Sebenarnya saya bingung menemukan istilah
yang sesuai buat bab ini. Intinya saya ingin berbagi pengalaman dan hasil
penalaran tentang bagaimana seniman atau sebuah kelompok seni mengelola
keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan. Pengaturan ini erat kaitannya
dengan tipe manajemen yang diimani dan dilakukan sang seniman, atau karakter
pribadi sang seniman sendiri. Atau juga tergantung situasi dan kondisi keuangan
dan produksi seni pertunjukan itu sendiri. Ini sependek pengalaman dan
penalaran saya saja. Tentu banyak yang tidak saya ketahui atau boleh jadi
banyak kekeliruan dalam tulisan ini, ya mohon dimaafkan.
Dalam sebuah produksi seni pertunjukan,
apapun orientasiya, ada hal kewenangan kebijakan keuangan dan pengelolaan
keuangan. Kewenangan dan pengelolaan ini bisa terpusat ataupun terdistribusi.
Pertama,
kewenangan terpusat
Yang dimaksud terpusat adalah semua
kebijakan keuangan diputuskan oleh satu orang saja. Dari kebijakan besar
semacam menentukan biaya pembuatan benda-benda artistik, konsumsi makan besar,
sewa gedung, honorarium sampai hal sepele semacam biaya foto copy, print
dokumen, membeli gorengan atau kopi semua diputuskan oleh seorang saja.
Biasanya dia sendiri yang memegang uang dan mencatat pengeluaran. Sang pembuat
kebijakan bisa transparan bisa pula tidak terkait kondisi keuangan. Atau ada
juga yang berstandar ganda, biasanya ini terjadi dalam oreintasi kerja kreatif
komersil. Jika ternyata merugi karena satu dan berbagai hal, ia akan terbuka
dan memohon pengertian pada seluruh personel lantaran honornya kecil atau tidak
dibayar sama sekali, misalnya. Atau bisa juga ketika untung besar, sang
pemegang kebijakan itu malah anti-transparansi sama sekali karena ia meraup
keuntungan besar sedang yang lain dibayar alakadarnya saja tapi ia tidak ingin
dicitrakan seniman materialistik. Kondisi pengelolaan keuangan macam ini bisa
terjadi tidak hanya pada kerja kretaif komersil namun juga pada kerja kreatif
idealis. Ada pula kondisi ketika pengelolaan keuangan terdistribusi pada
beberapa unit kerja namun unit itu tidak diberi kewenangan untuk membuat
kebijakan keuangan, unit hanya berfungsi sebagai pekerja saja. Mereka hanya
melaksanakan perintah otoritas keuangan. Jika pun difungsikan lebih, unit
biasanya hanya akan diwajibkan mencatat semua pengeluaran keuangan saja. Jadi
pengelolaannya saja yang terdistribusi, kewenangannya tidak.
Kewenangan terpusat biasa terjadi pada
kelompok seni tanpa keanggotaan yang jelas. Seseorang bisa saja membuat
kelompok seni berbadan hukum perkumpulan atau bahkan yayasan. Atau hanya
bermodal surat keterangan dari dinas terkait. Atau tanpa dokumen legal formal
sama sekali. Meski pada catatan dokumen ada nama-nama yang tertera sebagai
pengurus, namun ada kalanya itu cuma omong kosong belaka. Nama-nama itu tidak
pernah bekerja sama sekali atau yang lebih parah sang pemilik nama tidak tahu
jika ia dicantumkan. Dalam bahasa Sunda diistilahkan dengan tulis tonggong. Pencantuman itu lebih
untuk kepentingan pemenuhan syarat legal formal saja. Praktiknya, semua
kebijakan keuangan diputuskan oleh seorang saja.
Kondisi ini bisa pula terjadi terpada
kelompok seni dengan keanggotaan jelas namun terjadi distansi usia, kemampuan,
keilmuan, dan pengalaman yang jauh sekali antara anggota dan pengurus atau
ketua. Anggota hanya dibekali kemampuan kesenian tanpa harus tahu dapur
kelompok bersangkutan. Mungkin tujuannya baik, maksudnya agar tidak turut
pusing memikirkan keuangan. Atau bisa juga tujuannya jahat, yakni untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya dari keringat dan kerja keras bersama tanpa
pemerataan kesejahteraan. Hal terakhir ini agaknya kurang terpuji, semacam exploitation de l’homme par I’homme.
Yang unik pada kondisi ini, ada istilah one man show, yang bisa diartikan satu
orang mengerjakan segala hal sendirian saja, termasuk mengelola keuangan. Selain
sebagai pengelola tunggal, ia juga bisa merangkap sebagai konseptor, sutradara,
perancang anggaran biaya produksi, penata dan pekerja artistik, dan lain-lain. Ia
juga yang mengurusi konsumsi, publikasi, akomodasi, dan ia juga yang menetukan
dan membagikan honor jika ada. One man
show biasanya menganut anti-transparansi keuangan.
Kedua,
kewenangan terdistribusi
Pada kondisi ini, biasanya tim produksi terbagi
menjadi unit kerja atau divisi yang khusus menangani bidang tertentu. Unit tersebut
diberi sejumlah dana yang bisa ia kelola dan ia berhak membuat keputusan tekait
penggunaannya tanpa harus meminta persetujuan pihak lain. Misalnya, sebuah tim
produski teater terbagi menjadi dua bagian besar yakni pentas dan non-pentas. Depatemen
pentas dikepalai oleh sutradara dan untuk mengurusi keuangan pentas, ia
didampingi oleh seorang administrator, atau bisa saja sang sutradara sendiri
merangkap sebagai admin. Admin ini akan mengelola dan mendistribusikan lagi
dana yang ia terima kepada unit yang lebih kecil semisal divisi kostum, tata
rias, tata cahaya, dan lain-lain. Masing-masing unit diberi kewenangan
mengelola keuangnnya sendiri. Biasanya unit-unit ini akan mencatat pengeluaran
keuangan dan melaporkannya pada sang administrator pentas. Demikian pula dengan
departemen non-pentas yang dipimpin oleh seorang pimpian produksi atau kadang
diseut manajer saja, akan terbagi-bagi menjadi seksi konsumsi, publikasi,
dokumentasi, akomodasi, dan lain-lain yang kesemuanya diberi kewenangan
kebijakan dan pengelolaan keuangan. Model pembagian ini lebih mirip pengelolaan
keuangan di perusahaan atau pemerintahan.
Pembagian unit kerja bisa berbeda-beda antara
satu poduksi dengan produksi lain baik dalam satu kelompok yang sama maupun
kelompok yang berlainan. Hal ini biasanya disesuaikan dengan kebutuhan
pementasan dan kesepakatan bersama. Paling sederhana, pembagian ini terbagi
menjadi dua yakni kewenangan keuangan pentas dan non-pentas. Pola hubungan antara
sutradara dan pimpinan produksi (pimpro) atau manajer bisa punya beberapa tipe.
Ada kondisi ketika sutradara merupakan panglima tertinggi dalam segala hal. Artinya,
sutradara berwenang juga menentukan hal ihwal kebijakan keuangan. Pimpro lebih
berfungsi sebagai pelaksana atau administrator dengan kewenangan terbatas. Bisa
juga sebaliknya, sutradara adalah “bawahan” pimpro dalam bidang
artistik-estetika. Kebijakan menyangkut hal artistik-estetik sangat bisa
diintervensi oleh pimpro. Mungkin pola kerja dalam industri perfilman bisa
dikategorikan demikian di mana produser (sebagai pemilik modal) adalah penguasa
tertinggi. Ada pula kondisi ketika sutradara dan pimpro berstatus sejajar. Sutradara
akan mengurusi perkara artistik-estetik saja dan pimpro mengurusi hal selain
itu. Dalam praktiknya, keduanya akan saling berinteraksi dan tak jarang
berselisih paham. Perselisihan ini bisa terjadi lantaran beberapa hal. Yang paling
lazim ialah ketika idealisme sutradara tidak sebanding dengan kondisi keuangan
yang ada. Atau perbedaan orientasi. Sutradara mengejar idealisme sedang pimpro
mengejar keuntungan materi. Jika dana yang ada bisa mengcover idealisme sutradara dengan tidak merugikan secara materi,
tidak masalah bahkan mungkin hal inilah kejaran utama semua seniman dan
kelompok seni. Namun jika dana yang ada tidak mencukupi, dengan pola
kesejajaran antara sutradara dan pimpro dan keduanya keukeuh pada pendirian dan orientasi masing-masing, percekcokan
akan sulit dihindari.
Bersambung….
Panjalu, 22 Juli
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar