Minggu, 11 Februari 2018

Rengganis, Riwayatmu Kini


Jarum jam menunjukan pukul dua siang saat langit Ciamis Kota makin mendung menghitam. Kilat bersambaran. Suaranya datang bergantian. Kadang tumpang tindih. Menggelegar. Mengingatkan bangsa Skandinavia Kuno pada Thor atau amarah Zeus bagi bangsa Yunani Kuno. Menjelang pukul tiga, hujan mulai merintik sebelum kemudian lebat sama sekali. Dan rupanya hujan tak datang sendiri. Seraya hujan menderas, angin pun kian kencang bertiup. Makin menjadi, angin seperti mengamuk. Udara nampak memutih. Bukan kabut, tapi tetes hujan yang riuh diterbangkan angin. Dipatahkannya dahan-dahan pohon. Jalan depan kantor Dinas Kesehatan Ciamis macet, tertahan lantaran tumbangnya dahan besar sebuah pohon. Tak jauh dari sana, sebuah pohon besar tercerabut dari tanah. Ia tumbang menutupi separuh lebih badan jalan tepat di depan kantor Dinas Parekraf Ciamis di Jl. Mr. Iwa Koesoemasoemantri. Daun-daun palem di sepanjang Jl. R. A. A. Sastrawinata pun tak luput dari terjangan. Mereka berjatuhan, menutupi badan jalan. Beberapa atap warung yang berderet di samping Tourism Information Centre (TIC) Ciamis beterbangan. Dagangan yang dijajakan seturut pula berhamburan, dihantam amuk angin Februari. 
Ada sebuah bangunan besar yang terletak di Jl. R. A. A. Sastrawinata, Ciamis. Tentu ini bukan Islamic Centre Ciamis yang megah dan kokoh itu. Adalah Padepokan Seni Budaya Rengganis, sebuah bangunan besar yang cukup mencuri pandang. Atapnya ditutupi dahon berseling ijuk. Tiap sisinya hanya berdinding rusuk bambu dan bilik. Jika masuk dan melihat ke langit-langit, enam batang awi gombong sepanjang sekitar 15 meter nampak melintang sebagai dasar bagi atap. Belasan batang pohon kelapa berdiri tegak. Mereka bertugas menyangga atap dan penegak dinding-dinding. Setidaknya itu dulu, sebelum mereka keropos digerogoti rayap. Mereka, batang-batang kelapa itu, kemudian pensiun. Tak mampu lagi menyangga, tak kuat lagi tegak berdiri. Tugasnya kemudian digantikan bambu-bambu sampai akhirnya mereka, para bambu itu, tak kuasa lagi berdiri.
Berdiri sejak 2006, bangunan yang terletak di atas tanah milik pemerintah daerah kabupaten Ciamis ini pernah mengalami beberapa kali perbaikan skala besar. Mengganti dahon dan ijuk, mengganti tiang-tiang utama, sampai pembangunan tembok di sisi barat buat mengganti dinding bambunya yang sudah tak kuasa lagi ajeg adalah beberapa pembenahan yang pernah dilakukan. Bangunan yang memiliki taman dan dua selasar di kanan dan kirinya ini pernah tampil cantik pula dengan kolam hias berair terjun mini didepannya. Halaman yang rindang dengan bunga-bunga dan tanaman hias membuat Rengganis sering kali disangka toko tanaman hias. Tak jarang orang-orang sengaja datang hendak membeli satu dua tanaman hias yang padahal sama sekali tidak diperjualbelikan. 
Di bagian dalam, tiga ruangan bersekat bilik meruang di sisi timur. Masing-masing difungsikan sebagai sekretariat, kamar tidur, dan dapur sebelum ruang-ruang itu beralih fungsi menjadi ruang penyimpanan gamelan dan properti-properti tari. Dua kamar mandi meruang di pojok sisi timur sebagai penyempurna. Dibangun pula satu ruang tambahan di selasar barat yang lebih sering difungsikan sebagai kamar tidur bagi tamu jauh yang berkunjung atau ruang menyepi ketika Abah Wawan, pendiri Padepokan Seni Budaya Rengganis, bermaksud mencari inspirasi untuk karya-karya tarinya. Belakangan, kamar baru itu dijadikan ruang penyimpanan barang UKM Teater Tangtutilu UNIGAL.
Dengan latarbelakang tari tradisi yang ia tempa di Kokar (Konservatorium Karawitan,  yang kemudian dikenal sebagai Sekolah Menengah Karawitan Indonesia sebelum kini  berubah menjadi SMKN 10 Bandung) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, yang kemudian berubah menjadi STSI dan sekarang dikenal sebagai ISBI) Bandung, Abah Wawan menjadikan Rengganis sebagai sarana pelatihan, pengembangan, dan penciptaan karya-karya tari khsusnya yang bercorak tradisi Sunda. Entah berapa banyak karya tari yang ditelurkan dari padepokan itu. Beberapa sajian tari kolosal “Ngebral Pataka” yang ditampilkan di Pendopo Ciamis dalam rangkaian Hari Jadi Ciamis menggunakan tempat itu  sebagai sarana latihannya. Tak jarang pula ia dipinjam oleh anak-anak sekolah untuk berlatih guna mempersiapkan sebuah pertunjukan tugas mata pelajaran kesenian. Ratusan sudah orang yang pernah belajar tari di sana.
Karena memposisikan diri sebagai fasilitas segala bentuk dan jenis kesenian, Rengganis pun diwarnai banyak ragam corak seni. Ada satu fase ketika ia digunakan pula sebagai studio band dalam jangka waktu yang relatif lama. Hal demikian tentu membawa warna tersendiri bagi jenis dan bentuk kesenian yang sempat bersinggungan. Para penabuh drum yang biasa berlatih, misalnya, lambat laun kemudian tertarik mempelajari tetabuhan kendang. Dan tak jarang pula para gitaris lantas jatuh cinta pada kecapi atau vokalis-vokalis band yang kemudian mempelajari teknik vokal dalam karawitan. Karena keterbukaan yang diusung maka transfer ilmu lintas aliran lebih dimungkinkan.
Selain musik modern, teater pun cukup kuat menancap. Sejak berdirinya pada 2010, Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC)  menggelar pentas perdananya di padepokan itu. TTMC kemudian secara rutin menggelar pementasan teaternya di sana sekaligus menjadikannya sekretariat dan tempat berlatih juga bengkel kerja. Tercatat tujuh lakon yang pernah dihelat TTMC di sana sejak 2010. Selama sekitar satu minggu lebih untuk tiap kali pementasan, Rengganis disulap sedemikian rupa menjadi ruang pementasan teater indoor. Kain hitam dipentang mengepung ruang agar sedikit banyak menciptakan kegelapan yang dikendaki demi sebuah capaian artistik. Meski dengan segala kekurangan, ribuan penonton yang nota bene adalah para pelajar di seputaran Ciamis pernah terlibat dalam sebuah peristiwa teater di padepokan seribu bambu tersebut. Dan tercatat pula Black Rose Teater (Bandung), Teater Sendiri (Kendari), dan Bode Riswandi bersama kelompok teaternya dari Tasikmalaya pernah mementaskan karya teaternya di sana. Women In The Zero (WIZ) Project pun tercatat pernah berproses bersama TTMC, menggunakan Rengganis sebagai tempat latihan selama sekitar dua bulan. Lakon “Heart of Almond Jelly” yang digarap tersebut awalnya memilih Rengganis sebagai tempat pementasan. Namun lantaran kondisi bangunan sudah tidak memungkinkan, pementasan digeser ke Aula Dasa Darma di kompleks gedung Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Ciamis, yang berada tepat di belakang padepokan. Dan itulah kali pertama Rengganis tak lagi mungkin untuk sebuah gelaran pertunjukan. Kondisi bambu semakin menua dan tiang batang kelapa makin habis dimakan rayap. Belum lagi bila hujan datang. Atap-atap dahon kian rapuh tak lagi mampu menghadang air hujan. Rengganis pun selalu banjir bila hujan turun lantaran bocor di tiap penjuru.
Tak hanya pertunjukan seni, Rengganis pun kerap kali dijadikan ruang diskusi. Majelis Sore Malam (Marlam) kali pertama menggelar pembacaan cerpennya di sana. Awalnya Marlam bernama Sastra Ngabuburit atau SaBu. Dinamakan demikian karena kegiatannya dilaksanakan pada saat ngabuburit menunggu buka puasa pada Ramadhan tahun 2016. Belasan cerita pendek sudah dibacakan berantai dan didiskusikan di Rengganis. Ada pula Lingkar Daulat Malaya yang sempat beberapa kali menggelar lingkaran Maiyah-nya di sana. LSM WISMA, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu-isu HIV/AIDS, dua kali sudah mengadakan Malam Renungan HIV/AIDS Nusantara (MRAN) di bangunan yang pernah ambruk pada 2006 itu.  
Selain sebagai sarana berkesenian, untuk menghidupi dirinya, sesekali Rengganis digunakan untuk ruang rapat, seminar, lokakarya, atau acara secamnya. Pelanggan utamanya biasanya Dinas-dinas yang mengurusi kesenian atau komunitas-komunitas dengan kantong pas-pasan. Ketika harga sewa gedung-gedung di Ciamis sudah tembus hingga jutaan, padepokan ini masih bertahan dengan harga nego. Hal demikian menjadi daya tarik konsumen sekaligus bumerang bagi Rengganis sendiri. Murahnya harga sewa dan pengelolaan keuangan yang kurang tertata menjadi salah satu faktor sukarnya biaya untuk perawatan gedung. Padahal gedung macam itu perlu biaya yang realatif besar untuk  perawatan lantaran material alam yang digunakan sebagai bahan. Lebih mahal ketimbang merawat gedung-gedung berbahan semen dan batu bata. Menaikan harga sewa pun bukan keputusan yang solutif sebab semaraknya Rengganis justru oleh komunitas-komunitas yang miskin harta namun kaya ide dan semangat. 
Rengganis dengan segala keterbukaannya telah banyak memfasilitasi pelbagai kegiatan kesenian baik berupa pementasan, diskusi, atau sekedar tempat kongkow para seniman Ciamis maupun dari luar Ciamis, tua maupun muda. Keberadannya sebagai ruang silaturrahmi sudah banyak dirasakan tak hanya oleh kalangan seniman semata. Ditengah miskinnya fasilitas kesenian plat merah di Ciamis Kota, Rengganis hadir sebagai salah satu alternatif jika tidak dikatakan pilihan utama Ciamis Art Space. Dengan segala kekuarangan dan kelebihannya, sedikit banyak ia mampu menopang denyut nadi iklim kesenian Ciamis. Bahkan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukannya dalam salah satu destinasi wisata dalam booklet pariwisata yang mereka terbitkan.  Tetapi apakah ada yang benar-benar peduli? Pemda Ciamis malah sempat berencana meratakan Rengganis lantaran lahan yang ditempatinya akan digunakan membangun kantor baru untuk beberapa instansi pemerintah. Meski tegaknya bangunan itu lemah secara hukum, namun apakah para pemangku jabatan itu hanya mampu membaca tulisan diatas materai tanpa melihat realitas yang ada? Entah ditangguhkan atau batal sama sekali, rencana itu mungkin bisa jadi indikator kurangnya kepedulian pemerintah pada kesenian di Ciamis. Bila Gedung Kesenian Ciamis yang megah itu digadang-gadang menjadi Ciamis Art Space, menjadi tempat kongkow-kongkownya seniman, menjadi ruang diskusi budaya, sungguh, itu niat yang sukar sekali terwujud selama pemerintah tidak memiliki goodwill dan visi kesenian yang jelas, serta fakir akan pemahaman kebudayaan.
Dan kini, kisah-kisah Rengganis itu tinggal benar-benar kisah dalam ingatan saja. Sore itu, ketika empat orang murid Abah Wawan berteduh di sana, di padepokan itu, ketika dua diantara mereka baru saja mau memulai latihan teater, angin mengamuk dan menghancurkan semuanya. Padepokan Seni Budaya Rengganis runtuh disapu angin puting beliung pada Jum’at, 2 Februari 2018. Akankah Rengganis kembali tegak? Atau musnah  sama sekali?

Panjalu, 7 Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...