Kamis, 19 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (II) : Kapital



Dalam praktiknya, ketiga model oreintasi yang dipaparkan pada bagian I tulisan ini tidaklah terpisah secara rigid. Dalam kerja kreatif idealisme, boleh jadi ada orientasi komersil atau sosial. Atau dalam kerja kreatif sosial kerap kali terselip juga orientasi idealis dan orientasi komersil. Ketiga orientasi itu bisa hadir bersamaan, atau hanya dua saja. Yang membedakan adalah prosentasenya, prioritasnya. Jika dalam kerja kreatif idealis, meski ada keinginan untuk mendapat keuntungan materi namun itu tidak menjadi pertimbangan penting, tidak jadi yang utama. Demikian pun dalam kerja komersil, sang seniman sedikit banyaknya ingin idealismenya muncul dan terasa, namun hal itu harus berhadapan dengan kenyataan kondisi anggaran yang ada. Jika kebutuhan untuk mewujudkan gagasan sang seniman terlampau mahal atau tidak sesuai dengan pos anggaran, dengan kecenderungan orientasi komersil, idealisme itu pastilah kalah atau setidak-tidaknya negosiatif. Singkatnya, mereka bertiga berkelindan dalam suatu proses kerja kreatif, kadang saling tumpang tindih.
 
Sebuah kerja kreatif, apapun orientasinya sedikit banyaknya membutuhkan biaya dalam praktiknya. Membutuhkan kapital dalam arti modal. Biaya bisa didapatkan dari berbagai sumber dana. Persoalan keuangan ini bisa menyangkut banyak hal. Saya menulis secara sederhana saja, diantaranya, sumber dana (kapital), mekanisme pengelolaan keuangan yang erat kaitannya dengan sistem dan bentuk manajemen sang seniman atau kelompok seni, dan honorarium. Persoalan honorarium sebenarnya bisa digolongkan pada mekanisme pengelolaan keuangan, namun karena persoalan-persoalanya yang kompleks, maka mungkin lebih baik jika dibicarakan tersendiri.
 
Dalam bagian II ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman ihwal sumber dana produksi seni pertunjukan. Hal ini sebatas berdasar pengalaman dan pengetahuan saya yang dangkal. Mungkin sekali banyak hal yang terlewatkan atau bahkan keliru dalam tulisan ini. Mohon dimaafkan.
 
Ditinjau dari segi sumber dana (kapital) sebuah produksi seni pertunjukan, setidak-tidaknya ada bisa dibuat dua kategori besar.
 
Pertama, sumber dana pribadi (internal).
Sesuai dengan istilahnya, sumber dana produksi adalah berasal dari kocek sang seniman atau kelompok seni sendiri. Sumber dana macam ini biasanya lazim terjadi pada kerja kreatif idealis. Sang seniman membiayai sendiri karya seninya tanpa harus berhitung untung rugi. Jika saja ternyata biaya produksi bisa terbayar dari penjualan tiket, ya syukur. Jika tidak, seharusnya tidak jadi masalah bila memang orientasi utamanya adalah mengejar kepuasan batin. Dengan kata lain, sang seniman membeli kepuasannya sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa sama saja ketika seseorang membeli beras untuk makan atau seseorang mengeluarkan sejumlah uang untuk berlibur. Mereka sama-sama membeli kebutuhan dan kepuasan pribadinya. Bagi sebagian orang, mengeluarkan biaya sendiri untuk keperluan karya seni guna memenuhi idealisme (kepuasan batin) mungkin sukar dimengerti. Tapi bila dianalogikan dengan seseorang yang mengeluarkan biaya untuk berlibur atau membeli hadiah untuk seorang kekasih (kepuasan batin), mungkin bisa membantu untuk memahami alam batin dan pikiran sang seniman. Ia rela menghabiskan hartanya untuk sebuah pertunjukan seni. Hakikatnya, ia menukar sesuatu untuk sesuatu yang lain yang lebih ia cintai.
 
Ada pula kasus atau situasi dalam model kerja kreatif sosial atau komersil ketika seniman merogok kocek sendiri untuk pembiayaan produksi. Hal ini biasanya terjadi karena biaya pewujudan ide lebih besar ketimbang anggaran yang disediakan sedangkan orientasi idealis lebih mendominasi, maka pembengkakan biaya pasti terjadi. Biaya tambahan itu kadang kala dirogoh dari kocek seniman sendiri demi terwujudnya capaian artistik dan estetik yang dikehendaki. Atau jika si penyandang dana bersedia untuk menyetujui tambahan anggaran, ya syukur saja, sang seniman tidak merugi secara materi. Jika tidak, demi sebuah kepuasan, habis berapa pun kadang tak diperhitungkan.
 
Atau ada kala dalam kerja kreatif sosial atau komersil, sang seniman harus merogoh kocek sendiri sebagai dana talangan karena pencairan dana dari sang pemilik modal terlambat atau tidak tepat ada waktu yang dibutuhkan. Ini lazim terjadi, apalagi jika sumber dana berasal dari pemerintah. Prosedur pencairan dana pemerintah yang cenderung lama dan rumit sering kali membuat seniman harus siap sedia dana talang. Jika bukti pengeluaran dana talang terdokumentasi dengan baik, sang seniman bisa lebih mudah minta segera diganti, jika tidak, persoalan akan menjadi semakin runyam.
 
Kedua, sumber dana pihal lain (eksternal).
Kebalikan dari yang pertama, sumber dana ini berasal dari pihak luar, artinya bukan sang seniman yang mendanai produksi karyanya sendiri. Sumber dana eksternal ini bisa dari perorangan, iuaran masyarakat, lembaga swasta maupun pemerintah. Tidak hanya pada kerja kreatif sosial dan komersil, pada kerja kreatif idealis pun sering kali, bahkan sangat sering melibatkan pihak lain sebagai penyandang dana.
 
Banyak cara seniman mendapatkan bantuan dana dari pihak lain. Ada kalanya seniman mendapat pesanan (order) dari pihak tertentu untuk membuat atau menampilkan suatu karya seni. Sang pemilik modal boleh jadi sudah punya embrio gagasan tentang karya tersebut. Dia mungkin memesan pertunjukan teater dengan tema atau bentuk tertentu. Contoh lain, misalnya sebuah partai politik memesan sebuah pertunjukan drama tari yang mengisahkan perjuangan, semangat, atau sejarah pendirian partainya atau kisah salah satu tokoh pendiri partainya. Atau contoh yang lebih sederhana misalnya, seorang mengundang sebuah grup musik untuk tampil pada resepsi pernikahan anaknya dan memintanya memainkan lagu-lagu tertentu. Atau sang seniman diminta untuk membuat karya dan melatihkannya pada anak-anak SD untuk sebuah lomba tari atau paduan suara dengan bayaran tertentu. Contoh-contoh demikian biasanya tejadi pada orientasi kerja kreatif komersil. Pada kerja kreatif sosial, pesanan-pesanan seperti ini mungkin saja terjadi. Mekanisme by order macam itu mungkin juga terjadi pada kerja kreatif idealis. Hal ini bisa terjadi bila ada kesamaan idealisme atau visi yang sangat presisi antara (pesanan) sang pemilik modal dan sang seniman. Sayangnya, kondisi terakhir ini jarang sekali terjadi.
 
Atau kadang kala pemilik modal tidak memesan konten atau bentuk tertentu sama sekali. Dia hanya memesan seni pertunjukan, apa pun bentuk dan kontennya, ia bisa saja tidak peduli. Kondisi demikian bisa terjadi biasanya bila sang pemilik modal sudah cukup mengenal sang seniman sehingga sudah ada rasa saling percaya dan saling memahami selera seni masing-masing. Atau bisa juga sang pemilik modal memesan seni pertunjukan pada kelompok atau seniman yang sudah punya nama besar. Sang pemilik modal tidak punya konten atau bentuk pesanan khusus. Yang ia “beli” ialah nama besar sang seniman dan dampaknya di kemudian hari. Dengan kehadiran sang seniman pun sudah merupakan keuntungan atau kepuasan baginya. Dalam kondisi tertentu, kehadiran seniman besar ini bisa dinilai sebagai dukungan atau simpatinya pada sang pemilik modal. Misal saja, teatreawan A yang sudah punya nama besar hadir untuk membacakan puisi pada sebuah acara yang dihelat sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang sedang ramai dibincangkan karena usahnya dianggap merugikan petani sawit dalam negeri. Mungkin saja seniman dengan ideologi tertentu akan menilainya sebagai sebuah tindakan yang kurang pantas atau bahkan diledek sebagai pelacuran sama sekali.
 
Untuk sebagian seniman, ketundukan pada pesanan terkadang dinilai kurang pantas. Seni tunduk bersimpuh di kaki pemilik modal dianggap menghinakan idealisme dan harga diri seniman sebagai mahluk yang dianggap merdeka. Apalagi bila sang pemilik modal punya tujuan tertentu dengan karya seni atau seniman itu yang dipandang bertentangan dengan norma, moralitas, filosofi hidup atau ideologi yang dianut sebagian seniman lain. Apalagi bila sang pemesan punya tujuan jahat semacam pendistorsian sejarah, pengkaburan fakta, atau tujuan lain demi keuntungan pribadinya.
 
Namun bagi sebagian seniman lain, itu tidak jadi soal. mengerjakan karya seni by order demi mencukupi kebutuhan hidup bukan suatu hal hina dan dianggap wajar saja, Itu bukan sebentuk pelacuran atau penggadaian idealisme, apapun pesanan yang diminta. Itu kerja sebuah profesional. Mungkin seperti kerja pengacara dalam dunia hukum.
 
Selain mekanisme by order yang dalam beberapa kasus berpotensi menimbulkan kontroversi, seniman juga kadang mencari sendiri pihak yang bersedia memberikan modal produksi. Dalam situasi ini sang seniman biasanya sudah mempunyai konsep untuk karya seninya. Konsep tersebut dituangkan dalam bentuk proposal dan diajukan pada satu atau beberapa pihak yang dinilai siap dan sanggup membiayai. Pembiayaan bisa dalam bentuk uang atau hal lain. Pola kerja samanya bisa sponsorship atau donasi. Dalam hal sponsorship, ada timbal balik yang diharapkan penyandang dana. Dalam seni pertunjukan, timbal balik itu biasanya berupa kesediaan sang seniman untuk mencantumkan logo atau nama penyandang dana pada media publikasi yang ada semisal baliho, poster, booklet pertunjukan, kaos produksi, dan lain-lain. Pola kerja sama ini sangat lazim terjadi. Ketentuan-ketentuan sponsorship biasanya sudah dipersiapkan sang seniman dan dicantumkan jelas dalam proposal. Sedang pada hal donasi, sang donatur biasanya tidak menuntut timbal balik apa-apa. Ia hanya memberi bantuan dana atau bantuan dalam bentuk lain secara sukarela. Jika pun ada timbal balik, sang seniman mungkin hanya mencantumkan namanya pada lembar ucapan terima kasih.
 
Mekanisme lain yang dilakukan seniman untuk mencari sumber dana misalnya dengan menyasar program dana hibah atau program lain dari suatu lembaga tertentu yang berkaitan dengan seni. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang biasa memiliki program terkait pembiayaan produksi karya seni, semisal Djarum Foundation, Yayasan Kelola, Hivos, Ford Foundation, Japan Foundation, Gothe Institute, Institut Francis d’Indonesie, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai program-program yang menyediakan sejumlah dana untuk seniman yang karyanya memenuhi syarat dan kriteria program tersebut. Nominal dana biasanya sudah ditentukan berikut syarat dan ketentuan. Sang seniman bisa mendaftar dan bila lolos kurasi, ia bisa terlibat dalam program tersebut dan mendapat sejumlah dana atau fasilitas lain. Selain lembaga-lembaga tersebut, pemerintah juga biasanya punya program serupa. Misalnya saja program-program dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, atau pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten. 
 
Tentu banyak pola dan mekanisme lain yang digunakan seniman untuk memperoleh dana untuk memproduksi sebuah karya seni pertunjukan baik dalam konteks idealis, sosial, maupun komersil yang belum tertulis di sini. Hal itu semata karena keterbatasan saya.
 
Bersambung…
foto : dokumentasi pribadi 
Panjalu, 19 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...