Setelah sempat ragu, akhirnya saya putuskan berangkat. Isteri saya yang berulang kali dicari: carilah pengalaman. “Kami di sini akan baik-baik saja,” katanya, kira-kira.
Sebenarnya saya menggantikan Adit Lakon, aktor teater yang kini melebarkan sayap ke layar kaca, untuk membersamai warga Desa Pulau Pahawang mengelar sebuah pertunjukan teater. Proyek ini ia dapat dari kawannya, Hijrah, seorang agen perjalanan yang gemar mencoba hal baru. Setelah bertahun-tahun Hijrah—bersama Hendi, Nurul, dan warga lainnya—mengadakan kegiatan seni di Pahawang dengan berbagai terobosan, tahun ini ia ingin mencoba menggelar pertunjukan teater dengan lebih terkonsep. Oleh karenanya, ia meminta bantuan Adit untuk mengonsep sekaligus menggarap.
Lahirlah Meronce Pahawang, semacam pendekatan teater pemberdayaan yang digagas Adit. Saya berangkat berbekal gagasan itu. Seperti judulnya, pertunjukan ini dirancang sebagai presentasi hasil “meronce" berbagai potensi dan masalah (lengkap dengan penyelesaian) yang ada di Pahawang. Pada dasarnya, aktor, sutradara, dan penulis naskahnya adalah mereka. Status saya sebagai fasilitator yang membantu mewujudkan apa yang ingin mereka sampaikan ke atas panggung. Dalam Teater Kaum Tertindas-nya Augusto Boal, istilah joker mungkin mendekati.
Dari hasil pencarian informasi di internet, hal penting yang saya tahu tentang Pahawang adalah pariwisata. Ia adalah salah satu primadona pariwisata di Provinsi Lampung dengan andalan wisata bawah laut. Cantiknya terumbu karang bisa dengan mudah dilihat dari permukaan laut. Air lautnya jernih dengan ombak yang relatif tenang.
Setibanya saya di Bakauheni, panitia yang menjemput langsung saya berondong macam-macam pertanyaan. Tentu saja, karena hal pertama yang harus saya lakukan adalah riset. Setelah mereka—Hijrah, Hendi, dan Nurul—bercerita, saya meruncingkan pertanyaan: dampak apa yang dinginkan panitia dari pertunjukan teater ini?
Teater pemberdayaan musti punya dampak langsung kepada para pelaku (aktor) dan, syukur-syukur, penonton. Setidaknya, itu yang saya yakini. Dampak yang paling dekat dan mendukung adalah kesadaran. Ya, mirip dengan apa yang digagas Bertolt Brecht bahwa alih-alih terbawa ke "dalam" mencapai katarsis, penonton diajak untuk menyadari bahwa apa yang mereka saksikan adalah “bohongan” sehingga muncul daya kritis atas apa yang tersaji di panggung. Daya kritis itu diharapkan akan menggungah kesadaran penoton akan rupa-rupa masalah yang ada di sekeliling mereka, yang beberapa di antaranya mereka saksikan di panggung.
Saya mengira prosesnya akan mirip dengan pendekatan Teater Kaum Terindas. Sebagai joker, harusnya saya netral dan punya akses yang cukup untuk melakukan metode ini. Misalnya, saya menemukan masalah, untuk kemudian menjadi bahan pertunjukan, langsung dari pemilik masalah yang nantinya juga akan menjadi aktor. Mereka yang nanti mempresentasikan masalah nelayan adalah nelayan asli dalam kehidupan, misalnya. Begitu inginnya.
Nyatanya, saya diperjumpakan dengan siswa-siswi SMP dan SMA yang sudah diproyeksikan panita sebagai “pemain teater”. Mereka tentu punya masalah yang boleh jadi menarik dipresentasikan. Tapi, tentu saja, masalah khas anak remaja.
Banyak hal yang membuat pelibatan masyarakat dalam proyek teater ini terkendala. Jangankan untuk menjadi pemain, dimintai bantuan menyediakan set dan properti yang badingkut (barang yang ada diangkut) pun, banyak sekali kendala yang mengadang.
Karena kendala Sumber Daya Manusia (SDM), akhirnya yang saya kerjakan adalah riset, identifikasi masalah pokok (plus pemecahannya), menyusunnya menjadi naskah, dan memanggungkannya bersama anak-anak remaja itu. Agak melenceng dari yang saya bayangkan di awal.
Proses penyusunan naskah tidak lepas dari pengaruh dan sudut pandang panitia sebagai “yang punya hajat”. Meski punya kuasa, teman-teman panitia masih perlu banyak pengalaman untuk mengelola kegiatan semacam ini. Hal ini pula yang cukup menjadi tantangan.
Di satu sisi, inginnya saya memantulkan apa yang saya serap selama riset dengan independen. Bahkan, saya pikir tidak perlu ada pemecahan masalah di panggung. Biarlah penonton—sang pemilik masalah—memungkas teater ini di rumah masing-masing dalam permenungan yang kritis.
Tapi, independensi itu ternyata musti negosiasi. Terlebih, ada tema yang diusung: jukung. Oleh seorang seniman dari Bandar Lampung yang tahun-tahun sebelumnya terlibat dalam kegiatan ini, panitia diberi saran agar mengangkat satu tema yang mengkerucut sekaligus mengikat semua tampilan seni yang akan tersaji pada Pahawang Culture Festival 2022, termasuk teater. Karena sudah terlanjur bergeser dari metode teater pemberdayaan dalam kepala saya, yo wis lah, saya ikut saja ide itu.
Riset yang saya agendakan satu minggu dan saya bayangkan akan diantar berkeliling ke sana-kemari untuk wawancara dan melihat ini-itu, hanya ada dalam angan-angan. Tapi, menyenangkan juga melakukan sesuatu yang melenceng dari rencana awal. Ada banyak respon dadakan karena melihat situasi dan perkembangan.
Awalnya saya tidak merencanakan pertunjukan Meronce Pahawang sebagai bentuk teater yang kental dengan anasir teater rakyat. Justru cenderung lebih “grande” dengan taburan ilusi visual. Akhirnya, karena semestanya belum berjodoh, saya membuat berbagai opsi bentuk pertunjukan. Dari yang asalnya melibatkan puluhan pemain sampai akhirnya sembilan orang saja yang selamat sampai hari H. Banyak hal berada di luar kemampuan saya untuk merespon dengan baik.
Sebetulnya, ceritanya sederhana. Enam orang pemain berperan sebagai warga Desa Pulau Pahawang, satu orang sebagai Dewi Pahawang, dan dua orang sebagai wisatawan. Enam orang warga ini menyimbolkan enam dusun yang ada di sana. Mereka juga mewakili tiga profesi tradisional utama: nelayan, petani, tukang bangunan, plus seorang pelajar.
Adegan pertama menggambarkan kali pertama mereka menginjakan kaki di Pulau Pahawang dan kelahiran keenam dusun. Selanjutnya adalah gambaran bagaimana penduduk lokal mengandalkan jukung sebagai penunjang aktivitas. Lalu, dikisahkan seorang pelajar bernama Alim tenggelam karena perahunya dihantam badai ketika pulang sekolah. Ia tenggelam dan melihat indahnya dunia bawah laut Pahawang. Di sana ia bertemu dengan Dewi Pahawang, tokoh fiksi yang saya buat. Sang dewi memberi nasihat agar ia menjaga terumbu karang dan hutan mangrove.
Melihat indahnya terumbu karang, Alim terpikir untuk memberdayakannya menjadi daya tarik wisata. Ramailah Pahawang. Pariwisata maju, tapi terjadi kecemburuan sosial. Sebagian masyarakat menilai hanya mereka yang bergerak di bisnis pariwisata saja yang menikmati hasil melimpah. Sementara mereka yang masih bertahan pada profesi tradisional, hidupnya kieu -kieu baé. Mereka juga menampilkan perubahan sikap sosial: semua kini jadi serba uang.
Adegan selanjutnya, dua pelaku wisata berkelahi akibat salah paham masalah uang. Di tengah perkelahian itu, Dewi Pahawang muncul dengan marah. Diobrak-abriknya penduduk Pahawang. Diberi mereka nasihat: “Zaman tak mungkin dielakan, tapi asal muasal jangan kalian lupakan”. Mendengar nasihat itu, mereka sadar dan membangun Pahawang bersama-sama dengan pariwisata sebagai roda penggerak utama.
Cerita itu sepenuhnya saya serap selama di sana. Berkali-kali saya sampaikan, saya hanya memantulkan. Dalam arti lain, saya berupaya menjaga independensi sebagai joker, meski tidak menggunakan pola-pola Boal.
Dalam kepala saya mula-mula, meronce adalah sinergitas potensi-potensi yang ada di sana, termasuk seni dan budaya. Inginnya saya memasukan segala hal tentang Pahawang, termasuk tradisi dan cerita/tokoh mitilogis. Sayangnya, hal demikian sukar saya temukan di sana. Sebagian besar masyarakat telah melupakan hal demikian. Pariwisata membawa serta modernitas yang salah satu tangannya, kadang kala, sengaja atau tidak mengubur masa lalu.
Tadinya, cerita itu ingin saya kemas dalam bentuk yang mengalir meski teksnya fragmentatif. Namun, banyak kendala yang menyebabkan hal itu urung terwujud. Bentuk reater rakyat (tradisi/Nusantara) akhirnya menjadi juru selamat. Ada lima fragmen yang dipenggal oleh penyebutan nomor adegan oleh pemain. Saya pun berupaya membuat komunikasi dua arah dengan penonton sebagaimana umumnya teater rakyat. Tapi, pemain belum siap. Mereka yang masih muda belia itu masih perlu jam terbang lebih untuk mengasah kemampuan improvisasi.
Di panggung hanya ada satu jukung. Hanya itu saja yang statusnya sebagai set plus sebuah papan bertulisakan “I Love Pahawang” yang dimunculkan sebelum akhir pertunjukan sebagai penanda transformasi Pahawang menuju kawasan wisata. Selebihnya, pemain dibekali kain putih yang baru bisa kami gunakan H-2 setelah sekitar tiga minggu latihan efektif. Kain multifungsi, seperti gunungan dalam pagelaran wayang.
Meski didera berbagai kendala, salah satu yang menguatkan saya adalah kesetiaan Aqbar, Haikal, Dani, Tari, Safira, Intan, Sherli, Nova, dan Bella melakoni proses. Dua nama terakhir sempat pundung
gara-gara tidak mendapat porsi peran yang banyak. Tapi, akhirnya bertahan sampai akhir.
Meski anak-anak itu tinggal di sebuah pulau dengan keliling tidak lebih dari 18 kilo meter, tapi internet membuat mereka menjadi warga dunia. Sayangnya, kecepatan internet dan kecepatan pertumbuhan kesadaran literasi tidak berjalan seimbang. Ini kondisi umum di Indonesia. “ Technology ia just too fast,” kata Deddy Corbuzier dalam podcast-nya menyoal Bjorka.
Hal yang sama juga saya rasakan terjadi di bidang lain. Pahawang mengalami percepatan yang luar biasa, yang boleh jadi mengejutkan sebagain besar warganya, seiring berkembangnya bisnis pariwisata. Rumah-rumah panggung berganti tembok permanen lengkap dengan pendingin ruangan. Itu bukan bukan gaya, melainkan kebutuhan pariwisata: home stay.
Sebagaimana di kawasan wisata alam lain, sebagian tanah sudah bukan lagi milik penduduk lokal. Mereka menjualnya ke investor demi pengembangan pariwisata. Kini, sebagian besar warga berkerja di lingkaran ekosistem pariwisata: pemandu; penjaga/pengelola spot snorkeling/diving; jasa perahu; pengelola dan juru masak di home stay/vila/resort; dan lain sebagainya.
Andai tidak terpatok pada jukung, saya ingin bicara banyak hal dengan lebih gamblang. Namun, tetap dalam koridor cermin: realitas panggung adalah realitas faktual-kreatif sebagaimana mestinya. Bahkan, sekali lagi, tidak perlu ada kemestian di panggung. Biarlah teater dituntaskan di rumah masing-masing dalam sebuah permenungan kritis.
Berhasil atau Tidak?
Relatif sekali jawaban atas sukses atau tidak. Tergantung indikatornya. Harus saya akui bahwa pertunjukan berlangsung dengan tergopoh-gopoh. Kondisi penonton yang membludak dan tidak terkendali; banyak manajer panggung dadakan; protokol Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang bikin dongkol adalah beberapa penyebab eksternal yang membuat pertunjukan Meronce Pahawang
lumayan amburadul dari segi teknis (yang sebenarnya cukup berdampak pada suasana dramatis).
Untungnya, pesan pertunjukan masih relatif terjaga sampai ke penonton. Mudah-mudahan demikian.
Saya senang menyaksikan anak-anak bermain teater usai melakoni proses yang mungkin bagi mereka cukup melelahkan, menjemukan, dan panjang. Mereka yang sama kali belum pernah menonton teater, asing pada teater, akhirnya berteater juga. Permainan mereka sebagai aktor (yang baru pertama menginjakan kaki di panggung) patut diacungi jempol. Meski di awal gugup dan banyak lupa, mereka mampu menyelesaikan latihan dengan “selamat” dalam kondisi didera kendala teknis yang belum pernah mereka temukan ketika latihan.
Lalaku satu bulan di Desa Pulau Pahawang, Kecamatan Marga Punduh, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung selama Agustus 2022 adalah pengalaman luar biasa. Banyak hal yang berjejak pada diri saya, bahkan sampai saat ini.
Bravo Intan, Sherli, Tari, Safira, Haikal, Dani, Aqbar, Noval, Bella. Terima kasih kepada semua tema-teman yang telah membantu di panggung (Bang Sendy, Bang Diantori, Mas Cahyo, Bang Rohman, Alaexandro, Taufik, Wisnu, dan lain-lain) maupun di luar panggung (Pak Kades Salim, Bang Nurul, Hendi, Hijrah, Acil, Pak Kadus Kalangan, Pak Katimin, Pak Sugih, Mang Tafsir, Bunda Iyung, Rita, Asep, Bang Bogel, Bang Nas, Abah Sugiri, Bu Kadus Jelarangan, Uda Arif, Helda, Faisal, dan lain-lain).
Maaf, tidak bisa saya sebut satu per satu.
Terima kasih Pahawang.