Dalam praktiknya, ketiga model oreintasi
yang dipaparkan pada bagian I tulisan ini tidaklah terpisah secara rigid. Dalam
kerja kreatif idealisme, boleh jadi ada orientasi komersil atau sosial. Atau
dalam kerja kreatif sosial kerap kali terselip juga orientasi idealis dan
orientasi komersil. Ketiga orientasi itu bisa hadir bersamaan, atau hanya dua
saja. Yang membedakan adalah prosentasenya, prioritasnya. Jika dalam kerja
kreatif idealis, meski ada keinginan untuk mendapat keuntungan materi namun itu
tidak menjadi pertimbangan penting, tidak jadi yang utama. Demikian pun dalam
kerja komersil, sang seniman sedikit banyaknya ingin idealismenya muncul dan
terasa, namun hal itu harus berhadapan dengan kenyataan kondisi anggaran yang
ada. Jika kebutuhan untuk mewujudkan gagasan sang seniman terlampau mahal atau
tidak sesuai dengan pos anggaran, dengan kecenderungan orientasi komersil, idealisme
itu pastilah kalah atau setidak-tidaknya negosiatif. Singkatnya, mereka bertiga
berkelindan dalam suatu proses kerja kreatif, kadang saling tumpang tindih.
Sebuah kerja kreatif, apapun orientasinya
sedikit banyaknya membutuhkan biaya dalam praktiknya. Membutuhkan kapital dalam
arti modal. Biaya bisa didapatkan dari berbagai sumber dana. Persoalan keuangan
ini bisa menyangkut banyak hal. Saya menulis secara sederhana saja,
diantaranya, sumber dana (kapital), mekanisme pengelolaan keuangan yang erat
kaitannya dengan sistem dan bentuk manajemen sang seniman atau kelompok seni,
dan honorarium. Persoalan honorarium sebenarnya bisa digolongkan pada mekanisme
pengelolaan keuangan, namun karena persoalan-persoalanya yang kompleks, maka
mungkin lebih baik jika dibicarakan tersendiri.
Dalam bagian II ini, saya ingin berbagi sedikit
pengalaman ihwal sumber dana produksi seni pertunjukan. Hal ini sebatas
berdasar pengalaman dan pengetahuan saya yang dangkal. Mungkin sekali banyak
hal yang terlewatkan atau bahkan keliru dalam tulisan ini. Mohon dimaafkan.
Ditinjau dari segi sumber dana (kapital)
sebuah produksi seni pertunjukan, setidak-tidaknya ada bisa dibuat dua kategori
besar.
Pertama,
sumber dana pribadi (internal).
Sesuai dengan istilahnya, sumber dana
produksi adalah berasal dari kocek sang seniman atau kelompok seni sendiri.
Sumber dana macam ini biasanya lazim terjadi pada kerja kreatif idealis. Sang
seniman membiayai sendiri karya seninya tanpa harus berhitung untung rugi. Jika
saja ternyata biaya produksi bisa terbayar dari penjualan tiket, ya syukur.
Jika tidak, seharusnya tidak jadi masalah bila memang orientasi utamanya adalah
mengejar kepuasan batin. Dengan kata lain, sang seniman membeli kepuasannya
sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa sama saja ketika seseorang membeli beras
untuk makan atau seseorang mengeluarkan sejumlah uang untuk berlibur. Mereka
sama-sama membeli kebutuhan dan kepuasan pribadinya. Bagi sebagian orang,
mengeluarkan biaya sendiri untuk keperluan karya seni guna memenuhi idealisme
(kepuasan batin) mungkin sukar dimengerti. Tapi bila dianalogikan dengan
seseorang yang mengeluarkan biaya untuk berlibur atau membeli hadiah untuk
seorang kekasih (kepuasan batin), mungkin bisa membantu untuk memahami alam
batin dan pikiran sang seniman. Ia rela menghabiskan hartanya untuk sebuah
pertunjukan seni. Hakikatnya, ia menukar sesuatu untuk sesuatu yang lain yang
lebih ia cintai.
Ada pula kasus atau situasi dalam model
kerja kreatif sosial atau komersil ketika seniman merogok kocek sendiri untuk
pembiayaan produksi. Hal ini biasanya terjadi karena biaya pewujudan ide lebih
besar ketimbang anggaran yang disediakan sedangkan orientasi idealis lebih
mendominasi, maka pembengkakan biaya pasti terjadi. Biaya tambahan itu kadang
kala dirogoh dari kocek seniman sendiri demi terwujudnya capaian artistik dan
estetik yang dikehendaki. Atau jika si penyandang dana bersedia untuk
menyetujui tambahan anggaran, ya syukur saja, sang seniman tidak merugi secara
materi. Jika tidak, demi sebuah kepuasan, habis berapa pun kadang tak
diperhitungkan.
Atau ada kala dalam kerja kreatif sosial
atau komersil, sang seniman harus merogoh kocek sendiri sebagai dana talangan
karena pencairan dana dari sang pemilik modal terlambat atau tidak tepat ada
waktu yang dibutuhkan. Ini lazim terjadi, apalagi jika sumber dana berasal dari
pemerintah. Prosedur pencairan dana pemerintah yang cenderung lama dan rumit
sering kali membuat seniman harus siap sedia dana talang. Jika bukti
pengeluaran dana talang terdokumentasi dengan baik, sang seniman bisa lebih
mudah minta segera diganti, jika tidak, persoalan akan menjadi semakin runyam.
Kedua,
sumber dana pihal lain (eksternal).
Kebalikan dari yang pertama, sumber dana
ini berasal dari pihak luar, artinya bukan sang seniman yang mendanai produksi
karyanya sendiri. Sumber dana eksternal ini bisa dari perorangan, iuaran
masyarakat, lembaga swasta maupun pemerintah. Tidak hanya pada kerja kreatif
sosial dan komersil, pada kerja kreatif idealis pun sering kali, bahkan sangat
sering melibatkan pihak lain sebagai penyandang dana.
Banyak cara seniman mendapatkan bantuan
dana dari pihak lain. Ada kalanya seniman mendapat pesanan (order) dari pihak tertentu untuk membuat
atau menampilkan suatu karya seni. Sang pemilik modal boleh jadi sudah punya
embrio gagasan tentang karya tersebut. Dia mungkin memesan pertunjukan teater
dengan tema atau bentuk tertentu. Contoh lain, misalnya sebuah partai politik
memesan sebuah pertunjukan drama tari yang mengisahkan perjuangan, semangat,
atau sejarah pendirian partainya atau kisah salah satu tokoh pendiri partainya.
Atau contoh yang lebih sederhana misalnya, seorang mengundang sebuah grup musik
untuk tampil pada resepsi pernikahan anaknya dan memintanya memainkan lagu-lagu
tertentu. Atau sang seniman diminta untuk membuat karya dan melatihkannya pada
anak-anak SD untuk sebuah lomba tari atau paduan suara dengan bayaran tertentu.
Contoh-contoh demikian biasanya tejadi pada orientasi kerja kreatif komersil. Pada
kerja kreatif sosial, pesanan-pesanan seperti ini mungkin saja terjadi.
Mekanisme by order macam itu mungkin
juga terjadi pada kerja kreatif idealis. Hal ini bisa terjadi bila ada kesamaan
idealisme atau visi yang sangat presisi antara (pesanan) sang pemilik modal dan
sang seniman. Sayangnya, kondisi terakhir ini jarang sekali terjadi.
Atau kadang kala pemilik modal tidak
memesan konten atau bentuk tertentu sama sekali. Dia hanya memesan seni
pertunjukan, apa pun bentuk dan kontennya, ia bisa saja tidak peduli. Kondisi
demikian bisa terjadi biasanya bila sang pemilik modal sudah cukup mengenal
sang seniman sehingga sudah ada rasa saling percaya dan saling memahami selera
seni masing-masing. Atau bisa juga sang pemilik modal memesan seni pertunjukan
pada kelompok atau seniman yang sudah punya nama besar. Sang pemilik modal
tidak punya konten atau bentuk pesanan khusus. Yang ia “beli” ialah nama besar
sang seniman dan dampaknya di kemudian hari. Dengan kehadiran sang seniman pun
sudah merupakan keuntungan atau kepuasan baginya. Dalam kondisi tertentu,
kehadiran seniman besar ini bisa dinilai sebagai dukungan atau simpatinya pada
sang pemilik modal. Misal saja, teatreawan A yang sudah punya nama besar hadir
untuk membacakan puisi pada sebuah acara yang dihelat sebuah perusahaan asing
yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang sedang ramai dibincangkan
karena usahnya dianggap merugikan petani sawit dalam negeri. Mungkin saja
seniman dengan ideologi tertentu akan menilainya sebagai sebuah tindakan yang
kurang pantas atau bahkan diledek sebagai pelacuran sama sekali.
Untuk sebagian seniman, ketundukan pada
pesanan terkadang dinilai kurang pantas. Seni tunduk bersimpuh di kaki pemilik
modal dianggap menghinakan idealisme dan harga diri seniman sebagai mahluk yang
dianggap merdeka. Apalagi bila sang pemilik modal punya tujuan tertentu dengan
karya seni atau seniman itu yang dipandang bertentangan dengan norma, moralitas,
filosofi hidup atau ideologi yang dianut sebagian seniman lain. Apalagi bila
sang pemesan punya tujuan jahat semacam pendistorsian sejarah, pengkaburan
fakta, atau tujuan lain demi keuntungan pribadinya.
Namun bagi sebagian seniman lain, itu tidak
jadi soal. mengerjakan karya seni by
order demi mencukupi kebutuhan hidup bukan suatu hal hina dan dianggap
wajar saja, Itu bukan sebentuk pelacuran atau penggadaian idealisme, apapun
pesanan yang diminta. Itu kerja sebuah profesional. Mungkin seperti kerja
pengacara dalam dunia hukum.
Selain mekanisme by order yang dalam beberapa kasus berpotensi menimbulkan kontroversi,
seniman juga kadang mencari sendiri pihak yang bersedia memberikan modal
produksi. Dalam situasi ini sang seniman biasanya sudah mempunyai konsep untuk
karya seninya. Konsep tersebut dituangkan dalam bentuk proposal dan diajukan
pada satu atau beberapa pihak yang dinilai siap dan sanggup membiayai.
Pembiayaan bisa dalam bentuk uang atau hal lain. Pola kerja samanya bisa sponsorship atau donasi. Dalam hal sponsorship, ada timbal balik yang
diharapkan penyandang dana. Dalam seni pertunjukan, timbal balik itu biasanya
berupa kesediaan sang seniman untuk mencantumkan logo atau nama penyandang dana
pada media publikasi yang ada semisal baliho, poster, booklet pertunjukan, kaos produksi, dan lain-lain. Pola kerja sama
ini sangat lazim terjadi. Ketentuan-ketentuan sponsorship biasanya sudah dipersiapkan sang seniman dan
dicantumkan jelas dalam proposal. Sedang pada hal donasi, sang donatur biasanya
tidak menuntut timbal balik apa-apa. Ia hanya memberi bantuan dana atau bantuan
dalam bentuk lain secara sukarela. Jika pun ada timbal balik, sang seniman
mungkin hanya mencantumkan namanya pada lembar ucapan terima kasih.
Mekanisme lain yang dilakukan seniman untuk
mencari sumber dana misalnya dengan menyasar program dana hibah atau program
lain dari suatu lembaga tertentu yang berkaitan dengan seni. Di Indonesia ada
beberapa lembaga yang biasa memiliki program terkait pembiayaan produksi karya
seni, semisal Djarum Foundation, Yayasan Kelola, Hivos, Ford Foundation, Japan
Foundation, Gothe Institute, Institut Francis d’Indonesie, dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga tersebut mempunyai program-program yang menyediakan sejumlah
dana untuk seniman yang karyanya memenuhi syarat dan kriteria program tersebut.
Nominal dana biasanya sudah ditentukan berikut syarat dan ketentuan. Sang
seniman bisa mendaftar dan bila lolos kurasi, ia bisa terlibat dalam program
tersebut dan mendapat sejumlah dana atau fasilitas lain. Selain lembaga-lembaga
tersebut, pemerintah juga biasanya punya program serupa. Misalnya saja program-program
dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Pariwisata, Badan Ekonomi
Kreatif, atau pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten.
Tentu banyak pola dan mekanisme lain yang
digunakan seniman untuk memperoleh dana untuk memproduksi sebuah karya seni
pertunjukan baik dalam konteks idealis, sosial, maupun komersil yang belum
tertulis di sini. Hal itu semata karena keterbatasan saya.
Bersambung…
Panjalu,
19 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar