Tentang honorarium dalam sebuah produksi
seni pertunjukan merupakan fenomena unik, seksi, dan kadang kontroversial.
Menurut KBBI daring, honorarium diartikan “upah sebagai imbalan jasa; upah di
luar gaji”. Jadi yang diupahi atau yang ditukar uang adalah jasa. Dalam analogi
sederhana, mungkin seniman yang menerima honor tidak beda dengan guru honorer
atau pegawai honorer pada sebuah instansi atau lembaga. Yang namanya pegawai
honorer biasanya bukan pegawai tetap. Mungkin ketidaktetapan seniman terletak
pada masa kerja yang sangat terbatas dan cenderung temporer. Misalnya, seorang
pemain alat musik rebab mendapat honor sebagai imbalan jasa bermain rebab pada
sebuah proyek tertentu. Ketidaktetapan ini tidak hanya pada masa kerja tetapi
juga pada nominal rupiah yang diterima. Honor seniman sangat variatif dan
nyaris tidak punya standar jelas.
Seorang deklamator puisi bisa dihonor 2
sampai 5 juta untuk membaca 3 puisi, misalnya. Dan seorang deklamator lain bisa
saja mendapat honor 100 ribu rupiah untuk membaca 3 puisi yang sama. Kabarnya,
seorang aktor terater di Teater Koma bisa mendapat honor sampai 10 juta rupiah
dalam sebuah produksi teater mereka. Dan disaat yang sama, aktor lainnya di
kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC), misalnya, tidak pernah mendapat
honor sepeserpun. Perbandingan ini memang agak berlebihan atau bahkan cendrung
tidak adil, tidak apple to apple.
Meski sama-sama kelompok teater, namun terlalu banyak perbedaan diantara
keduanya. Membandingkan keduanya agaknya malah konyol. Pada kondisi lain,
seorang seniman bisa saja dibayar dengan honor yang berbeda untuk dua produksi
yang berbeda. Dan perbedaan ini bisa sangat tajam.
Gaji seorang pegawai di sektor usaha lain
pun memang bisa variatif. Seorang teller di bank A belum tentu digaji dengan
nominal yang sama dengan kawannya teller di bank B. Disparitas ini bisa
disebabkan banyak hal dan ini hal yang lazim-lazim saja. Tetapi setidaknya
perusahaan-perusahaan itu punya standar minimun yang ditetapkan pemerintah yang
dinamakan Upah Minimun Regional (UMR). UMR ini bisa ditaati atau tidak, tapi
setidaknya menjadi pertimbangan dalam menetapkan bayaran seseorang pegawai.
Memang, beberapa sektor tidak mengindahkan hal ini, salah satunya sektor kerja
kesenian.
Beberapa hal yang menyebabkan berbedanya
honor seorang seniman dengan seniman lain dalam sebuah produksi seni
pertunjukan bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang lazim menjadi pembeda upah
atau gaji seseorang di sektor usaha lain semisal, jabatan, fungsi, tugas, tingkat
keahlian, atau bisa juga usia, dan lain-lain. Besaran honor seniman murni
ditentukan oleh si pembayar atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi. Atau
bisa juga harga umum seniman bersangkutan. Misal, seorang pemain kendang di
Ciamis biasa dihonor 250 sampai 400 ribu. Ini menjadi kelaziman tanpa diketahui
bagaimana perumusan besaran honor tersebut. Tapi kadang pula sang pemain
kendang tidak dibayar dengan semestinya dalam arti kurang atau lebih dari
kelaziman. Dunia musik masih lebih jelas dalam penetapan besaran honor.
Biasanya yang jadi landasannya adalah kelaziman atau honor musisi lain dengan
spesifikasi yang sama. Misalnya, seorang gitaris pada grup band indie atau
lokal bisa mendapat honor 150 ribu sekali manggung. Suatu ketika ia mendapat job manggung pada sebuah acara besar
dengan pengisi acara para musisi papan atas. Penetapan honor sang gitaris
mungkin bisa berpatokan pada gitaris lain dengan “level” berbeda. Pada
panggungan besar itu, honor sang gitaris indie itu bisa lebih besar ketimbang biasanya
tapi tidak akan lebih besar dari gitaris band profesional meski skill sang gitaris indie jauh lebih
baik. Pada kasus ini, berarti yang menentukan besar honor adalah nama besar
seniman bersangkutan. Dari banyak faktor yang menentukan besaran honor seorang
seniman, beberapa diantara mungkin :
Pertama,
kemampuan (kualitas)
Hal kemampuan ini biasanya jadi
pertimbangan utama yang mentukan besaran honor seorang seniman. Honor seorang
maestro tari tentu akan berbeda dengan penari yang baru lulus sekolah seni. Hal
keahlian ini agak lebih mudah dijadikan sandaran karena lebih mudah diketahui.
Hal ihwal kemampuan menyangkut penguasaan seniman atas suatu atau beberapa
kemampuan dan teknik tertentu pada sebuah atau beberapa bidang seni yang jelas
bisa diobservasi. Seorang aktor teater yang menguasai teknik pemeranan macam
teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina klimak, teknik timing,
dan improvisasi dengan baik, misalnya, wajar bila mendapat honor yang lebih
besar dari pada kawannya yang penguasaan teknik-teknik itu masih belum optimal
atau bahkan tidak sama sekali.
Kemampuan seorang seniman dalam
menghasilkan karya berkualitas kadang ditempa pula oleh jam terbang atau
pengalaman. Banyak seniman alam (non-akademis) yang sangat luar biasa lantaran
pengalamannya berkecimpung di dunia seni. Tentu bukan hanya itu, namun juga
pengalaman dan perjalanan hidup secara luas, lahir batin, yang pasti turut
menyumbang besar pada kualitas karya seorang seniman. Meski belum tentu juga seniman
berpengalaman pasti membuat karya yang berkualitas.
Kedua,
fungsi dan jabatan
Bisa juga honor seorang seniman ditentukan
fungsi atau jabatannya dalam produksi pertunjukan. Fungsi dan jabatan kadang
kala sesuai kadang kala tidak. Maksudnya, kadang kala seorang seniman hanya
menjabat saja sebagai penata tari, misalnya, tapi ia tidak menjalankan
fungsinya sebagai penata tari. Fungsi kepenataan tarinya dilakukan oleh orang
lain. Ini biasanya terjadi ketika sebuah jabatan diberikan pada seorang seniman
hanya karena menghormatinya sebagai sesepuh atau senior, atau alasan lain. Jadi
antara fungsi dan jabatan itu dua hal yang berbeda. Ada juga ketika fungsi dan
jabatan itu sesuai sebagaimana mestinya. Semisal, seorang seniman menjabat
komposer dalam sebuah produksi opera dan ia benar-benar menjalankan tugas dan
fungsinya.
Ada kalanya otoritas keuangan dalam sebuah
produksi menghonor seorang seniman berdasar jabatannya saja tanpa melihat
apakah ia berfungsi atau tidak. Ada pula yang mempertimbangkan kesesuaian
antara jabatan dan fungsi. Jika sang seniman yang menjabat ini tidak
menjalankan fungsi jabatannya dan orang lain terpaksa menjalankan fungsinya
itu, ada kalanya otoritas keuangan ini memberi tambahan honor pada di penjalan
fungsi. Namun ada kalanya juga tidak.
Barangkali jika menilai honor berdasar
fungsi akan lebih enak diterima ketimbang jabatan saja karena banyak kasus
ketika seorang seniman yang secara tertulis hanya menjabat satu jabatan tapi
pada pratiknya ia menjalankan banyak fungsi karena kekurangan SDM atau karena
penjabat bersangutan mall function.
Ketiga,
popuaritas
Popularitas acap kali mempengaruhi besaran
honor seorang seniman. Seniman yang tenar mungkin akan dihonor lebih besar
ketimbang yang tidak tenar. Ketenaran ini bisa disebabkan banyak hal. Idealnya
barangkali popularitas seniman disebabkan oleh kualitas karyanya atau pengaruh
positif karyanya dan aktivitasnya pada kehidupan luas. Tetapi seniman yang
kualitas karyanya bagus mungkin belum tentu tenar sebab ketenaran tidak hanya
bertumpu pada kualitas karya atau kemahiran sang seniman namun juga, misalnya,
publikasi. Maksdunya, bisa saja ada seorang seniman yang hebat namun kurang
tenar karena kurang dipublikasikan baik karya maupun profil dirinya. Atau
sebaliknya, sebenarnya ia tidak hebat-hebat amat tapi karena media
mempublisirnya secara massif, ia akan tenar dan bayarannya biasanya akan mahal
juga. Atau bisa seorang seniman menjadi tenar karena produktifitasnya berkarya
terlepas dari kualitas karyanya. Bisa juga popularitas seorang seniman
terbangun karena tindakan, pernyataan, sikap, atau gayanya yang eksentrik,
nyeleneh atau kontroversial padahal karyanya biasanya-biasa saja atau bahkan
kurang bagus atau bahkan ia tak punya karya sama sekali. Titel senimannya lebih
karena ia sering hadir pada acara-acara kesenian atau berteman dengan banyak
seniman tanpa punya satu karya seni pun. Kedekatan seorang seniman dengan pihak
penguasa pun bisa membuatnya jadi tenar. Mungkin karena dekat dengan penguasa
ia jadi sering mendapat proyek-proyek, sering manggung, sering kerja komersil by government order sehingga jadilah ia
terkenal padahal karyanya biasa-biasa saja, misalnya. Tapi musabab popularitas
juga mentukan besar tidaknya honorarium seniman. Kalau di dunia industri
televisi atau indrustri hiburan, yang tenar pasti mahal, apapun musabab
ketenarannya. Asal viral pasti tenar. Jika sudah tenar, jalan menuju kekayaan
materi lebih mudah tercapai.
Keempat,
loyalitas dan senioritas
Loyalitas atau dengan kata lain kesetiaan
pada sebuah kelompok seni kadang kala menjadi pertimbangan otoritas keuangan
dalam menentukan besaran honor. Atau bisa saja loyalitas dimaknai bukan sebatas
loyalnya sang seniman pada sebuah kelompok seni tertentu tapi loyalnya seniman
pada jalan kesenian yang ia lakoni, dengan bahasa lain mungkin bisa disebut
dedikasi. Tentang hierarki senioritas kadang juga menentukan honorarium
seseorang. Sang senior meski kamampuan menarinya biasa-biasa saja, misalnya,
akan mendapat honor lebih besar ketimbang junior yang kemampuannya lebih baik.
Seniman yang loyal biasanya lebih dihargai dari aspek keteguhannya setia pada
jalan kesenian. Jika loyalitas berjumpa dengan kualitas, tentu bayarannya bisa
jauh berbeda dengan yang lain. Banyak pula kondisi seseorang yang punya bakat
dan kemampuan seni luar biasa namun tidak setia pada jalan seni, ia barangkali
sebatas dikenang saja dan kemudian tenggelam. Mungkin karena dunia kesenian
dianggap kurang menguntungkan secara materi akhirnya ia lebih memilih menjadi
pengusaha, ASN, atau politisi, atau profesi lain yang lebih menjanjikan
ketimbang kesenian.
Kelima,
ide
Hal lain yang barangkali menjadi penentu
besar kecilnya honor seorang seniman adalah ide. Sang seniman bisa saja kurang
memiliki kemampuan dalam arti skill
teknis tari, teater, atau musik namun ia memiliki gagasan yang luar biasa. Dalam
sebuah kerja kolektif seni pertunjukan, agaknya ide atau gagasan tidak harus
muncul dari sutradara saja atau dari satu orang saja. Ide bisa muncul dari
siapa saja, dari personel tim produksi atau bukan. Kadang kala ada otoritas
keuangan yang memperhatikan itu dan mengapresiasinya dengan wujud bayaran
tertentu. Tapi barangkali hal ini agak jarang terjadi khususnya di Ciamis. Ide
atau gagasan yang lahir dari seorang atau beberapa personel tim atau bukan,
akhirnya melebur dan dianggap sebagai ide bersama.
Kasus seniman yang menduduki jabatan
konsultan (atau dramaturg, misalnya) itu lain persoalan. Jikapun mendapat
honor, ia memang dibayar untuk itu. Kerjanya ya sebagai pihak tempat
berkonsultasi, ia memberi nasihat atau bahkan ide dan itu sudah tentu dihitung
sebagai kerja yang wajar bila mendapat bayaran honor.
Kelima faktor tersebut sebenarnya tidak
terpisah tegas. Semuanya berkelindan, campur aduk. Ada pula kelompok seni atau
seniman atau otoritas keuangan yang membagi honor dengan sama rata, tidak
pandang kemampuan, tugas dan fungsi, loyalitas, ide, popularitas dan lain
sebagainya. Kondisi ini bisa terjadi permanen atau temporer saja untuk kerja
kreatif tertentu. Dan selain kelima faktor tadi, banyak hal lain yang
menentukan besar honor seorang seniman dalam sebuah kerja kreatif seni
pertunjukan. Misalnya, yang paling mempengaruhi tentu saja besarnya biaya
produksi. Dalam kerja kreatif komersil, jika nominal job yang diterima itu besar, ya mungkin honornya pun besar,
demikian pula sebaliknya.
Ada otoritas keuangan yang sudah
menganggarkan sejumlah uang untuk honorarium jauh-jauh hari. Ia mencantumkannya
dalam rancangan anggaran biaya dengan terang-terangan dan jujur. Ada pula yang
malu-malu mencantumkannya pada lembar anggaran biaya tapi ketika uang diterima,
buru-buru ia menyisihkan untuk honor. Ada lagi yang tidak mencantumkan dan
tidak menyisihkan, ia hanya berharap banyak uang sisa yang kelak akan dibagikan
sebagai honor. Jika toh tidak tersisa, ya wassalam. Biasanya yang memang tidak
mencantumkan pos honor pada rancangan anggaran biaya akan mencari uang lebih
dengan me-mark up anggaran biaya yang
dibutuhkan, sisa uang hasil pelambungan itu akan dijadikannya honor, itu pun
bila sumber dananya dari pihak lain dan sang seniman memperoleh dana melalui
mekanisme pengajuan proposal. Dan macam-macam cara lainnya. Ada suatu kondisi
ketika besaran honor sudah ditentukan melalui kontrak baik tertulis maupun
tidak. Sang seniman sudah dijanjikan nominal tertentu sebelum ia bekerja. Ada
pula seniman atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan yang
menentukan honor berdasarkan rasa suka dan tidak sukanya pada seseorang, like or dislike. Ini tentu sangat
subjektif dan berpotensi tidak adil. Namun meski demikian, hal ini adalah
fenomena yang ada di dunia seni pertunjukan.
Hal lain yang membingungkan adalah sifat
kesenian yang kualitatif. Dan kualitas itu pun sering kali sulit dirumuskan
lantaran sedikit banyak melibatkan hal ihwal rasa atau selera yang boleh jadi
sangat berlainan antara satu orang dan yang lain. Jadi jikapun honor seorang
seniman dinilai dari kualitasnya, standarisasi kualitasnya pun kadang kala
tidak baku. Ini membuat disparitas honor sukar dielakan.
Jika pun berharap pada negara untuk hadir
pada ranah honorarium seniman, sebagaimana negara (katanya) sudah hadir pada
ranah honorarium tenaga honorer bidang non-seni dan dunia buruh, mungkin
langkah yang bisa dibuat negara melalui pemerintah ialah jika pemerintah ini
memesan sebuah karya seni pertunjukan janganlah menyamakannya dengan mereka
menyuruh kuli bangunan memperbaiki atap atau tembok kantor dinas mereka.
Bukannya seniman minta diistimewakan, tapi pemerintah juga harus ngarti, setidak-tidaknya,
beda antara kuli bangunan dan pekerja artistik. Mendudukan sesuatu pada maqomnya mungkin bisa juga merupakan manifestasi sila ke lima dalam pancasila.
Tamat.
foto : dokumentasi pribadi. pertunjukan Heart Of Almond Jelly (Wishing Cong), sutradara Rika R. Johara. Poduksi Women In The Zero Project, 2017
Panjalu, 24 Juli
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar