Minggu, 27 Desember 2020

Takut

 

Tidak ada masalah dengan takut sebelum ia dimanipulasi, sebelum takut-takut palsu diciptakan.. Takut berjasa besar melestarikan spesies homo sapiens. Tanpa takut, mustahil manusia mampu lestari hingga kini.

 

Karena takut, manusia mencari perlindungan. Melihat dahsyatnya angin, lebatnya hujan, hewan buas, dan sekian fenomena alam yang mengerikan, yang menimbulkan rasa takut, manusia berlindung di gua-gua, di rumah, atau di mana saja sejauh ia merasa aman.

 

Takut selalu memiliki objek. Artinya takut selalu datang beserta hal/objek yang ditakuti. Mati adalah takut paling purba dan berlaku untuk semua mahluk hidup. Mati adalah kondisi “non-ada”, sesuatu yang amat sangat ditakuti segenap spesies.

 

Manusia tidak meminta dirinya “ada” dan “meng-ada”. Namun, toh manusia “ada” juga. Dari mana asal “ada”, mau ke mana “ada”, dan ada apa setelah “non-ada” jadi salah satu misteri terbesar dalam hidup manusia. Mati jadi sumber takut karena manusia tidak memiliki pengetahuan tentangnya dan setelahnya. Tentang ada apa setelah mati. Takut bisa lahir dari ketidaktahuan atau sebaliknya, karena saking tahunya. Manusia tidak memiliki pengetahuan prihal mati, prihal ada apa setelah mati. Karena tidak tahu maka takut.

 

Dalam hal ini agama memberi bocoran ada apa setelah mati. Ada kehidupan setelah mati. Ada “ada” setelah “non-ada”. Mati, sebagaimana lahir, hanya gerbang menuju fase hidup selanjutnya. Karena diberi bocoran, takut mati sedikit berkurang. Sebagian malah tidak takut sama sekali. Justru diburu. Memburu mati. Mati yang mulia.

 

Tapi bocoran eskatologis agama tidak memuaskan semua pihak. Takut masih tetap menggelayut.  Filsafat tidak puas. Para pemikir berupaya mencari jawaban sendiri. Demikian pula para ilmuwan. Tiap-tiap mereka berpegang pada ajaran “ada” dan “meng-ada” yang boleh jadi berbeda-beda.

 

Satu hal yang mempersatukan mereka tentang “ada” adalah bahwa bagaimanapun penjelasan prihal “ada” itu, kendatipun setelah diberi bocoran oleh agama, manusia, pada dasarnya, takut “non-ada”, takut non-eksis.

 

Takut mati adalah naluri tiap-tiap mahluk hidup. Untuk alasan itulah mahluk hidup terus berusaha mempertahankan kelangsungan spesiesnya; tumbuh dan berkembang; tetap dan terus mencari makan, berlindung dari bahaya, dan berkembang biak.

 

Sampai pada titik tertentu, takut berfungsi sebagai pelestari spesies. Ketakutan terhadap mati telah mendorong manusia dan semua spesies untuk bertahan hidup. Hewan-hewan memiliki insting kuat untuk sembunyi, kabur, melawan, atau mengelabui pemangsanya. Atau memangsa dengan segala cara demi kelangsungan hidup. Karena tidak memiliki akal yang berkembang seperti manusia, Tuhan melengkapi hewan dengan berbagai macam kemampuan unik untuk bertahan hidup selaras dengan bentuk tubuh dan habitatnya.

 

Sebatas demi kelangsungan hidup dan melindungi diri bahaya alamiah, takut berperan sangat penting. Sampai saat ini, pada kelompok spesies lain selain manusia, takut masih tetap seperti itu. Dan tidak ada masalah dengannya.

 

Mati adalah pasti. Secara alamiah, tua adalah tangga kematian. Kecuali itu, sakit dan luka juga. Karena manusia takut mati maka segala yang mendekatkan manusia pada mati dijauhi, dihindari, dilawan. Kalau perlu dimusnahkan sama sekali.

 

Entah sejak kapan tua ditakuti. Entah sejak kapan manusia-manusia menghindari atau mengatasi keriput dan uban sebagai tanda lanjut usia. Apa benar Cleopatra yang mashur itu minum jamu awet muda, mengolesi tubuhnya dengan ramuan anti-aging, mengenakan wig hitam, atau mengecat rambutnya? Entahlah.

  

Tua adalah pasti. Sepasti, seniscaya, mati. Tapi sakit dan luka tidak. Ia tidak musti, melainkan  potensial terjadi pada manusia. Oleh karenanya, sakit dan luka dapat dihindari. Kalau sudah terlanjur, maka dengan segala cara harus dimusnahkan. Diobati. Dipulihkan. Manusia harus pulih seperti sedia kala, harus jauh dari mati.

 

Sebab mati adalah takut paling utama, maka segala hal yang menarik manusia mendekati mati haruslah dijauhi, termasuk sakit dan luka. Tubuh mesti kembali ke “ada” yang sempurna, yang tanpa sakit, yang tanpa luka. Yang jauh dari mati.

 

Atas dasar itu ilmu medis berkembang. Di semua kebudayaan, dari yang terkecil, sederhana, dan acap kali disebut primitif, yaitu suku-suku di pedalaman hutan atau pulau terpencil, sampai peradaban besar, kompleks, dan paling maju di metropolis-metropolis, dukun/shaman/tabib/dokter atau sebutan lainnya selalu ada. Tugas utama mereka, pertama-tama sekali adalah memulihkan tubuh lahir atau batin, fisik dan/atau psikis, dari sakit dan luka, agar jauh dari mati.

 

Menjauhkan mati dari “aku” yang lain, yaitu keluarga, kerabat, atau anggota komunitas masih dapat digolongkan alamiah. Bukan cuma manusia yang melakukannya, tiap-tiap hewan sosial juga melakukan hal yang sama.

 

Pada titik ini, “aku” mengalami perluasan. Yang “aku” bukan hanya “aku-diri-yang-aku-sadari”, melainkan “aku-yang-lain” sejauh “aku” mengidentifikasi dan menyadarinya sebagai “sama”. Kesadaran sosial macam ini adalah khas manusia dan hewan-hewan sosial macam kera, singa, serigala, dan lain sebagainya.

 

Pada hewan, takut berhenti pada menjauhi mati meski mati adalah pasti. Tapi tidak demikian dengan manusia. Takut tak berhenti sampai di sana. Ia berkembang terus sejalan dengan perkembagan akal budi dan peradaban manusia.

 

Setelah takut mati, lalu sakit dan luka, kemudian takut tua, manusia takut kehilangan harta. Hal ini muncul sejalan dengan lahirnya konsep hak milik dan harta benda. Manusia memperluas lagi “aku” tak hanya sebatas “tubuh fisik”, tak hanya nyawa, tak hanya “hidupku”, melainkan “benda di luar tubuh dagingku adalah milikku”, adalah “aku”. Oleh sebab demikian, benda-benda “milikku” dipertahankan sebagaimana “aku” sebab “ke-non-ada-an benda adalah ke-non-ada-an aku”.

 

Setelah hinggap di benda-benda, termasuk tanah, sumber air, dan sumber makanan lainnya, takut menclok di kepala. Kemampuan manusia mengolah gagasan tanah air, bangsa, harga diri, martabat, kehormatan, dan hal-hal abstrak semacam itu membawa serta takut dalam dirinya.

 

Takut harga diri diinjak-injak. Takut martabat dan kehormatan dilecehkan. Takut bangsa dan tanah airnya “tercemar” oleh bangsa lain. Dan ratusan takut lain yang merupakan kawanan atau turunan dari takut-takut semacam itu lahir dan terus berkembang hingga kini.

 

Ketika manusia mulai menyadari dahsyatnya kekuatan takut, mereka mulai mengelolanya demi tujuan-tujuan tertentu. Pada titik ini, lahirlah apa yang sekarang kita kenal dengan ancaman. Ancaman adalah menakut-nakuti. Membuat orang lain takut. Menghantarkan objek takut mendekati subjeknya  demi suatu tujuan pihak yang menakut-nakuti.

 

Pada dasarnya ancaman bukan sesuatu yang buruk. Tuhan juga mengancam manusia. Tujuannya demi kebaikan manusia sendiri. Sama sekali bukan untukNya. Tuhan tak butuh apa pun dari siapa pun.

 

Manusia meniru Tuhan dalam hal ancam-mengancam. Demi apa? Tidak seperti Tuhan yang mengancam demi kebaikan yang diancam, manusia mengancam demi keuntungan atau tujuan si pengancam. Itu bedanya. Pasti beda walau meniru sekuat tenaga. Tuhan tak mungkin disamai oleh apa pun, oleh siapa pun.

 

Ketika otoritas manusia mengejawantah dalam suatu tatanan sosial, pada saat itu, takut tidak lagi hanya menjadi sumber tenaga dan inspirasi untuk melindungi “diri” (konkret/fisik/daging maupun abstrak). Takut telah disadari kekuatan dahsyatnya. Oleh sekelompok orang, sebut saja otoritas, takut dikelola sedemikian rupa.   

 

Takut dijadikan senjata. Wujud nyatanya adalah ancaman. Lebih rendahnya adalah gertakan. Karena sama-sama manusia, maka manusia kelompok A tahu bahwa manusia kelompok B juga takut mati, sakit, luka, kehilangan harta, sama seperti dirinya. Maka sumber takut itu didekatkan padanya. Ancaman.

 

“Jika kau …., maka aku akan …..”, “jika kau ….., maka aku tak akan….”, “jika kau tak…, maka aku akan ….”, “jika kau tak …., maka aku tak akan…..”, demikian rumusan preposisinya. Ancaman selalu berupa preposisi implikatif.

 

Semua hukum dan undang-undang di seluruh dunia sejak sebelum Masehi hingga kini berisi ancaman. Kodex Hammurabi, hukum tertulis pertama di dunia, seluruhnya merupakan ancaman hukuman, disajikan dalam preposisi implikatif “jika…. maka….”.

 

Aturan selalu beserta ancaman hukuman bagi pelanggarnya. Dalam bahasa lain disebut sanksi. Di mana pun. Kapan pun. Negara berdiri di atas dan dengan segenap ancaman. Otoritas mengatur manusia dengan ancaman. Takut dikelola sedemikian rupa demi tercapai suatu keteraturan. Demikianlah negara. Demikian otoritas, dalam bentuk apa pun.

 

Setelah negara, termasuk politisi di dalamnya, pemilik modal adalah entitas lain yang lebih cerdas mengelola takut. Boleh jadi yang paling cerdas. Untuk secara efektif dan tepat mengelola takut, pertama-tama mereka membiaskan kebutuhan dan keinginan manusia.

 

Apa yang dibutuhkan terkadang tidak selamanya adalah apa yang diinginkan. Sebagian—untuk tidak mengatakan kebanyakan—manusia tidak tahu apa yang ia butuhkan. Muasalnya karena ia tidak secara baik dan mendalam mengenal “aku”. Akibatnya, kebutuhan dan keinginan acap kali bias (seperti opini dan fakta). Tertukar tanpa niat dan sengaja karena ketidaktahuan. Karena kebodohan. Atau dengan niat dan sengaja ditukar oleh pemilik modal. Atau otoritas. Atau siapa saja yang mau.

 

Kebutuhan adalah bagian konkret dari “aku”. Ke-non-ada-annya menyebabkan “aku” bukan “aku” atau setidaknya menyebabkan kondisi “aku” tidak prima sebagaimana “aku” seharusnya. Pada titik tertentu bahkan dapat mendekatkan mati.

 

Ketika kebutuhan terpenuhi, hidup menjadi pas. Cukup. Tidak kurang tidak lebih. Makan yang disarankan agama dan ilmu pengahuan yang jujur adalah makan yang cukup. Pas untuk keberlangsungan hidup yang prima.

 

Demikian pula seks, perlindungan diri dari bahaya, martabat, harga diri, harta, seni, dan segala hal dalam hidup, agama dan ilmu pengetahuan yang jujur menganjurkan berhenti pada cukup. Tetapi hasrat manusia menghendaki lain.

 

Tidak seperti hewan, manusia berpotensi untuk hidup lebih dari cukup. Inilah keinginan. Keinginan tidak selamanya berarti dan tidak sama dengan kebutuhan. “Lebih dari cukup”, dengan segala keburukannya, adalah pendorong lahir dan majunya peradaban.   

 

Jika merasa cukup dengan surat menyurat dan tidak menginginkan lebih dari itu, mustahil telepon dan internet dengan segala keajaibannya lahir. Jika merasa cukup dengan kereta kuda dan tidak menginkan lebih dari itu, tidak mungkin kereta api, mobil, pesawat terbang, dan mode transportasi moderen lainnya diciptakan. Jika memulihkan sakit dan luka di rasa cukup demi kelangsungan hidup, ilmu medis dan kesehatan tidak akan mengenal bedah estetis. Juga tidak akan ada hal yang bernama binaraga.

 

Keinginan adalah mengenai lebih. Memakan daging sapi panggang dirasa cukup mengenyangkan dan nikmat. Namun, lebih nikmat jika ….. Berhubungan seks dengan pasangan sah sudah cukup. Namun, lebih asik jika….

 

Dari keinginan hal ihwal makan saja, muncullah jutaan restoran dan perusahaan pembuat alat-alat masak. Berkembanglah ilmu masak-memasak lengkap dengan sekolahnya. Dari soal berhubungan seks, muncullah bisnis prostitusi yang kemudian melahirkan sekian banyak profesi turunannya.

 

Baik ingin maupun butuh sama-sama mengandung takut, yaitu takut tidak terpenuhinya kebutuhan dan takut tidak tergapainya keinginan. Apa yang terjadi jika tidak terpenuhi dan tidak tergapai? Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan disharmoni hidup secara nyata. Konkret dan seketika itu juga terjadi. Mental, fisik, individual, maupun sosial acak-acakan. Akan menyebabkan “ada” yang tidak prima. Sakit. Hidup jadi kacau.

 

Perlindungan dari bahaya adalah kebutuhan. Jika tidak terpenuhi, mental akan kacau sebab ketakutan tidak teratasi. Tubuh daging juga terdampak. Apa yang terjadi jika seorang manusia, tanpa busana,  tiap hari terpapar sinar matahari dan kehujanan? Apa yang terjadi jika seorang manusia tidak makan dan minum selama tiga puluh hari?

 

Dengan beberapa pengeculian seperti yang dilakukan sejumlah mistikus dan spiritualis, kebutuhan yang tidak terpenuhi, pada akhirnya, akan mendekatkan mati, mendekatkan kondisi “non-ada”, yaitu takut paling purba dan eksistensial.

 

Tapi tidak demikian dengan keinginan. Dampak paling nyata dari tidak tercapainya keinginan adanya dalam pikiran. Abstrak. Berupa emosi-emosi dan perasaan: sedih, marah, kecewa, stress. Semua itu pasti berdampak pada hidup, mirip dengan kebutuhan. Bedanya, keinginan dapat diatasi bukan hanya dengan menggapainya, melainkan juga dengan mengatasainya dalam pikiran.

 

Keinginan sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Up to us, kata orang-orang Stoisisme. Dapat diubah kapan saja. Kebutuhan tidak demikian. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, manusia butuh makan, misalnya. Hal demikian diluar kuasa manusia sebab merupakan hukum Tuhan demi hidup manusia yang cukup. Yang pas.

 

Pemilik modal paham betul prihal takut pada kebutuhan dan keinginan. Takut dalam rupa ini dijadikan bahan bakar utama menggenjot kontinuitas produksi. Barang selalu dibuat. Terus, tanpa henti.

 

Demi keuntungan yang berlipat, ingin dan butuh ditukar-biaskan. Setelah pandanganya kabur,  manusia dimanupasi agar selalu menghendaki lebih. Dari sini keuntungan ekstra di dapat. Mengandalkan penjualan kebutuhan hingga terpenuhi kebutuhan saja tidaklah menjamin pabrik terus beroperasi.

 

Keinginan harus dipupuk terus. Lagi dan lagi. Lebih dan lebih. Kalau perlu menciptakan keinginan-keinginan artifisial yang kemudian menyusup ke alam batin menjadi seolah kebutuhan. Ya, kebutuhan palsu.

 

Agar nampak nyata, para pemilik modal menciptakan semesta yang kompatibel dengan kebutuhan palsu itu. Apakah manusia benar-benar butuh untuk pergi ke bulan? Apakah manusia benar-benar butuh akan batuan yang ditambang dari bulan?

 

Pemilik modal mengatakan butuh sebab energi tak terbarukan yang ada di bumi akan habis.  Kebutuhan itu dilegitimasi oleh negara dan ilmu pengetahuan yang tidak jujur, yang sepenuhnya didanai pemilik modal. Padahal kebutuhan manusia untuk hidup cukup dan pas, untuk mengatasi takut yang mendasar, tidak demikian adanya.

 

Jika bumi sudah demikian keropos, kenapa tidak berhenti mengebor dan kembali ke cara-cara kuno dalam mengelola hidup, bumi dan energi? Atau menciptakan cara baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan yang jujur, bukan keinginan?

 

Contoh yang lebih dekat: apakah belanja, membeli suatu barang yang ada di warung tetangga, benar-benar membutuhkan toko daring (online shop)? Apakah membeli telepon pintar ter-update dari merek dagang tertentu adalah kebutuhan? Apakah murid-murid benar-benar membutuhkan kursus daring? Apakah asuransi benar-benar kebutuhan hidup? Dapatkah “aku” prima tanpa asuransi, tanpa telepon pintar ter-update dari merek tertentu, tanpa kursus daring? “Akankah mati mendekatiku bila aku tidak memenuhi atau menggapai semua itu?”

 

Daftar pertanyaan itu bisa diperpanjang. Dan tiap pertanyaan dengan sendirinya mengandung takut.  Kebutuhan palsu dalam dirinya sendiri membawa takut palsu. Takut yang tidak mendasar, yang sama sekali jauh dari takut paling eksistensial: takut tidak update, takut ketinggalan gosip, takut tidak gaul, dan jutaan takut yang lain.

 

Demikialah takut.


sumber gambar:

https://www.flickr.com/photos/arakrune/5214097092/

Senin, 09 November 2020

Teater Masa Darurat

 

Seni pertunjukan lumpuh. COVID-19 menghajarnya habis-habisan. Gara-gara pelarangan berkumpul, berkerumun, dan anjuran di rumah saja, banyak pertunjukan diundur. Atau dibatalkan.[1] Sebagai alternatif di masa darurat, banyak pihak menyelenggarakan “seni pertunjukan daring (dalam jaringan)”.

 

Macam-macam ragamnya. Bakti Budaya Djarum Foundation menyelenggarakan #NontonTeaterDiRumahAja lewat kanal YouTube Indonesia Kaya. Pertunjukan teater yang pernah dipentaskannya “diputar ulang”. Bunga Penutup Abad (naskah/sutradara: Wawan Sofwan) yang merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia-nya Pram,[2] Citraresmi (naskah: Toni Lesmana, sutradara: Wawan Sofwan),[3] dan Nyanyi Sunyi Revolusi (naskah: Ahda Imran, sutradara: Iswadi Pratama)[4] adalah beberapa nomor yang disiarkan dalam program tersebut.

 

Tanda pagar #pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah marak sejak masa pandemi. Kemenparekraf membuat program Pentas Di Rumah: seniman-seniman dapat mengunggah karya pertunjukannya ke Instagram dengan ketentuan tertentu.[5] 200 karya terpilih akan dapat apresiasi. Selama rentang waktu 7 – 15 Mei 2020 telah ada 1.625 karya yang terdaftar.[6]

 

Apakah seni pertunjukan daring semacam itu adalah masa depan yang niscaya bagi teater? 

 

***

 

Seni selalu berkembang. Bentuk dan isinya berubah-ubah. Kebaruan adalah hal yang selalu dikejar  seniman, salah satunya. Karena ingin baru, batas kadang dilabrak. Dilanggar. Ditabrak. Teater dan tari, batasnya sudah tidak jelas. Dengan seni rupa, dengan musik, dengan sastra, dengan film, juga begitu. Akademisi seni coba merumuskan. Membuat formula dan definisi, tapi seniman seringnya bandel. Ingin lebih dari itu. Ingin melampaui definisi yang baru kemarin sore dibuat para profesor seni.

 

Dalam kondisi saat dan pasca pandemi, semua hal terkoreksi. Hampir semua bidang kehidupan meredefinisi diri. Dengan gerakan #pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah, teater juga—terpaksa atau dengan sukarela—mengoreksi dirinya.

 

Sejauh ini, sebagaimana yang telah dicontohkan di muka, pentas di rumah sangat mengadalkan teknologi digital dalam praktiknya. Dalam konteks wacana, ada beberapa persoalan untuk “me-daring-kan” teater.

 

Menonton teater umumnya pergi ke gedung pertunjukan. Atau di jalanan. Atau di mana saja sejauh  ruang itu disepakati sebagai panggung. Pada praktiknya, teater itu luwes. Panggung itu jangan diartikan sempit sebagai bidang tertentu berukuran sekian kali sekian kali sekian dengan kelengkapan ini dan itu. Itu hanya salah satu wujud panggung. Sejatinya, panggung adalah ruang eksistensi, ruang meng-ada, pertunjukan. Di mana pertunjukan itu exist, di sanalah panggung.

 

Sejatinya, panggung juga tidak permanen. Ia sementara saja. Panggung (stage) hanya exist, hanya meng-ada, ketika pertunjukan berlangsung, ketika pertunjukan meng-ada juga. Setelah pertunjukan usai, ia balik menjadi tempat (place).

 

Jika turut pemahaman ini maka menjadikan (halaman, teras, kamar) rumah sebagai panggung tidak menjadikan pertunjukan itu batal sebagai teater. Sah-sah saja. Unsur ke-panggung-an teater tidak gugur hanya karena pertunjukan itu tidak digelar di tempat pertunjukan seni yang khusus, yang ekslusif.

 

Teater (Di Rumah) Bukan Film

Yang dimaksud pentas (teater) di rumah, seharusnya, bukan membuat film. Menonton teater daring juga semustinya tidak jadi nonton film. Meski ia sama-sama direkam, mematut diri di depan kamera, dan ditonton “tidak secara langsung”, namun ada beda mendasar antar keduanya.

 

Sebut saja, misalnya, penyuntingan. Dalam film, setelah adegan “diambil”, ia lantas akan disunting: dipotong-sambung, disisipi musik, efek visual (jika diperlukan), dan lain sebagainya. Beberapa adegan mungkin dibuang jika, akhirnya, dinilai kurang pas.

 

Penyuntingan film menentukan dari sudut mana dan dari jarak seberapa adegan akan diperlihatkan pada penonton. Apakah close up, long shot, over shoulder shot, atau apa? Penonton tidak bisa memilih mau nonton bagian mana. Kedaulatan penonton untuk memilih sudut dan fokus sudah dimandatkan pada kameraman dan penyunting.

 

Nah, hasil suntingan itulah yang ditonton penonton sebagai karya seni rekam yang final bernama film.

 

Teater tidak demikian. Adegan dibuat, dipotong-sambung, dikoreksi, disisipi musik, tegasnya disunting ketika latihan. Jika ada unsur efek visual, pada latihan pula ia diadakan, diuji-cobakan. Hasil dari latihan sekian panjang dan melelahkan itu kemudian dipertontonkan pada penonton secara langsung.

 

Penonton dengan sangat merdeka boleh memilih mau fokus melihat bagian mana dari adegan yang sedang berlangsung. Bila ada lima orang di panggung dengan satu orang yang sedang bermonolog, penonton tidak harus fokus pada tokoh  yang sedang berbicara itu. Suka-suka penonton saja. Boleh jadi penonton A lebih tertarik memperhatikan respon tokoh lain yang sedang menyimak ketimbang si pembicara itu sendiri. Sedang penonton B lebih senang memperhatikan business-acting si pembicara daripada apa yang ia ucapkan.

 

“Fokus dan jarak pandang” inilah yang, salah satunya, membedakan film dan teater secara mendasar. Hal ini akan mempengaruhi, misalnya, akting (pemeranan realis). Karena adanya jarak pandang dari penonton ke panggung dan tidak mungkin memperbesar visual tertentu sebagaimana dalam film, maka akting teater cenderung mengalami proyeksi, pembesaran.

 

Jika di depan kamera, dengan pengambilan gambar close up ke wajah, lirikan mata ketika mendengar dering telepon, umpamanya, sudah cukup sebagai respon. Dalam (akting) teater, lirikan mata tersebut tidak akan terlalu nampak, apalagi oleh penonton yang duduk di barisan belakang. Maka respon semacam itu  bisa pula dikuatkan (diproyeksikan) dengan tolehan wajah.

 

Menonton video pertunjukan teater dalam program #NontonTeaterDiRumahAja lebih mirip menonton film. Adanya perubahan gambar, perubahan shot, persis film. Kenapa tidak memilih long/wide shot saja sepanjang pertunjukan, agar tampak seluruh panggung? Cukup satu kamera sebagai “wakil” mata penonton. Bukankah itu asyiknya nonton teater?

 

Memang, dengan pesatnya kemajuan teknologi, batas antara seni A dan seni seni B jadi kabur. Pertunjukan teater sudah sedemikian bermacam-macam. Efek visual menggunakan teknologi proyektor atau yang umum disebut video mapping sudah lazim digunakan dalam pentas-pentas teater. Musik pun sudah banyak yang tidak dimainkan secara langsung. Rekaman. Tinggal klik, musik nyala. Fade in dan fade out-nya dikontrol lewat laptop atau mixer sound.

 

Namun, meski ditunjang pelbagai teknologi canggih, teater tetap saja lain dengan film. Selain persoalan “fokus dan jarak pandang”, hal lain yang membedakannya adalah cara menontonnya.

 

Cara Menonton Teater

Dalam pandangan konvensional, menonton teater via gawai atau komputer sejatinya bukanlah “menonton teater”. Yang ditonton adalah dokumentasi pertunjukan teater. Menonton teater adalah menyaksikan secara langsung segala peristiwa yang terjadi di panggung. Dalam konteks pertunjukan teater, terjadi mengandung beberapa variabel: sekarang, di sini, dan sementara.

 

Jika tidak sekarang, tidak langsung pada saat itu, artinya ada delay atau jeda antara saat berlangsungnya peristiwa (adegan) dan saat diindranya peristiwa tersebut oleh penonton, maka gugurlah satu variabel menonton teater.

 

Jika penonton dan yang ditonton tidak berada di ruang yang sama, bukan nonton teater namanya. Menonton teater itu, antara penonton dan yang ditontonnya musti berada “di sini”, di ruang yang sama, ruang pertunjukan.

 

Dan jika pertunjukan itu bisa diputar-ulang kapan saja, jelas namanya seni rekam. Film. Menonton teater itu sekali habis. Tidak ada siaran ulang. Meski pentas berkali-kali, tiap pertunjukan mewaktu pada saatnya sendiri. Pentas hari ini, ya, hari ini. Lain dengan yang kemarin meski lakon dan pemainnya sama. Bahkan meski penontonnya sama.

 

Karena teater dimainkan dan ditonton secara langsung (live), secara  “hidup (live)”,  maka ia terus menerus terikat dimensi waktu. Tidak final sebagaimana film. Ia me-waktu. Bagi teater waktu adalah salah satu media ekspresi.

 

Karena ke-me-waktu-an-nya—sebagimana waktu—maka pertunjukan teater bersifat sementara. Lain dengan seni rupa, sastra, film, dan musik yang mana karya sang seniman “membeku” pada medianya (lukisan, patung, desain; tulisan; gambar bergerak (motion pictures); bunyi (yang direkam)), teater dan tari tidak demikian. Seperti sungai, meski melewati kelok yang sama, air yang lewat detik ini bukan air yang lewat satu detik yang lalu.

 

Tapi, dengan kemajuan teknologi digital, tiga hal tersebut, yang selama ini dianggap “keunikan” teater, agaknya akan terkoreksi juga.

 

Tentang “langsung”, kini dimungkinkan “siaran langsung” di berbagai macam aplikasi media sosial. Akting para aktor, “peristiwa panggung”, bisa langsung diindra seketika itu. Kelompok teater Artery Performa melakukan “siaran langsung” itu baru-baru ini.[7]

 

Tentang “di sini”, definisi ruang bisa terkoreksi seiring berkembangnya teknologi digital. Ruang tidak lagi musti entitas fisik yang bisa diindra. Ruang, maknanya, berkembang menjadi ruang maya. Berjumpa di Zoom Meeting, IG Live, video conference, dan hal semacamnya bisa juga dimaknai berjumpa di “ruang yang sama”: ruang maya.

 

Dinding, atap, serta lantai yang biasanya menjadi batas ruang berubah menjadi alogaritma rumit yang “membatasi” satu ruang dan data digital dengan hal serupa lainnya. Bedanya, ruang maya menjadi “ruang antara”, tempat perjumpaan tontonan dan penonton, ruang mediasi.

 

Dalam pertunjukan luring (luar jaringan), konvensional, tidak ada ruang antara. Ruang pemain, ruang peristiwa, ruang adegan, adalah ruang yang sama dengan ruang yang “dialami” penonton. Meksi ada jarak (fisik) antara pemain (di panggung) dan penonton (di kursi atau tempat menonton), namun sejatinya tidak ada “ruang antara”. Pada dasarnya penonton tidak membutuhkan media lain selain dirinya sendiri untuk “mengalami’ peristiwa teater itu.

 

Meski demikian, variabel “di sini” masih dipertahakan sebab baik (tubuh virtual) pemain maupun (tubuh virtual) penonton berjumpa dalam ruang yang sama, dalam “di sini” yang sama.

 

Lantas bagaimana dengan kesementaraan? Teknologi “siaran langsung” itu memungkinkan suatu tayangan tidak dapat disaksikan kecuali hanya pada saat itu.

 

Tiga variabel kekhasan menonton teater itu lambat laun agar diredefinisi, secara terpaksa atau sukarela.

 

Namun, meski sedemikian digitalnya teater di masa pandemi ini, satu hal, barangkali, yang tak kunjung tergantikan: tubuh. Tentu saja tubuh dengan segala kompleksitas dan dinamikanya.

 

Ke-Daging-An Yang Tak Ter-Virtual-Kan

Beralihnya aktivitas manusia ke dunia digital sejatinya bukanlah migrasi tubuh, melainkan transformasi. Bukan saja berpindah tempat (trans-migrasi) namun berubah bentuk (trans-formasi). Tubuh daging ini di-enkode menjadi alogaritma, di-avatar-kan menjadi tubuh virtual di dunia maya. Tidak ada sensasi ke-daging-an. Dingin. Kaku. Tubuh tanpa darah, daging, tulang, dan kulit; tubuh tanpa “realitas”.    

 

Bagaimana nasib teater-teater tradisional, teater komunal, teater yang “dialami”, yang mensyaratkan ke-daging-an itu sebagai bagian tak terpisahkan dalam pertunjukannya? Bagaimana Grebeg Mulud di Yogyakarta harus di-virtual-kan, tanpa ada perjumpaan fisik? Bagaimana kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis dan Pangandaran, Jawa Barat, akan tetap meng-ada, exist, dalam “ruang antara” dunia maya?

 

Dalam teater tradisional—dan lebih luasnya seni pertunjukan tradisional—sejatinya, tidak ada penonton dan yang ditonton dalam konteks relasi subjek-objek. Kesenian tradisional beralaskan kesadaran kosmologis bahwa seni pertunjukan—sebagaimana segala bentuk kesenian—adalah sesembahan, adalah ritual. Upacara.

 

Alih-alih membuat dikotomi pemain dan penonton, dalam teater tradisional yang ada adalah pembagian tugas: siapa yang bermain dan siapa yang menonton permainan. Keduanya nyawiji dalam suatu harmoni kosmologis.     

    

Dengan kesadaran relasi harmoni semacam itu, menonton adalah mengalami. Pertunjukan itu dialami oleh siapa siapa saja yang hadir “langsung, di sini, dan sementara” itu. Mengalami teater semacam itu tidak bisa di-virtual-kan sebab mengalami berarti melibatkan seluruh kualitas tubuh, lahir batin.   

 

Apakah pentas di rumah dan kegiatan sejenisnya mampu mengakomodir hal semacam ini? Sejauh ini, tidak. Dan semoga saja bentuk-bentuk “seni pertunjukan daring” ini hanyalah sementara, hanya teater masa darurat.

 

Normal Baru? Ah, selama masih ada penjarakan fisik, mengalami teater masih dalam kenangan. Apakah Normal Baru akan turut serta me-normal-baru-kan teater tradisional atau justru perlahan menghabisinya?

 

Entah. Semoga tidak.

 

Panjalu, 28 Mei 2020



[7] https://mediaindonesia.com/read/detail/303100-orang-orang-yang-dijemur (diakses pada 28 Mei 2020 pukul 23.20 WIB)

keterangan gambar: pentas virtual Gardu Teater berjudul Covid The Killer.

Jumat, 04 September 2020

Merawat Kendaraan

 

Menggunakan teater sebagai kendaraan pengantar pesan bukanlah sesuatu yang keliru. Dalam budaya Nusantara, karya seni tidak bisa sepenuhnya merdeka tanpa beban makna. Dengan sendirinya karya adalah wadag makna atau kendaraan pengantar pesan. Ia mustilah mengandung makna di luar dirinya sendiri. Merahnya sekujur tubuh Rahwana dalam wayang golek, misalnya,   mengandung makna (baca: pesan) selain merah itu sendiri. Merah Rahwana adalah amarah, angkara murka, keserakahan, dan hal semacam itu.

 

Seni—dan tentu saja teater—di era moderen tidak selalu demikian adanya. Dipengaruhi perkembangan filsafat dan seni di bagian bumi Barat, semangat dan upaya seni moderen untuk membebaskan diri dari beban makna meluas ke seatero planet. Karya seni bisa lahir dan hadir secara bebas tanpa beban makna di luar dirinya sendiri. Sehelai kain merah yang muncul dalam sebuah adegan pertunjukan teater tidak harus mengandung makna amarah, nafsu, komunisme, darah, partai politik tertentu, atau apa saja di luar dirinya sendiri. Bisa dan boleh saja ia tak berarti apapun kecuali dirinya sendiri: kain merah. Dirasa mencukupi cita rasa estetis sang sutradara adalah  alasan yang sudah lebih dari cukup untuk kain merah itu lahir dan hadir di panggung.

 

Namun, sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini, menggunakan teater sebagai wadag makna, kendaraan pengantar pesan, bukanlah sesuatu yang keliru. Yang (setidaknya menurut saya) keliru adalah mengabaikan kendaraan itu karena terlalu berorientasi pada tujuan. Kepentingan hasil mengalahkan kekhusukan berproses.

 

Ngomong-ngomong tentang kendaraan, saya bukan tipe orang yang telaten merawat kendaraan. Motor Honda Karisma tunggangan saya, kalau saja dia bisa bicara pasti sudah mengeluh sakit ini sakit itu, minta ini minta itu.

 

Bulan lalu, tiap kali ia saya tunggangi, jalannya tidak pernah lancar. Perilakunya seperti kehabisan bensin padahal tanki masih penuh. Usut punya usut, ternyata sistem kelistrikannya yang bermasalah. Hal itu saya ketahui setelah bolak-balik ke bengkel, ganti ini ganti itu. Montir sampai  keheranan menangani motor saya. Penyakit yang dideritanya terbilang langka. Biaya pengobatannya yang terbilang mahal buat kantong saya jadi sebab mengapa hingga saat tulisan ini saya buat, upaya penyembuhannya belum saya tuntaskan.

 

Gara-gara kesehatannya yang tidak prima, saya jadi ikut kena dampak. Tujuan saya jadi sering terganggu. Niat hati sampai ke tempat tujuan jam satu siang, lantaran motor batuk-batuk dan mogok, butuh waktu dua kali lipat untuk menempuh perjalanan. Kadang, baru selepas Ashar saya tiba di tempat tujuan kerena harus mengantar Honda Karisma saya ke bengkel. Agenda, tujuan, yang telah saya susun sedemikian rupa, ambyar.

 

Motor memang sekedar alat. Gagasan utamanya: saya sampai ke tujuan. Bisa saja saya menumpang kendaraan umum, pinjam motor lain yang lebih sehat, naik ojek, dan lain sebagainya. Namun, tiap alat, tiap kendaraan, pasti punya persoalannya masing-masing.

 

Dalam konteks menyampaikan pesan, memang benar, teater sekedar alat. Sebagian orang kadang memandangnya tidak terlalu penting dibanding tujuannya: menyampaikan pesan. Yang terpenting pesan sampai. Kalau teater dianggap obrok-obrok, seperti motor Honda Karisma saya, tidak prima sebagai kendaraan pengantar pesan, mengantinya dengan kendaraan yang lebih laik adalah salah satu pilihan yang masuk akal.

 

Tapi, sekali lagi, tiap kendaraan, tiap alat, pasti punya persoalan masing-masing. Lagi pula, tidak semua kendaraan cocok untuk semua tujuan. Honda Karisma saya tidak bisa mengambang di laut, tidak pula bisa terbang di awang-awang. Jika harus berkendara melintas laut, mau tak mau, saya harus pilih antara kapal laut atau kapal udara. Bisa saja motor saya ikut, tapi juga pasti menumpang salah satu di antara kedua kendaraan itu.

 

Sebaliknya, repot jika harus menumpang pesawat terbang ketika saya hendak pergi dari rumah ke pasar yang jaraknya hanya tiga kilometer.

 

Anggaplah jenis kendaraan pengantar pesan itu telah ditentukan dan disepakati. Nah, persoalan selanjutnya adalah kondisi kendaraan. Agar perjalanan pengantaran pesan itu lancar dan tiap halang rintang mampu diatasi dengan baik, kendaraan harus berada dalam kondisi yang paling prima.   

 

Seperti motor, teater juga punya banyak komponen yang kerjanya saling mempengaruhi satu sama lain. Aktor yang bertalenta tetapi tidak dikelola dengan tepat jam latihannya, akan membuahkan hasil yang tanggung. Gagasan artistik yang keren tanpa dukungan tim manajemen keuangan yang handal, ya, rumpang sana-sini pastilah ada.

 

Kalau sudah begitu, kalau rumpang sana rumpang sini, kalau aktingnya tanggung, konsep panggungnya mentah, kalau tubuhnya tidak jujur, kalau wadag makna itu, kendaraan pengantar pesan itu, obrok-obrok seperti Honda Karisma saya, pesan yang hendak disampaikan pun sedikit banyak akan terdistorsi atau bahkan ambyar bin amburadul seperti tujuan saya yang berantakan gara-gara motor mogok.

 

Tujuan itu penting dan proses menuju tujuan itu sama pentingnya. Terlalu berorientasi pada tujuan, pada hasil, sampai-sampai abai pada proses, pada jalan, pada kendaraan, itu bahaya juga. Oleng. Tidak seimbang.

 

Idealnya, sebuah garapan teater itu komprehensif, holistik, menyeluruh. Gagasan dan ide sama pentingnya dengan persoalan teknis-operasional. Tujuan dan kendaraan sama pentingnya. Itu pun jika sepakat bahwa teater adalah “realitas”, kasunyatan. Bukankah “realitas” adalah totalitas segala kualitas di dalam dan di luar “aku”?

 

Kehendak akan adanya meja, umpamanya, tidak akan pernah menjadi realitas jika tidak ada laku yang mengupayakan hal tersebut. Gagasannya: ada meja. Teknisnya: bikin, beli, pinjam, minta, atau mencuri. Kalau bikin, siapa yang mengerjakan? Bikin sendiri atau menyuruh orang lain? Cat mejanya warna apa? Bentuknya seperti apa? Kalau mencuri, mencuri dari mana/siapa?

 

Seorang maestro teater pernah berkata bahwa teater adalah memanusiakan ide-ide. Dunia manusia bukan hanya berisi gagasan yang ngawang-ngawang dan konsep abstak saja, melainkan hal-hal yang konkret, yang teknis, juga bagian dari hidup manusia. Tujuan dan cara mencapainya, kendaraannya, keduanya urusan manusia. Keduanya sama pentingnya. Tinggal berbagi peran saja, siapa jadi apa. Bukankah dunia ini panggung sandiwara?

 

Panjalu, September 2020 


keterangan gambar:

Pementasan "Sabil" (adaptasi naskah "Wanita Yang Diselamatkan karya Arthur S. Nalan). Sutradara Ridwan Hasyimi. Produksi Gawe Bareng Sakola Motekar dan Gardu Teater, Ciamis, 27 Agustus 2020.


Minggu, 12 Juli 2020

Gara-Gara Sang Entah


Gara-gara corona, sholat berjamaah jadi berjarak. Demikian dianjurkan MUI dan demikian praktiknya di beberapa mesjid. Di Masjidil Haram juga. Yang lucu, mereka—sebagian masyarakat, atau kami, atau saya—sholat berjarak serentangan tangan tapi berswafoto berdempetan. Erat. Bahkan bersalaman tanda maaf-maafan ketika lebaran.

Sebagian menyarankan sholat Id di rumah. Sekeluarga saja. mungkin karena turut fatwa jadi berjarak juga. Anak perempuan dan ibu, anak lelaki dan ayah, berjarak. Padahal serumah, makan bersama, duduk sesofa. Ayah dan ibu malah sekasur. Tidak berjarak.

Kalau yakin betul, percaya, ia atau mereka tak bervirus, tidak usah berjarak juga tak apa. Memaksa berjarak malah jadi lucu. Atau aneh. Paradoks. Dengan anak sendiri, yang tiap hari dipeluk cium, tapi sholat berjauhan sebab manut anjuran. Semalam sepasang pasutri berhubungan badan. Dempet sekali. Bertukar ludah. Besoknya, mereka duduk berjauhan dalam satu mobil agar tidak kecipratatan percikan air ludah (droplet). Patuh aturan.   

Tapi, ya, memang repot juga kalau petugas harus bertanya apakah mereka yang semobil itu suami istri atau keluarga yang tinggal serumah. Harus cek buku nikah atau Kartu Keluarga. Jadi, ya, pukul rata saja: harus berjarak. Masa darurat memang aneh.

Jarak dibuat sebagai antisipasi terpapar percikan air ludah yang padanya virus bisa hidup. Intinya bukan jarak tapi antisipasi terkena percikan air ludah yang, jangan-jangan, mengandung SARS-CoV-2.

“Jangan-jangan” itu manifestasi “entah”. Ketidaktahuan memang sering bikin gelagapan. Sebab tidak tahu dan darurat, kita jadi percaya saja pada pemerintah. Manut tanpa bertanya. Mungkin, dalam kondisi normal kita sering tidak percaya pada pemerintah: omongannya, anjurannya, kebijakannya, apalagi janji. Tapi, ya, karena terdesak, akhirnya percaya juga.

Kenapa harus percaya pemerintah? WHO? Kenapa harus percaya? Sebab manusia tidak tahan berada dalam “entah” lama-lama. Harus ada yang menjawab “entah” kita. Ketidaktahuan kita. Sampai saat ini, mereka yang kita anggap punya jawabannya, meski tak terlalu pasti. Agama juga menganjurkan menyerahkan sesuatu pada ahlinya. Tidak perlu punya jawaban sendiri. Cukup makmum pada yang ‘alim.

Nah, yang ‘alim, yang pura-pura ‘alim, yang sok ‘alim kini campur aduk. Sang ‘alim A dan sang ‘alim B berdebat tentang corona, hal biasa dalam dunia ilmu pengetahuan. Tapi sebagian rakyat tidak biasa. Inginnya yang pasti-pasti. Apalagi dalam masa darurat. Perdebatan itu bisik-bisik saja. Jangan sampai wartawan tahu. Jangan sampai YouTube tahu. Bahaya! Lama-lama, bisa bikin rontok kepercayaan.

Kalau saja sejak kanak-kanak diajarkan bahwa ilmu pasti itu tidak pasti-pasti amat, perbedaan pandangan para ‘alim, para ilmuwan, tidak terlalu membuat kaget. Dulu orang percaya bumi datar dan dikelilingi matahari. Kitab Suci bilang begitu, masa tidak percaya. Setelah ilmu makin berkembang, dogma itu runtuh. Bumi itu bulat dan berputar mengelilingi matahari. Bukan geosentris tapi heliosentris. Kitab Suci disingkirkan. Atau dikoreksi. Atau, setidaknya, direinterpretasi.

Belakangan, gagasan bumi datar itu ramai lagi. Tidak hanya berdasar “ilmu pasti” tapi juga dibubuhi teori konspirasi. Pandemi ini juga tidak sepi dari teori konspirasi. Katanya, virus ini buatan segelintir orang. Tujuannya duit, dengan cara jual vaksin. Ada juga yang menyisipkkan kemungkinan depopulasi umat manusia. Demi kebaikan umat manusia dan alam, sebagian manusia harus mati. Mirip-mirip gagasan Hitler ketika membantai Yahudi dan orang-orang cacat.

Manusia tidak tahu asal muasal dan mau ke mana akhirnya. Agama memberi tahu, memberi jawaban. Sebagian percaya. Kemudian, setelah akal “cukup maju”, agama disingkirkan. Manusia punya jawabannya sendiri atas misteri sangkan paran. Sebagian mengoreksi jawaban lama. Sebagian tidak. Keukeuh pada iman dan agama. Sebagian ambil jalan tengah: agnostik.

Dalam ilmu alam, bidang yang mengkaji virus namanya virologi. Tapi, karena agama membahas dan mengurusi semua aspek kehidupan, hal ihwal virus juga bisa dibahasnya: virus adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan bukan tanpa tujuan. Tujuannya apa? Ujian, cobaan, teguran, azab, agar manusia makin bertakwa, agar manusia yakin bahwa hidup jangan jumawa: oleh mahluk miskroskopik begitu saja kacau seisi dunia. Tuhan, gitu lho. Maha Kuasa. Demikian, sebagian, yang beredar luas di media. Perenungan para tokoh agama.

Apakah “jawaban” itu membuat umat tenang? Ada yang tenang. Ada juga yang tetap resah. Ada yang puas. Ada yang masih penasaran.

“Entah” pupus dengan jawab. Terlepas dari benar atau tidak jawaban itu, tapi akhirnya jadi “tahu”. Yang bikin cemas itu, panik itu, ketidaktahuan. Ketidakpastian. Bukan ketidakbenaran. Kasarnya, salah juga tak apa asal pasti. Asal jelas.

Tapi, hati-hati. Kesalahan yang dilazimkan bisa jadi kebenaran juga ujung-ujungnya. Seperti kesasar di jalan. Bisa saja kesasar sebab jalanan samar. Lagi pula, kalau terus jalan, lama-lama asik juga menikmati ketersasaran. Yang lain juga banyak yang kesasar. Sadar dan menyesal kesasar setelah sampai tujuan. Maksud hati ke A, karena salah ambil jalan, malah sampai ke Q. Kan jauh sekali. Untuk kembali ke “jalan yang benar” harus putar balik. Melelahkan.

Sayangnya, tidak ada putar balik dalam rute hidup. Sudah mati, ya, sudah. Tapi dogma eskatologi agama cukup menenangkan. Mati sejatinya bukan tamat, selesai, melainkan “hanya” meningggal(kan) dunia (fana ini). Nanti, bakal hidup lagi (di dunia kekal): sorga atau neraka.

Eits, jangan terninabobokan. Lagi pula, dunia kekal itu bukan “wilayah hukum” manusia. Kalau mau terima, iman, terima saja sebagai kabar gembira. Atau jadikan sebagai motivasi. Kalau tidak terima, jangan nyinyir pada yang menerima. Biasa saja.

Normal Baru

Pemerintah Indonesia membuat skenario Normal Baru. Nadi ekonomi akan kembali didenyutkan. Bertahap. Intinya, kegiatan ekonomi dan lain sebagainya akan berjalan lagi tetapi dengan variabel baru: protokol kesehatan COVID-19. Tapi, apakah cuma itu isinya Normal Baru?

Yang diurusi pemerintah memang itu. Regulasi. Aturan. Tapi, yang terkoreksi bukan cuma hal ihwal aturan kerja. Bukan sekedar ekonomi. Sistem nilai di masyarakat juga akan terkoreksi dengan sendirinya. Sebagian orang boleh jadi akan menerapkan kecurigaan alih-alih waspada dan hati-hati terhadap pendatang. Apalagi yang datang dari zona merah.

Atau mungkin orang-orang sudah muak dan lelah dengan syak wasangka. Akhirnya ambil jalan tegas: membolehkan sama sekali atau melarang sekalian. Jalan tengah selalu melelahkan. Harus jaga keseimbangan. Tidak terlalu curiga. Tidak terlalu percaya. Gara-garanya: “entah”.

Hidup dengan Normal Baru adalah hidup dengan sang “entah”. Hidup dengan “jangan-jangan”. Awalnya pasti kagok, kikuk, kaku. Merasa aneh. Tidak boleh berdempetan. Harus ber-masker. Sementara pemeriksaan dan pengobatan berlangsung di laboratorium dan rumah sakit, pencegahan  akan terjadi di mana-mana. Inilah Normal Baru.

Dunia kosmetik dan kecantikan wajah akan mengalami pukulan berat. Produsen pemerah bibir atau pengharum nafas pasti cari akal biar selamat. Mungkin banting stir jadi produsen masker sebab akan jadi mode juga akhirnya. Jadi fesyen. Akan ada masker berenda, masker bertahta intan berlian, masker yang dijahit dengan benang emas. Atau mungkin masker transparan anti sesak.

Kelak, popularitas masker akan bersaing—secara bisnis—dengan face shield (pelindung wajah). Atau bisa saja memproduksi keduanya. Sekaligus. Ah, bisnis memang selalu bisa menemukan celah. Dan selalu ada pembeli yang bersedia “ditipu.”

Setelah masa kagok itu, semua akan biasa-biasa saja. Akan “normal”. Wajah bermasker adalah kewajaran. Yang tidak, boleh jadi mendapat cibiran. Meja restoran bersekat adalah kelaziman. Warteg-warteg akan cari akal sebab “ruang makannya” tak cukup luas untuk turut protokol kesehatan.

Bagaimana nasib karnaval, festival-festival, pasar malam, tradisi dan kesenian etnik yang melekat padanya keberdempetan, keberdesakan, intimasi fisik? Agak sukar membayangkan Grebek Syawal di Yogyakarta atau panjat pinang Agustusan dengan jarak fisik. Lantas, apakah tradisi dan hal komunal nan berdesak-desakan semacam itu akan punah dengan sendirinya? Oleh sang “entah”?

Wabah Maut Hitam yang melanda Eropa dan Asia 700-an tahun lalu mengajarkan banyak hal. Betapa sang “entah” membuat koyak kehidupan. 75 juta orang mati. Ribuan Yahudi dan “yang liyan” diburu sebab diyakini sebagai pembawa petaka wabah. Tatanan sosial dan budaya saat itu porak-poranda.

Bencana Virus Corona 2019 tidak semerusak itu. Mudah-mudahan. Ilmu pengetahuan lebih maju dari 7 abad lalu. Kecurigaan tanpa dasar—seperti memburu Yahudi—akan ditertawakan. Bahkan tabrakan dengan HAM. Sang “entah” tidak terlalu mengerikan seperti di masa lalu. Tapi ia tetap ada.

Jika dahulu sang “entah” muncul karena kurangnya informasi dan pengetahuan, kini ia muncul justru karena terlalu banyaknya, banjirnya, informasi dan pengetahuan. Selamat datang di era Pasca Kebenaran. Masa ketika kebenaran menjadi “benar” sejauh ia viral dan diimani banyak orang. Benar bukan kualitas. Kini, ia jadi kuantitas.

Normal Baru pasca pandemi yang terjadi di era Pasca Kebenaran butuh kewarasan yang ajeg dan konsisten untuk dilakoni. Sementara itu, harapan harus terus nyala dan diupayakan. Bahan bakarnya adalah percaya.

Iman pada sorga atau tidak, konsiprasi atau bukan, yakinlah corona ini akan berlalu. Percayalah pada siapa pun, apa pun, yang menawarkan optimisme. Salah atau benar kepercayaan kita, itu urusan nanti. Percaya saja dulu, agar harapan tak mati. Sambil terus waspada.

Seperti kata Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam serat Kalathida-nya: “….begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, lebih bahagia orang yang eling (sadar, ngeh, ingat) dan waspada.

Bagaimanapun nantinya Normal Baru itu, masih berjarak atau tidak sholat berjamaah kelak, life must go on!
 
Panjalu, 26 Mei 2020

ket. gambar:
Tayuban, suatu ketika tahun 2009 di Padepokan Seni Rengganis Ciamis.

Selasa, 23 Juni 2020

Teater Dalam Jaringan, Teaterkah? (II)


Nonton teater dan nonton video (dokumentasi) teater adalah dua hal yang  berbeda. Video teater adalah arsip, bukan teater itu sendiri. Dewasa ini, karena larangan berkumpul akibat pandemi, banyak kelompok atau seniman teater yang menyelenggarakan pertunjukannya dalam jaringan (online). Yang ditonton, tentu saja, video.

Ada yang disiarkan langsung (live streaming) baik di YouTube, Facebook, Instagram, atau media lainnya. Ada juga yang disiarkan secara tak langsung. Beberapa media penyiaran video memiliki pengaturan agar video yang ditayangkan hanya bisa disaksikan pada saat ia disiarkan. Artinya video tersebut tidak tersimpan di dunia maya, tidak dapat disaksikan berulang-ulang.

Hal ini mirip cara nonton teater secara langsung. Menunggu tayangnya video tersebut persis seperti menunggu dimulainya pertunjukan di “panggung”. Dan ketika pertujukan selesai, penonton tak bisa memutar ulang video itu. Video itu langsung dan sementara, namun tak “di sini”.

Prihal “di sini”, memang bisa diperdebatkan bila definisi ruang mengalami koreksi atau diperluas. Dalam konteks nonton teater secara konvensional (luring/luar jaringan), “di sini” dapat dimaknai penonton dan pemain sama-sama berada di satu ruang yang sama, yakni ruang pertunjukan. Keduanya sama-sama menciptakan “panggung”. Penonton dan pemain tak butuh media apa pun untuk berinteraksi. Di sanalah letak “ketelanjangan” teater.

Nah, dalam teater daring, ruang itu tetap ada. Penonton dan pemain tetap berjumpa di ruang yang sama: ruang maya. Ruang yang diciptakan dari rangkaian algoritma rumit. Penonton dan pemain sama-sama meninggalkan ruang tempat tubuh mereka berada.

Yang “hadir menonton” adalah wakil tubuh dalam bentuk data. Bahkan semuanya telah ditransformasi menjadi data. Video, ketika masuk jaringan internet, kan jadi data.

Peristiwa teater direkam. Peristiwa yang sedemikian kompleks itu dimampatkan menjadi data sekian gigabita (byte). Lantas diunggah ke jaringan internet. Enkode. Jadi algoritma. Biasanya termampatkan menjadi lebih kecil. Ter-compress. Kini peristiwa itu adalah deretan angka, huruf, tanda baca, dan simbol matematis lainnya.

Agar dapat ditonton, kode-kode itu harus diterjemahkan. Dekode. Menjadi sajian audio visual. Menonton teater daring tidak “sesederhana” menonton teater secara konvensional. Musti ada perangkat teknologi yang mendukung. Termasuk jaringan internet dan biaya untuk mengaksesnya.

Teknologi itu, sebut saja media. Atau jembatan. Teater yang disiarkan langsung maupun tak langsung sama-sama membutuhkan jembatan agar sampai kepada penonton, dengan reduksi seminimal mungkin.

Secara sederhana, jembatan itu bisa berupa alat rekam, perangkat keras dan perangkat lunak yang menungjang semua kegiatan dalam jaringan, aksesibilitas jaringan internet, dan media penyiar video (YouTube, Facebook, IG, dll.)

Begitu panjang perjalanan teater agar dapat genap menjadi peristiwa. Itu pun peristiwa “separo” maya sebab penonton dan pemain berjumpa “ruang ketiga” yang maya. Nonton teater luar jaringan, ruang hanya ada satu: ruang peristiwa, ruang nyata. Penonton dan pemain berjumpa “di sini”.

Pada teater daring, jadi tercipta ruang ketiga: satu ruang pemain (misalnya, kelompok A merekam pertunjukannya di Ciamis, Jawa Barat), satu ruang penonton (misalnya, salah satu penontonnya duduk manis di depan laptopnya di Goa, Sulawesi Selatan), satu ruang perjumpaan (peristiwa “di” Ciamis berjumpa dengan penontonnya “di” Goa “di” kanal YouTube Indonesia Kaya, umpamanya). 

Teater Dalam Jaringan


Videografi

Tidak ada yang salah dengan menonton atau membuat teater untuk ditonton daring. Yang kadang mengganggu adalah abainya pegiat teater terhadap videografi padahal pertunjukannya itu disiapkan untuk ditonton daring. Artinya, yang ditonton, bagaimanapun, kan video.

Karena yang (akan) ditonton adalah video, maka ilmu, teknik, serta perangkat videografi patut untuk diperhatikan.

Yang sederhana: mata kamera adalah mata penonton, batas panggung adalah bingkai kamera,  mikropon adalah telinga penonton. Demikian pula tata cahaya. Lensa kamera belum ada yang persis 100% dengan lensa mata manusia. Intensitas cahaya yang dikatakan meujeuh oleh mata manusia, boleh jadi berlebih oleh lensa kamera. Demikian pula jarak pandang.

Bila hendak menghadirkan sudut pandang (angle) yang mirip dengan sudut pandang penonton di teater luring, satu kamera saja cukup. Atur jarak kamera ke panggung agar seluruh area bermain masuk dalam bingkai kamera. Gunakan tripod atau apa saja untuk menyangga kamera agar ajeg/stabil. Jika menghendaki audio sebening dalam film, gunakan perangkat audio tersendiri (jangan mengandalkan audio kamera).

Sajian semacam itu, sebut saja dokumentasi pertunjukan. Pentas teater yang direkam.

Namun, jika menghendaki sudut pandang yang macam-macam, seperti dalam film, ya, jangan nanggung. Mengubah-ubah fokus, sudut, dan jarak pandang secara cepat hanya dimungkinkan oleh kamera. Mata manusia tidak bisa zoom in-zoom out, tiba-tiba close up setelah sebelumnya long shot. Kalau mau begitu, jadikan saja film sekalian. Atau video art.

Pada karya yang demikian teater diposisikan sebagai bahan dasar dari suatu karya videografi atau sinematografi. Jadi objek gambar. Lihat Opera Jawa-nya Garin Nugroho, umpamanya. Itu film yang menggunakan, salah satunya, teater sebagai bahan.

Jika demikian, kan dimungkinkan juga ada efek-efek yang masuk ketika proses penyuntingan. Kalau yang seperti ini namanya bukan lagi dokumentasi pertunjukan, melainkan karya seni videografi atau sinematografi sekalian. Atau luasnya: video art. Sudah lintas disiplin (ilmu) seni. Formulanya tidak hanya  menggunakan tetekon panggung namun juga kaidah serta kepantasan seni video/film.

Apa pun pilihanya, yang penting berkarya.
Vita Bravis Ars Longa.

Panjalu, 23 Juni 2020 

keterangan gambar: 
tangkapan layar video teater daring "Vaksin" produksi Gardu Teater. Disiarkan di IG TV Gardu Teater. 

     

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...