. Saya kira, itu sikap yang wajar bagi perempuan seperti Sophia. Perempuan petualang, perempuan yang tampilan luarnya cederung maskulin, perempuan  yang mengidentifikasi dirinya sendiri agak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Perempuan yang punya hasrat berkesenian yang tinggi. Ia masih ingin ini itu dan banyak sekali. Sedang pada satu sisi Ia, katanya, ingin menikah dan agaknya dorongan itu kuat sekali, entah mengapa. Saya membaca dorongan itu bukan tanpa sebab. Banyak kemungkinan. Boleh jadi karena trauma. Setahu Saya, dulu Ia penah sempat akan menikah namun kandas tak jelas. Atau boleh jadi dorongan itu disebabkan karena hasrat seks yang tinggi. Atau boleh jadi Ia ingin segera dihidupi secara materi, Ia butuh seseorang yang menghidupi serta bertanggungjawab atas hidupnya secara materi. Selalu banyak kemungkinan bagi manusia sebab manusia adalah mahluk segala kemungkinan. Tiap kenyataan menyodorkan kemungkinan tapi tak semua kemungkinan menjadi kenyataan, begitu kata Dewi Naganingrum, salah satu tokoh dalam lakon Sang Manarah karya Noer JM.
Rama yang duda beranak satu pun agaknya punya dualisme sikap yang sepintas tampak paradoks. Satu sisi keinginannya untuk menikah dengan Sophia sangat tinggi namun tiap kali Sophia meminta mengundurkan jadwal pernikahannya atas alasan Ia masih ingin ini itu, Rama mengiyakan dengan senyuman. Rama pernah berkata pada Saya dengan retoris “Bukankah cinta itu membebaskan?”. Oh, mulia sekali. Namun meski membebaskan, Rama pernah juga berkata pada Saya bahwa Ia tak ingin kehilangannya, Ia semacam cinta mati barangkali. Ia pernah minta bantuan Saya untuk merujukan kembali hubungannya dengan Sophia ketika Sophia menyatakan untuk menyudahi hubungan mereka, suatu hal yang melanggar komitmen mereka berdua. Mereka berdua pernah berkomitmen jika segala masalah antar mereka tak kan bocor ke luar. Tapi ternyata demi asmara Rama melanggar komitmennya dengan pasangan  asmaranya sendiri.
Dari hal-hal itu dan masih banyak hal lain, obrolan Saya dan Salim mengalir. Kami memaparkan hasil interprestasi kami atas kisah Sophia dan Rama. Kegiatan yang iseng memang, namun dari keisengan itu muncul suatu gagasan yang barangkali pernah Saya imani atau bahkan sedang, tentang cinta dan mencintai.
Hingga saat ini Saya masih mencurigai bahwa asmara dalah hasrat seks dalam wujud yang lebih beradab. Itulah barangkali mengapa energi asmara begitu besar, sebab ia berasal dari naluri seks yang sangat biologis, yang merupakan bawaan manusia tanpa ada pegaruh eksternal. Hasrat seks adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Dengan akal budi manusia, hasrat ini dipoles sedemikian rupa hingga mewujud menjadi lebih beradab, lebih santun, lebih manusiawi. Hasrat asmara, sebagaimana hasrat lainnya, mensyaratkan pemuasan. Pemuasan hasrat ini dalam wujud paling sempurna musti melibatkan subjek lain. Ada subjek lain yang kemudian dijadikan media pemuas hasrat. Dari sanalah timbul rasa ingin memiliki yang kuat, saling memiliki hingga terkadang bagi pelakon asmara, privasi adalah hal yang musti dimusnahkan. Intervensi atas otonomi diri adalah pemandangan lumrah pada pelakon asmara. Namun tentu ini tidak berlaku mutlak bagi semua gaya hubungan asmara. Banyak juga gaya hubungan asmara yang tidak demikian.
Menurut pandangan umum, hasrat asmara ialah hasrat yang pemuasan totalnya bersifat resiprok, mensyaratkan kepemilikan mutlak media pemuas hasrat. Ada rasa ingin memiliki yang besar sekaligus rasa enggan kehilangan yang juga besar. Lalu bagaimana individu mendapatkan media pemuasnya? Apakah benar hasrat asmara ini resiprok? Apakah benar resiprokalitas ini  musti penuh dan mutlak? Jika memang resiprok absolut, bagaimana dengan  kisah asmara bertepuk sebelah tangan? Dan apakah individu media pemuas ini ditemukan atau diciptakan? Menemukan pasangan asmara atau menciptakan pasangan asmara?
Jawaban-jawaban ini yang kemudian menjadi pembicaraan antara Saya dan Salim. Pertama Saya memisahkan dulu terminologi asmara dan cinta. Menurut Saya, asmara merupakan salah satu wujud cinta. Wujud cinta yang boleh jadi resiprokal mutlak. Sedang cinta punya cakupan  yang lebih luas. Cinta punya sistem yang lebih kompleks atau barangkali lebih sederhana ketimbang asmara. Cinta kadang non-resiprokal. Bahkan dalam filsafat Yunani Kuno kita mengenal Agape, jenis cinta yang dalam bahasa Inggris di tafsirkan sebagai unconditional love, cinta tak bersyarat, cinta tanpa karena. Cinta ya cinta saja, tidak harus terbalas, asal mencintai saja. Bahkan katanya, anugrah cinta terbesar adalah pembebasan. Bagaimana si pecinta membebaskan si tercinta, membebaskannya menggapai kebahagiaan, meski si pecinta harus kehilangan si tercinta dalam arti lahir maupun batin. Apakah ada jenis cinta seperti ini antar manusia?  
Pembicaraan Saya dan Salim kemudian mengkrucut pada metode kehadiran cinta. Meski kami berawal dari kisah asmara Sophia dan Rama, justru kami malah jauh meninggakannya. Kami bahkan tidak lagi berkutat dengan terminologi asmara, namun cinta. Cinta yang kadang non-resiprokal itu. Kami mengabstaksi temuan-temuan pada kisah Sophia dan Rama kemudian juga dari kisah kami pribadi yang kemudian kami interpretasi menjadi sebuah pemikiran, khususnya tentang bagaimana cara cinta hadir, ditemukan atau diciptakan?
Jika cinta ditemukan dan resiprokal, berarti sejak pandangan pertama individu B sudah sadar bahwa individu A lah yang mampu menuntaskan hasrat cintanya dan begitupun sebaliknya. Sederhananya cinta pada pandangan pertama. Jika demikian, apakah mungkin dua orang individu bisa saling mencintai tanpa ada proses pengenalan sedikitpun terlebih dahulu? Detik pertama berjumpa, langsung yakin bahwa dialah pasangan cinta kita. Apakah demikian cara kehadiran cinta? Cinta ujug-ujug saja hadir, pada detik pertama, tanpa proses pengolahan stimulus dalam otak? Saya agak sangsi dengan hal demikian. Bilapun individu A mengalami hal demikian, maka apakah sudah dapat dipastikan bahwa individu B pun mengalamai hal yang sama? Boleh jadi si A demikian tapi B tidak. Kemudian apakah dapat dipastikan bahwa yang dialami A adalah kehadiran cinta yang agung itu, cinta yang sublim itu? Bukan cinta dalam arti ketertarikan karena estetika rupa? Atau hasrat seks?
Jika cinta ditemukan dan non-resiprokal, apakah mungkin si A tiba-tiba saja mencintai B dengan keyakinan penuh bahwa itulah cinta Agape? Cinta yang membebaskan? Bahkan membebaskan B untuk mencintai C, D, M, Q, Z dan lainnya? Sedang di B tak mengalami sensasi apapun terhadap A? Ini juga agak janggal.
 “Ditemukan” dalam pengertian saya adalah semacam discover, menemukan hal yang sudah ada sebelumnya, mengetahui hal yang telah ada namun belum pernah diketahui sebelumnya. Love Discovery dalam konteks ini ialah jika cinta itu hadir, ditemukan secara tiba-tiba tanpa proses apapun. Semacam haqqul yakin jika dalam terminologi Islam.
Adakah yang demikian? Saya ragu karena belum pernah mendengar atau mencercapi yang demikian.
Diskusi Saya dan Salim setidaknya menyimpulkan bahwa cinta hadir melalui proses. Artinya ada serangkaian proses yang dilewati oleh individu yang kemudian karena proses tersebut maka hadirilah cinta.  Boleh jadi yang dinamakan masyarakat sebagai cinta pada pandangan pertama adalah ketertarikan estetis yang terjadi pada pandangan pertama. Impresi awal. Selanjutnya adalah interpretasi, bahkan barangkali impresi awalpun adalah tafsir individu atas realitas yang terjadi melalui proses pengindraan. Jadi barangkali kalimatnya musti diubah menjadi “kesan yang indah pada pandangan pertama”.
Jika kesan pertama mendarat begitu indah dan baik pada diri individu, maka selanjutnya akan ada proses tafsir yang mendorong usaha-usaha kearah pemuasan hasrat cinta. Cinta pada awalnya merupakan ketertatikan atas kesan estetis dan etis barangkali. Nah, cinta yang kemudian akan menjadi sublim atau tidak, kuat atau tidak, menancap atau tidak, loyal atau tidak, itu semua terjadi melalui proses atau dengan kata lain diciptakan. Pada akhirnya individu itulah yang menciptakan cinta melalui proses tafsir atas realitas. Individu sangat otonom untuk memutuskan Ia akan mencintai atau tidak.
Jika cinta itu diciptakan, cinta adalah hasil rekayasa manusia. Dalam pembelajaran akting yang Saya ketahui, seorang aktor dituntut mampu merekayasa tokoh yang Ia perankan. Seorang aktor yang baik musti total dalam merekayasa, dalam mencipta, penuh dan utuh luar dalam. Aktor harus mampu menciptakan pola pikir, menciptakan sikap batin dan pada akhirnya aktor harus mampu menciptakan rasa, menciptakan cinta. Dan sependek pengalaman Saya, rekayasa  yang dilakukan aktor itu kerap kali berhasil.
Jadi, mari belajar mencintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...