Ke-hadir-an Cinta
Sejak sekitar tiga hari terakhir Saya dan
seorang kawan, Salim (bukan nama sebenarnya), berdiskusi santai. Kami
membicarakan banyak hal dan yang terutama sekali, yang agak jarang kami
bicarakan, hal cinta. Ini bukan diskusi yang ujug-ujug, yang tanpa kausalitas.
Saya tergelitik menyoal seorang teman perempuan kami yang sedang dirundung
asmara bahkan berniat serius menyempurnakannya hingga pernikahan (jika
pernikahan dipandang suatu penyempurnaan asmara).
Ini sebenarnya obrolan iseng, bisa saja
tidak penting sama sekali, pada awalnya. Kami sekedar bergosip, menggosipkan
kawan yang menghadapi pernikahan. Obrolan
yang sangat umum dan biasa. Membicarakan sikap lahir batin yang dapat
kami tangkap dari kawan perempuan itu, sebut saja Sophia (bukan nama
sebenarnya). Sikap yang eksplisit, yang Ia katakan langsung atau sikap implisit
yang merupakan hasil penafsiran Saya dan Salim. Bukan hanya Sophia, penafsiran
pun kami lakukan atas sikap lahir batin dari calon suaminya, sebut saja Rama
(bukan nama sebenarnya).
Kisah
asmara Sophia dan Rama sebenarnya biasa-biasa saja, tidak yang unik. Saya sering
mendengar kisah asmara yang serupa ini bahkan
yang lebih dramatis pun pernah Saya dengar. Singkat kisahnya begini,
Sophia dalam waktu dekat berencana menikah dengan Rama. Sophia seorang
perempuan dari keluarga sederhana. Ia punya seorang kakak perempuan yang belum
menikah. Rama, seorang duda beranak satu. Berasal dari keluarga sederhana pula.
Ayah Rama seorang seniman dan ini mewaris pada Rama meski dalam bidang seni
yang berbeda. Rama dan Sophia sudah pacaran selama lebih kurang dua tahun.
Keluarga Rama sudah sangat mempercayakan Sophia sebagai istri Rama, namun
sebaliknya, kedua orang tua Sophia kurang sreg
jika putri mereka musti menikahi seorang duda. Juga persoalan melangkahi kakak
perempuannya yang hingga kini masih lajang. Sederhana dan umum sekali. Tidak
ada masalah ekstrem yang mengerikan, sekilas tidak ada yang ramai untuk
dijadikan bahan pemikiran. Memang jika dipandang sepintas lalu, kisah ini
sangat umum dan kurang menarik jika dibadingkan perikahan beda agama atau
perikahan sesama jenis, atau serupa kisah Romeo And Juliet yang legendaris itu,
cinta dengan jargon “true love never
ending because true love never end”, dengan akhir kematian sepasang kekasih
itu. Satu sisi kisah ini boleh dibilang menggambarkan keagungan cinta tapi satu
sisi bisa dibilang pula kisah ini tak lebih dari kekonyolan anak muda yang tak
punya pandangan futuristik, kekonyolan asmara, sangat irasional (sebab cinta
barangkali irasional).
Tapi pembicaraan Saya dan Salim itu
menjadi serius ketika kami melakukan penalaran dengan metode induksi, dari hal
khusus-khusus menarik simpulan yang bersifat umum. Kami mengabstraksi kisah
Sophia dan Rama. Keisengan ini berawal dari sikap Sophia yang siap tapi tak
siap untuk menaiki bahtera rumah tangga, melauti samodra realitas yang serba
tak pasti ini. Saya kira, itu sikap yang wajar bagi perempuan seperti Sophia.
Perempuan petualang, perempuan yang tampilan luarnya cederung maskulin,
perempuan yang mengidentifikasi dirinya
sendiri agak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Perempuan yang punya hasrat
berkesenian yang tinggi. Ia masih ingin ini itu dan banyak sekali. Sedang pada
satu sisi Ia, katanya, ingin menikah dan agaknya dorongan itu kuat sekali,
entah mengapa. Saya membaca dorongan itu bukan tanpa sebab. Banyak kemungkinan.
Boleh jadi karena trauma. Setahu Saya, dulu Ia penah sempat akan menikah namun
kandas tak jelas. Atau boleh jadi dorongan itu disebabkan karena hasrat seks
yang tinggi. Atau boleh jadi Ia ingin segera dihidupi secara materi, Ia butuh
seseorang yang menghidupi serta bertanggungjawab atas hidupnya secara materi.
Selalu banyak kemungkinan bagi manusia sebab manusia adalah mahluk segala
kemungkinan. Tiap kenyataan menyodorkan kemungkinan tapi tak semua kemungkinan
menjadi kenyataan, begitu kata Dewi Naganingrum, salah satu tokoh dalam lakon
Sang Manarah karya Noer JM.
Rama yang duda beranak satu pun agaknya
punya dualisme sikap yang sepintas tampak paradoks. Satu sisi keinginannya
untuk menikah dengan Sophia sangat tinggi namun tiap kali Sophia meminta
mengundurkan jadwal pernikahannya atas alasan Ia masih ingin ini itu, Rama
mengiyakan dengan senyuman. Rama pernah berkata pada Saya dengan retoris “Bukankah
cinta itu membebaskan?”. Oh, mulia sekali. Namun meski membebaskan, Rama pernah
juga berkata pada Saya bahwa Ia tak ingin kehilangannya, Ia semacam cinta mati
barangkali. Ia pernah minta bantuan Saya untuk merujukan kembali hubungannya dengan
Sophia ketika Sophia menyatakan untuk menyudahi hubungan mereka, suatu hal yang
melanggar komitmen mereka berdua. Mereka berdua pernah berkomitmen jika segala
masalah antar mereka tak kan bocor ke luar. Tapi ternyata demi asmara Rama
melanggar komitmennya dengan pasangan
asmaranya sendiri.
Dari hal-hal itu dan masih banyak hal
lain, obrolan Saya dan Salim mengalir. Kami memaparkan hasil interprestasi kami
atas kisah Sophia dan Rama. Kegiatan yang iseng memang, namun dari keisengan
itu muncul suatu gagasan yang barangkali pernah Saya imani atau bahkan sedang,
tentang cinta dan mencintai.
Hingga saat ini Saya masih mencurigai
bahwa asmara dalah hasrat seks dalam wujud yang lebih beradab. Itulah
barangkali mengapa energi asmara begitu besar, sebab ia berasal dari naluri seks
yang sangat biologis, yang merupakan bawaan manusia tanpa ada pegaruh
eksternal. Hasrat seks adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Dengan
akal budi manusia, hasrat ini dipoles sedemikian rupa hingga mewujud menjadi
lebih beradab, lebih santun, lebih manusiawi. Hasrat asmara, sebagaimana hasrat
lainnya, mensyaratkan pemuasan. Pemuasan hasrat ini dalam wujud paling sempurna
musti melibatkan subjek lain. Ada subjek lain yang kemudian dijadikan media
pemuas hasrat. Dari sanalah timbul rasa ingin memiliki yang kuat, saling
memiliki hingga terkadang bagi pelakon asmara, privasi adalah hal yang musti
dimusnahkan. Intervensi atas otonomi diri adalah pemandangan lumrah pada
pelakon asmara. Namun tentu ini tidak berlaku mutlak bagi semua gaya hubungan
asmara. Banyak juga gaya hubungan asmara yang tidak demikian.
Menurut pandangan umum, hasrat asmara ialah
hasrat yang pemuasan totalnya bersifat resiprok, mensyaratkan kepemilikan
mutlak media pemuas hasrat. Ada rasa ingin memiliki yang besar sekaligus rasa enggan
kehilangan yang juga besar. Lalu bagaimana individu mendapatkan media
pemuasnya? Apakah benar hasrat asmara ini resiprok? Apakah benar resiprokalitas
ini musti penuh dan mutlak? Jika memang
resiprok absolut, bagaimana dengan kisah
asmara bertepuk sebelah tangan? Dan apakah individu media pemuas ini ditemukan
atau diciptakan? Menemukan pasangan asmara atau menciptakan pasangan asmara?
Jawaban-jawaban ini yang kemudian menjadi
pembicaraan antara Saya dan Salim. Pertama Saya memisahkan dulu terminologi
asmara dan cinta. Menurut Saya, asmara merupakan salah satu wujud cinta. Wujud
cinta yang boleh jadi resiprokal mutlak. Sedang cinta punya cakupan yang lebih luas. Cinta punya sistem yang
lebih kompleks atau barangkali lebih sederhana ketimbang asmara. Cinta kadang
non-resiprokal. Bahkan dalam filsafat Yunani Kuno kita mengenal Agape, jenis
cinta yang dalam bahasa Inggris di tafsirkan sebagai unconditional love, cinta tak bersyarat, cinta tanpa karena. Cinta
ya cinta saja, tidak harus terbalas, asal mencintai saja. Bahkan katanya,
anugrah cinta terbesar adalah pembebasan. Bagaimana si pecinta membebaskan si
tercinta, membebaskannya menggapai kebahagiaan, meski si pecinta harus
kehilangan si tercinta dalam arti lahir maupun batin. Apakah ada jenis cinta
seperti ini antar manusia?
Pembicaraan Saya dan Salim kemudian
mengkrucut pada metode kehadiran cinta. Meski kami berawal dari kisah asmara
Sophia dan Rama, justru kami malah jauh meninggakannya. Kami bahkan tidak lagi
berkutat dengan terminologi asmara, namun cinta. Cinta yang kadang
non-resiprokal itu. Kami mengabstaksi temuan-temuan pada kisah Sophia dan Rama
kemudian juga dari kisah kami pribadi yang kemudian kami interpretasi menjadi
sebuah pemikiran, khususnya tentang bagaimana cara cinta hadir, ditemukan atau
diciptakan?
Jika cinta ditemukan dan resiprokal,
berarti sejak pandangan pertama individu B sudah sadar bahwa individu A lah
yang mampu menuntaskan hasrat cintanya dan begitupun sebaliknya. Sederhananya
cinta pada pandangan pertama. Jika demikian, apakah mungkin dua orang individu
bisa saling mencintai tanpa ada proses pengenalan sedikitpun terlebih dahulu?
Detik pertama berjumpa, langsung yakin bahwa dialah pasangan cinta kita. Apakah
demikian cara kehadiran cinta? Cinta ujug-ujug saja hadir, pada detik pertama,
tanpa proses pengolahan stimulus dalam otak? Saya agak sangsi dengan hal
demikian. Bilapun individu A mengalami hal demikian, maka apakah sudah dapat
dipastikan bahwa individu B pun mengalamai hal yang sama? Boleh jadi si A demikian
tapi B tidak. Kemudian apakah dapat dipastikan bahwa yang dialami A adalah
kehadiran cinta yang agung itu, cinta yang sublim itu? Bukan cinta dalam arti
ketertarikan karena estetika rupa? Atau hasrat seks?
Jika cinta ditemukan dan non-resiprokal,
apakah mungkin si A tiba-tiba saja mencintai B dengan keyakinan penuh bahwa
itulah cinta Agape? Cinta yang membebaskan? Bahkan membebaskan B untuk
mencintai C, D, M, Q, Z dan lainnya? Sedang di B tak mengalami sensasi apapun
terhadap A? Ini juga agak janggal.
“Ditemukan”
dalam pengertian saya adalah semacam discover,
menemukan hal yang sudah ada sebelumnya, mengetahui hal yang telah ada namun
belum pernah diketahui sebelumnya. Love Discovery
dalam konteks ini ialah jika cinta itu hadir, ditemukan secara tiba-tiba tanpa
proses apapun. Semacam haqqul yakin
jika dalam terminologi Islam.
Adakah yang demikian? Saya ragu karena
belum pernah mendengar atau mencercapi yang demikian.
Diskusi Saya dan Salim setidaknya
menyimpulkan bahwa cinta hadir melalui proses. Artinya ada serangkaian proses
yang dilewati oleh individu yang kemudian karena proses tersebut maka hadirilah
cinta. Boleh jadi yang dinamakan masyarakat
sebagai cinta pada pandangan pertama adalah ketertarikan estetis yang terjadi
pada pandangan pertama. Impresi awal. Selanjutnya adalah interpretasi, bahkan
barangkali impresi awalpun adalah tafsir individu atas realitas yang terjadi
melalui proses pengindraan. Jadi barangkali kalimatnya musti diubah menjadi
“kesan yang indah pada pandangan pertama”.
Jika kesan pertama mendarat begitu indah
dan baik pada diri individu, maka selanjutnya akan ada proses tafsir yang
mendorong usaha-usaha kearah pemuasan hasrat cinta. Cinta pada awalnya
merupakan ketertatikan atas kesan estetis dan etis barangkali. Nah, cinta yang
kemudian akan menjadi sublim atau tidak, kuat atau tidak, menancap atau tidak,
loyal atau tidak, itu semua terjadi melalui proses atau dengan kata lain
diciptakan. Pada akhirnya individu itulah yang menciptakan cinta melalui proses
tafsir atas realitas. Individu sangat otonom untuk memutuskan Ia akan mencintai
atau tidak.
Jika cinta itu diciptakan, cinta adalah
hasil rekayasa manusia. Dalam pembelajaran akting yang Saya ketahui, seorang aktor
dituntut mampu merekayasa tokoh yang Ia perankan. Seorang aktor yang baik musti
total dalam merekayasa, dalam mencipta, penuh dan utuh luar dalam. Aktor harus
mampu menciptakan pola pikir, menciptakan sikap batin dan pada akhirnya aktor
harus mampu menciptakan rasa, menciptakan cinta. Dan sependek pengalaman Saya,
rekayasa yang dilakukan aktor itu kerap
kali berhasil.
Jadi, mari belajar mencintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar