Selasa, 24 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (IV) : Honorarium

 
Tentang honorarium dalam sebuah produksi seni pertunjukan merupakan fenomena unik, seksi, dan kadang kontroversial. Menurut KBBI daring, honorarium diartikan “upah sebagai imbalan jasa; upah di luar gaji”. Jadi yang diupahi atau yang ditukar uang adalah jasa. Dalam analogi sederhana, mungkin seniman yang menerima honor tidak beda dengan guru honorer atau pegawai honorer pada sebuah instansi atau lembaga. Yang namanya pegawai honorer biasanya bukan pegawai tetap. Mungkin ketidaktetapan seniman terletak pada masa kerja yang sangat terbatas dan cenderung temporer. Misalnya, seorang pemain alat musik rebab mendapat honor sebagai imbalan jasa bermain rebab pada sebuah proyek tertentu. Ketidaktetapan ini tidak hanya pada masa kerja tetapi juga pada nominal rupiah yang diterima. Honor seniman sangat variatif dan nyaris tidak punya standar jelas.
 
Seorang deklamator puisi bisa dihonor 2 sampai 5 juta untuk membaca 3 puisi, misalnya. Dan seorang deklamator lain bisa saja mendapat honor 100 ribu rupiah untuk membaca 3 puisi yang sama. Kabarnya, seorang aktor terater di Teater Koma bisa mendapat honor sampai 10 juta rupiah dalam sebuah produksi teater mereka. Dan disaat yang sama, aktor lainnya di kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC), misalnya, tidak pernah mendapat honor sepeserpun. Perbandingan ini memang agak berlebihan atau bahkan cendrung tidak adil, tidak apple to apple. Meski sama-sama kelompok teater, namun terlalu banyak perbedaan diantara keduanya. Membandingkan keduanya agaknya malah konyol. Pada kondisi lain, seorang seniman bisa saja dibayar dengan honor yang berbeda untuk dua produksi yang berbeda. Dan perbedaan ini bisa sangat tajam.
 
Gaji seorang pegawai di sektor usaha lain pun memang bisa variatif. Seorang teller di bank A belum tentu digaji dengan nominal yang sama dengan kawannya teller di bank B. Disparitas ini bisa disebabkan banyak hal dan ini hal yang lazim-lazim saja. Tetapi setidaknya perusahaan-perusahaan itu punya standar minimun yang ditetapkan pemerintah yang dinamakan Upah Minimun Regional (UMR). UMR ini bisa ditaati atau tidak, tapi setidaknya menjadi pertimbangan dalam menetapkan bayaran seseorang pegawai. Memang, beberapa sektor tidak mengindahkan hal ini, salah satunya sektor kerja kesenian.
 
Beberapa hal yang menyebabkan berbedanya honor seorang seniman dengan seniman lain dalam sebuah produksi seni pertunjukan bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang lazim menjadi pembeda upah atau gaji seseorang di sektor usaha lain semisal, jabatan, fungsi, tugas, tingkat keahlian, atau bisa juga usia, dan lain-lain. Besaran honor seniman murni ditentukan oleh si pembayar atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi. Atau bisa juga harga umum seniman bersangkutan. Misal, seorang pemain kendang di Ciamis biasa dihonor 250 sampai 400 ribu. Ini menjadi kelaziman tanpa diketahui bagaimana perumusan besaran honor tersebut. Tapi kadang pula sang pemain kendang tidak dibayar dengan semestinya dalam arti kurang atau lebih dari kelaziman. Dunia musik masih lebih jelas dalam penetapan besaran honor. Biasanya yang jadi landasannya adalah kelaziman atau honor musisi lain dengan spesifikasi yang sama. Misalnya, seorang gitaris pada grup band indie atau lokal bisa mendapat honor 150 ribu sekali manggung. Suatu ketika ia mendapat job manggung pada sebuah acara besar dengan pengisi acara para musisi papan atas. Penetapan honor sang gitaris mungkin bisa berpatokan pada gitaris lain dengan “level” berbeda. Pada panggungan besar itu, honor sang gitaris indie itu bisa lebih besar ketimbang biasanya tapi tidak akan lebih besar dari gitaris band profesional meski skill sang gitaris indie jauh lebih baik. Pada kasus ini, berarti yang menentukan besar honor adalah nama besar seniman bersangkutan. Dari banyak faktor yang menentukan besaran honor seorang seniman, beberapa diantara mungkin :
 
Pertama, kemampuan (kualitas)
Hal kemampuan ini biasanya jadi pertimbangan utama yang mentukan besaran honor seorang seniman. Honor seorang maestro tari tentu akan berbeda dengan penari yang baru lulus sekolah seni. Hal keahlian ini agak lebih mudah dijadikan sandaran karena lebih mudah diketahui. Hal ihwal kemampuan menyangkut penguasaan seniman atas suatu atau beberapa kemampuan dan teknik tertentu pada sebuah atau beberapa bidang seni yang jelas bisa diobservasi. Seorang aktor teater yang menguasai teknik pemeranan macam teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina klimak, teknik timing, dan improvisasi dengan baik, misalnya, wajar bila mendapat honor yang lebih besar dari pada kawannya yang penguasaan teknik-teknik itu masih belum optimal atau bahkan tidak sama sekali.
 
Kemampuan seorang seniman dalam menghasilkan karya berkualitas kadang ditempa pula oleh jam terbang atau pengalaman. Banyak seniman alam (non-akademis) yang sangat luar biasa lantaran pengalamannya berkecimpung di dunia seni. Tentu bukan hanya itu, namun juga pengalaman dan perjalanan hidup secara luas, lahir batin, yang pasti turut menyumbang besar pada kualitas karya seorang seniman. Meski belum tentu juga seniman berpengalaman pasti membuat karya yang berkualitas.
 
Kedua, fungsi dan jabatan
Bisa juga honor seorang seniman ditentukan fungsi atau jabatannya dalam produksi pertunjukan. Fungsi dan jabatan kadang kala sesuai kadang kala tidak. Maksudnya, kadang kala seorang seniman hanya menjabat saja sebagai penata tari, misalnya, tapi ia tidak menjalankan fungsinya sebagai penata tari. Fungsi kepenataan tarinya dilakukan oleh orang lain. Ini biasanya terjadi ketika sebuah jabatan diberikan pada seorang seniman hanya karena menghormatinya sebagai sesepuh atau senior, atau alasan lain. Jadi antara fungsi dan jabatan itu dua hal yang berbeda. Ada juga ketika fungsi dan jabatan itu sesuai sebagaimana mestinya. Semisal, seorang seniman menjabat komposer dalam sebuah produksi opera dan ia benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya.
 
Ada kalanya otoritas keuangan dalam sebuah produksi menghonor seorang seniman berdasar jabatannya saja tanpa melihat apakah ia berfungsi atau tidak. Ada pula yang mempertimbangkan kesesuaian antara jabatan dan fungsi. Jika sang seniman yang menjabat ini tidak menjalankan fungsi jabatannya dan orang lain terpaksa menjalankan fungsinya itu, ada kalanya otoritas keuangan ini memberi tambahan honor pada di penjalan fungsi. Namun ada kalanya juga tidak.
 
Barangkali jika menilai honor berdasar fungsi akan lebih enak diterima ketimbang jabatan saja karena banyak kasus ketika seorang seniman yang secara tertulis hanya menjabat satu jabatan tapi pada pratiknya ia menjalankan banyak fungsi karena kekurangan SDM atau karena penjabat bersangutan mall function.  
 
Ketiga, popuaritas
Popularitas acap kali mempengaruhi besaran honor seorang seniman. Seniman yang tenar mungkin akan dihonor lebih besar ketimbang yang tidak tenar. Ketenaran ini bisa disebabkan banyak hal. Idealnya barangkali popularitas seniman disebabkan oleh kualitas karyanya atau pengaruh positif karyanya dan aktivitasnya pada kehidupan luas. Tetapi seniman yang kualitas karyanya bagus mungkin belum tentu tenar sebab ketenaran tidak hanya bertumpu pada kualitas karya atau kemahiran sang seniman namun juga, misalnya, publikasi. Maksdunya, bisa saja ada seorang seniman yang hebat namun kurang tenar karena kurang dipublikasikan baik karya maupun profil dirinya. Atau sebaliknya, sebenarnya ia tidak hebat-hebat amat tapi karena media mempublisirnya secara massif, ia akan tenar dan bayarannya biasanya akan mahal juga. Atau bisa seorang seniman menjadi tenar karena produktifitasnya berkarya terlepas dari kualitas karyanya. Bisa juga popularitas seorang seniman terbangun karena tindakan, pernyataan, sikap, atau gayanya yang eksentrik, nyeleneh atau kontroversial padahal karyanya biasanya-biasa saja atau bahkan kurang bagus atau bahkan ia tak punya karya sama sekali. Titel senimannya lebih karena ia sering hadir pada acara-acara kesenian atau berteman dengan banyak seniman tanpa punya satu karya seni pun. Kedekatan seorang seniman dengan pihak penguasa pun bisa membuatnya jadi tenar. Mungkin karena dekat dengan penguasa ia jadi sering mendapat proyek-proyek, sering manggung, sering kerja komersil by government order sehingga jadilah ia terkenal padahal karyanya biasa-biasa saja, misalnya. Tapi musabab popularitas juga mentukan besar tidaknya honorarium seniman. Kalau di dunia industri televisi atau indrustri hiburan, yang tenar pasti mahal, apapun musabab ketenarannya. Asal viral pasti tenar. Jika sudah tenar, jalan menuju kekayaan materi lebih mudah tercapai.
 
Keempat, loyalitas dan senioritas
Loyalitas atau dengan kata lain kesetiaan pada sebuah kelompok seni kadang kala menjadi pertimbangan otoritas keuangan dalam menentukan besaran honor. Atau bisa saja loyalitas dimaknai bukan sebatas loyalnya sang seniman pada sebuah kelompok seni tertentu tapi loyalnya seniman pada jalan kesenian yang ia lakoni, dengan bahasa lain mungkin bisa disebut dedikasi. Tentang hierarki senioritas kadang juga menentukan honorarium seseorang. Sang senior meski kamampuan menarinya biasa-biasa saja, misalnya, akan mendapat honor lebih besar ketimbang junior yang kemampuannya lebih baik. Seniman yang loyal biasanya lebih dihargai dari aspek keteguhannya setia pada jalan kesenian. Jika loyalitas berjumpa dengan kualitas, tentu bayarannya bisa jauh berbeda dengan yang lain. Banyak pula kondisi seseorang yang punya bakat dan kemampuan seni luar biasa namun tidak setia pada jalan seni, ia barangkali sebatas dikenang saja dan kemudian tenggelam. Mungkin karena dunia kesenian dianggap kurang menguntungkan secara materi akhirnya ia lebih memilih menjadi pengusaha, ASN, atau politisi, atau profesi lain yang lebih menjanjikan ketimbang kesenian.
 
Kelima, ide
Hal lain yang barangkali menjadi penentu besar kecilnya honor seorang seniman adalah ide. Sang seniman bisa saja kurang memiliki kemampuan dalam arti skill teknis tari, teater, atau musik namun ia memiliki gagasan yang luar biasa. Dalam sebuah kerja kolektif seni pertunjukan, agaknya ide atau gagasan tidak harus muncul dari sutradara saja atau dari satu orang saja. Ide bisa muncul dari siapa saja, dari personel tim produksi atau bukan. Kadang kala ada otoritas keuangan yang memperhatikan itu dan mengapresiasinya dengan wujud bayaran tertentu. Tapi barangkali hal ini agak jarang terjadi khususnya di Ciamis. Ide atau gagasan yang lahir dari seorang atau beberapa personel tim atau bukan, akhirnya melebur dan dianggap sebagai ide bersama.
 
Kasus seniman yang menduduki jabatan konsultan (atau dramaturg, misalnya) itu lain persoalan. Jikapun mendapat honor, ia memang dibayar untuk itu. Kerjanya ya sebagai pihak tempat berkonsultasi, ia memberi nasihat atau bahkan ide dan itu sudah tentu dihitung sebagai kerja yang wajar bila mendapat bayaran honor.
 
Kelima faktor tersebut sebenarnya tidak terpisah tegas. Semuanya berkelindan, campur aduk. Ada pula kelompok seni atau seniman atau otoritas keuangan yang membagi honor dengan sama rata, tidak pandang kemampuan, tugas dan fungsi, loyalitas, ide, popularitas dan lain sebagainya. Kondisi ini bisa terjadi permanen atau temporer saja untuk kerja kreatif tertentu. Dan selain kelima faktor tadi, banyak hal lain yang menentukan besar honor seorang seniman dalam sebuah kerja kreatif seni pertunjukan. Misalnya, yang paling mempengaruhi tentu saja besarnya biaya produksi. Dalam kerja kreatif komersil, jika nominal job yang diterima itu besar, ya mungkin honornya pun besar, demikian pula sebaliknya.
 
Ada otoritas keuangan yang sudah menganggarkan sejumlah uang untuk honorarium jauh-jauh hari. Ia mencantumkannya dalam rancangan anggaran biaya dengan terang-terangan dan jujur. Ada pula yang malu-malu mencantumkannya pada lembar anggaran biaya tapi ketika uang diterima, buru-buru ia menyisihkan untuk honor. Ada lagi yang tidak mencantumkan dan tidak menyisihkan, ia hanya berharap banyak uang sisa yang kelak akan dibagikan sebagai honor. Jika toh tidak tersisa, ya wassalam. Biasanya yang memang tidak mencantumkan pos honor pada rancangan anggaran biaya akan mencari uang lebih dengan me-mark up anggaran biaya yang dibutuhkan, sisa uang hasil pelambungan itu akan dijadikannya honor, itu pun bila sumber dananya dari pihak lain dan sang seniman memperoleh dana melalui mekanisme pengajuan proposal. Dan macam-macam cara lainnya. Ada suatu kondisi ketika besaran honor sudah ditentukan melalui kontrak baik tertulis maupun tidak. Sang seniman sudah dijanjikan nominal tertentu sebelum ia bekerja. Ada pula seniman atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan yang menentukan honor berdasarkan rasa suka dan tidak sukanya pada seseorang, like or dislike. Ini tentu sangat subjektif dan berpotensi tidak adil. Namun meski demikian, hal ini adalah fenomena yang ada di dunia seni pertunjukan.
 
Hal lain yang membingungkan adalah sifat kesenian yang kualitatif. Dan kualitas itu pun sering kali sulit dirumuskan lantaran sedikit banyak melibatkan hal ihwal rasa atau selera yang boleh jadi sangat berlainan antara satu orang dan yang lain. Jadi jikapun honor seorang seniman dinilai dari kualitasnya, standarisasi kualitasnya pun kadang kala tidak baku. Ini membuat disparitas honor sukar dielakan.
 
Jika pun berharap pada negara untuk hadir pada ranah honorarium seniman, sebagaimana negara (katanya) sudah hadir pada ranah honorarium tenaga honorer bidang non-seni dan dunia buruh, mungkin langkah yang bisa dibuat negara melalui pemerintah ialah jika pemerintah ini memesan sebuah karya seni pertunjukan janganlah menyamakannya dengan mereka menyuruh kuli bangunan memperbaiki atap atau tembok kantor dinas mereka. Bukannya seniman minta diistimewakan, tapi pemerintah juga harus ngarti, setidak-tidaknya, beda antara kuli bangunan dan pekerja artistik. Mendudukan sesuatu pada maqomnya mungkin bisa juga merupakan  manifestasi sila ke lima dalam pancasila.  

 

Tamat.

foto : dokumentasi pribadi. pertunjukan Heart Of Almond Jelly (Wishing Cong), sutradara Rika R. Johara. Poduksi Women In The Zero Project, 2017
 

Panjalu, 24 Juli 2018

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...