Minggu, 22 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (III) : Ngurus Duit

 
Sebenarnya saya bingung menemukan istilah yang sesuai buat bab ini. Intinya saya ingin berbagi pengalaman dan hasil penalaran tentang bagaimana seniman atau sebuah kelompok seni mengelola keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan. Pengaturan ini erat kaitannya dengan tipe manajemen yang diimani dan dilakukan sang seniman, atau karakter pribadi sang seniman sendiri. Atau juga tergantung situasi dan kondisi keuangan dan produksi seni pertunjukan itu sendiri. Ini sependek pengalaman dan penalaran saya saja. Tentu banyak yang tidak saya ketahui atau boleh jadi banyak kekeliruan dalam tulisan ini, ya mohon dimaafkan.
 
Dalam sebuah produksi seni pertunjukan, apapun orientasiya, ada hal kewenangan kebijakan keuangan dan pengelolaan keuangan. Kewenangan dan pengelolaan ini bisa terpusat ataupun terdistribusi.
 
Pertama, kewenangan terpusat
Yang dimaksud terpusat adalah semua kebijakan keuangan diputuskan oleh satu orang saja. Dari kebijakan besar semacam menentukan biaya pembuatan benda-benda artistik, konsumsi makan besar, sewa gedung, honorarium sampai hal sepele semacam biaya foto copy, print dokumen, membeli gorengan atau kopi semua diputuskan oleh seorang saja. Biasanya dia sendiri yang memegang uang dan mencatat pengeluaran. Sang pembuat kebijakan bisa transparan bisa pula tidak terkait kondisi keuangan. Atau ada juga yang berstandar ganda, biasanya ini terjadi dalam oreintasi kerja kreatif komersil. Jika ternyata merugi karena satu dan berbagai hal, ia akan terbuka dan memohon pengertian pada seluruh personel lantaran honornya kecil atau tidak dibayar sama sekali, misalnya. Atau bisa juga ketika untung besar, sang pemegang kebijakan itu malah anti-transparansi sama sekali karena ia meraup keuntungan besar sedang yang lain dibayar alakadarnya saja tapi ia tidak ingin dicitrakan seniman materialistik. Kondisi pengelolaan keuangan macam ini bisa terjadi tidak hanya pada kerja kretaif komersil namun juga pada kerja kreatif idealis. Ada pula kondisi ketika pengelolaan keuangan terdistribusi pada beberapa unit kerja namun unit itu tidak diberi kewenangan untuk membuat kebijakan keuangan, unit hanya berfungsi sebagai pekerja saja. Mereka hanya melaksanakan perintah otoritas keuangan. Jika pun difungsikan lebih, unit biasanya hanya akan diwajibkan mencatat semua pengeluaran keuangan saja. Jadi pengelolaannya saja yang terdistribusi, kewenangannya tidak.
 
Kewenangan terpusat biasa terjadi pada kelompok seni tanpa keanggotaan yang jelas. Seseorang bisa saja membuat kelompok seni berbadan hukum perkumpulan atau bahkan yayasan. Atau hanya bermodal surat keterangan dari dinas terkait. Atau tanpa dokumen legal formal sama sekali. Meski pada catatan dokumen ada nama-nama yang tertera sebagai pengurus, namun ada kalanya itu cuma omong kosong belaka. Nama-nama itu tidak pernah bekerja sama sekali atau yang lebih parah sang pemilik nama tidak tahu jika ia dicantumkan. Dalam bahasa Sunda diistilahkan dengan tulis tonggong. Pencantuman itu lebih untuk kepentingan pemenuhan syarat legal formal saja. Praktiknya, semua kebijakan keuangan diputuskan oleh seorang saja.
 
Kondisi ini bisa pula terjadi terpada kelompok seni dengan keanggotaan jelas namun terjadi distansi usia, kemampuan, keilmuan, dan pengalaman yang jauh sekali antara anggota dan pengurus atau ketua. Anggota hanya dibekali kemampuan kesenian tanpa harus tahu dapur kelompok bersangkutan. Mungkin tujuannya baik, maksudnya agar tidak turut pusing memikirkan keuangan. Atau bisa juga tujuannya jahat, yakni untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari keringat dan kerja keras bersama tanpa pemerataan kesejahteraan. Hal terakhir ini agaknya kurang terpuji, semacam exploitation de l’homme par I’homme.
 
Yang unik pada kondisi ini, ada istilah one man show, yang bisa diartikan satu orang mengerjakan segala hal sendirian saja, termasuk mengelola keuangan. Selain sebagai pengelola tunggal, ia juga bisa merangkap sebagai konseptor, sutradara, perancang anggaran biaya produksi, penata dan pekerja artistik, dan lain-lain. Ia juga yang mengurusi konsumsi, publikasi, akomodasi, dan ia juga yang menetukan dan membagikan honor jika ada. One man show biasanya menganut anti-transparansi keuangan.
 
Kedua, kewenangan terdistribusi
Pada kondisi ini, biasanya tim produksi terbagi menjadi unit kerja atau divisi yang khusus menangani bidang tertentu. Unit tersebut diberi sejumlah dana yang bisa ia kelola dan ia berhak membuat keputusan tekait penggunaannya tanpa harus meminta persetujuan pihak lain. Misalnya, sebuah tim produski teater terbagi menjadi dua bagian besar yakni pentas dan non-pentas. Depatemen pentas dikepalai oleh sutradara dan untuk mengurusi keuangan pentas, ia didampingi oleh seorang administrator, atau bisa saja sang sutradara sendiri merangkap sebagai admin. Admin ini akan mengelola dan mendistribusikan lagi dana yang ia terima kepada unit yang lebih kecil semisal divisi kostum, tata rias, tata cahaya, dan lain-lain. Masing-masing unit diberi kewenangan mengelola keuangnnya sendiri. Biasanya unit-unit ini akan mencatat pengeluaran keuangan dan melaporkannya pada sang administrator pentas. Demikian pula dengan departemen non-pentas yang dipimpin oleh seorang pimpian produksi atau kadang diseut manajer saja, akan terbagi-bagi menjadi seksi konsumsi, publikasi, dokumentasi, akomodasi, dan lain-lain yang kesemuanya diberi kewenangan kebijakan dan pengelolaan keuangan. Model pembagian ini lebih mirip pengelolaan keuangan di perusahaan atau pemerintahan.
 
Pembagian unit kerja bisa berbeda-beda antara satu poduksi dengan produksi lain baik dalam satu kelompok yang sama maupun kelompok yang berlainan. Hal ini biasanya disesuaikan dengan kebutuhan pementasan dan kesepakatan bersama. Paling sederhana, pembagian ini terbagi menjadi dua yakni kewenangan keuangan pentas dan non-pentas. Pola hubungan antara sutradara dan pimpinan produksi (pimpro) atau manajer bisa punya beberapa tipe. Ada kondisi ketika sutradara merupakan panglima tertinggi dalam segala hal. Artinya, sutradara berwenang juga menentukan hal ihwal kebijakan keuangan. Pimpro lebih berfungsi sebagai pelaksana atau administrator dengan kewenangan terbatas. Bisa juga sebaliknya, sutradara adalah “bawahan” pimpro dalam bidang artistik-estetika. Kebijakan menyangkut hal artistik-estetik sangat bisa diintervensi oleh pimpro. Mungkin pola kerja dalam industri perfilman bisa dikategorikan demikian di mana produser (sebagai pemilik modal) adalah penguasa tertinggi. Ada pula kondisi ketika sutradara dan pimpro berstatus sejajar. Sutradara akan mengurusi perkara artistik-estetik saja dan pimpro mengurusi hal selain itu. Dalam praktiknya, keduanya akan saling berinteraksi dan tak jarang berselisih paham. Perselisihan ini bisa terjadi lantaran beberapa hal. Yang paling lazim ialah ketika idealisme sutradara tidak sebanding dengan kondisi keuangan yang ada. Atau perbedaan orientasi. Sutradara mengejar idealisme sedang pimpro mengejar keuntungan materi. Jika dana yang ada bisa mengcover idealisme sutradara dengan tidak merugikan secara materi, tidak masalah bahkan mungkin hal inilah kejaran utama semua seniman dan kelompok seni. Namun jika dana yang ada tidak mencukupi, dengan pola kesejajaran antara sutradara dan pimpro dan keduanya keukeuh pada pendirian dan orientasi masing-masing, percekcokan akan sulit dihindari.   
 
Bersambung….
 
foto : "Nagara Angar" (Dadan Sutisna); Sutradara Ridwan Hasyimi, TTMC 2013
 
Panjalu, 22 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...