Sepanjang jalan pulang dari Studio
Ngaos Art ke rumah, ditemani gerimis, saya terus menimbang-nimbang.
Merenungkan. Mengunyah dan kembali mengunyah pertunjukan “Geblug” yang tuntas
saya tonton malam itu, Sabtu, 27 Maret 2021.
“Geblug” adalah adaptasi bebas
sutradara AB Asmarandana dari drama “Bencana” karya Samuel Beckett. Menilik kecenderungan
Abuy—sapaan akrab AB Asmarandana—yang kerap berikhtiar membumikan teater di
tempat ia berpijak, besar kemungkinan “Geblug” yang dimaksud dipinjamnya dari bahasa
Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata geblug digolongkan kecap panganteur
‘kata pengantar’. Kata ini khusus untuk “mengantar” kata jatuh (labuh). Geblug
labuh. Siapa/apa yang jatuh malam itu?
Di masa pandemi ini, kecuali industri
farmasi, penjual pulsa, paket data, wifi, serta bisnis aplikasi dalam jaringan
tertentu, semuanya jatuh. Moral juga. Khususnya sejumlah pejabat di Tanah Air. (Eh,
salah. Moral mereka sudah jatuh sejak jauh-jauh hari sebelum Corona menerjang. “Banyak
yang main drama di luar panggung,” demikian dialog Bu Mimi dalam “Geblug”.)
Teater juga jatuh. Beberapa seniman
dan kelompok teater sampai nyungseb. Tak berdaya dalam arti sebenarnya. Geblug.
Diciptakan khusus untuk
dipentaskan pada momen Hari Teater Sedunia (Hatedu), “Geblug” dapat dimaknai
sebagai jatuhnya teater. Dari panggung ke ruang-ruang virtual. Dari “panggung
normal” ke “panggung darurat”. Atau ke kesepian sama sekali. Panggung sepi.
Lampu-lampu mati. Aktor nganggur. Sutradara bengong. Geblug, teater
jatuh.
“Geblug”nya Ngaos Art tidak
sendiri. Ia juga punya “kecap panganteur”: Malu-Malu Hatedu. Makin jelas
siapa yang jatuh. Hatedu yang biasanya diperingati meriah, penuh keyakinan dan
percaya diri, kini harus secara malu-malu. Penonton dibatasi. Harus jaga jarak
pula.
Meski malu-malu, “Geblug” tidak
malu-maluin. Pertunjukan dibuka dengan video tentang latar belakang peringatan
Hatedu yang dicetuskan International Theater Institute pada tahun 1961.
Penonton juga diajak “ziarah” ke reruntuhan theatron kuno di Yunani dan
Colosseum di Italia. Tentu saja via layar besar yang disorot proyektor yang
juga berfungsi sebagai latar panggung.
Setelah jalan-jalan ke tempat
bersejarah itu, penonton diajak mengenal wajah para karuhun ‘leluhur’
teater dunia dan Indonesia. Wajah William Shakespeare, Stanislavsky, Bertolt
Brecht, Bernard Shaw, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Rendra, Suyatna Anirun, Teguh
Karya, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rachman Sabur, dan tokoh
teater lainnya hadir silih berganti di layar besar itu. Aya ma baheula
hanteu tu ayeuna, kata Amanat Galunggung. Karena ada masa lalu maka ada
masa kini.
Kapan pertunjukan dimulai? Apakah slide-slide
itu juga bagian dari pertunjukan? Semacam “kecap panganteur”?
Pertunjukan dimulai ketika
sutradara dan penonton menganggapnya dimulai. Slide-slide itu, buat
saya, bagian dari pertunjukan juga. Justru penting. Ia memberi konteks pada “Geblug”:
Hari Teater Sedunia.
Setelah “kecap panganteur”,
lima pemain bertopeng setengah wajah muncul (Jimat, Alvin, Mimi, Kahfi, Rizky).
Rambut mereka adalah tali rapia berbagai warna. Meski sama-sama berbusana keresek
hitam, topeng dan rambut mereka berlainan. Mereka memainkan potongan “Menunggu
Godot”nya Beckett. Bagian awalnya. Tentang pencarian.
Tak begitu lama mereka “Menunggu
Godot”. Adegan berikutnya adalah potongan atau fragmen dari “Kereta Kencana”nya
Eugene Ionesco. Juga bagian awalnya, sampai pada dialog “…akan datang sebuah
kereta kencana untuk menyambut kita berdua”. Tentang harapan dalam penantian.
Apa yang dinanti Kakek dan Nenek “Kereta
Kencana” terjawab di fragmen berikutnya: “Nyanyian Angsa”. Para pemain
bertopeng setengah wajah itu sebagiannya berubah menjadi set. Dua di antara
mereka menjadi Vasili dan Nikita Ivanitch. Drama karya Anton Chekov ini mengisahkan
seorang aktor tua yang sepenuhnya membaktikan diri kepada panggung, yang kaya
akan pengalaman pentas, namun perlahan tapi pasti ditinggalkan penonton di usia
senjanya. Decak kagum dan tepuk tangan tak semeriah dulu. Vasili mati dalam
sepi. Persis seniman teater di masa pandemi. Kisah kesepian.
Untuk beralih dari satu fragmen ke
fragmen lain, sutaradara membuat adegan jembatan. Atau transisi. Alih-alih
menikmati perjalanan di tengah jembatan yang khas, adegan-adegan transisi yang
dihadirkan cenderung tergesa-gesa. Seperti wajib pendek dan cepat, tapi harus
cair (dan menjadikan cari).
Transisi yang take off dan landing-nya
paling nyaman adalah perpindahan dari “Nyanyian Angsa” ke “Bencana”. Itu pun
jika adegan tersebut dimaksudkan transisi. Durasinya paling panjang di antara
adegan transisi yang lain. Di sana, semua pemain membuka topengnya dan menjadi
“diri sendiri”. Selayaknya aktor yang rehat latihan, mereka minum, merokok, dan
bercanda, sambil sesekali menertawakan nasib mereka sendiri sebagai “anak
panggung”.
Satu dua dialog berisi kritik
kepada penonton teater yang kadang terlalu bersemangat mengomentari pertunjukan
sebelum tuntas mengunyahnya. Juga kritik pada kondisi teater sendiri. “Atap
bocor? Tambal dengan puisi,” katanya. Berdempetan dengan dialog tentang habisnya
beras di sekretariat mereka, menambal atap bocor dengan puisi bikin penonton—yang
sebagian besarnya penggiat teater—nangis dengan tawa. Geblug.
Pada adegan ini, penonton dengan
daya tangkap kelas receh macam saya sedikit demi sedikit ngeh. Oh, fragmen-fragmen
yang tadi mereka mainkan itu adalah bagian dari latihan mereka sebagai aktor. Jadi,
ada drama dalam drama. Lima aktor berlatih drama “Menunggu Godot”, “Kereta
Kencana”, dan “Nyanyian Angsa” dalam drama “Bencana”. Sederhananya, itulah cerita
“Geblug”.
Sayangnya, meski aktor-aktor itu
berakting dan bernyanyi dengan total, sutradara tidak menghendaki mereka berada
di panggung. Ketika para aktor itu asik ngobrol, aktor utama (Ikhsan Kumis)
datang. Lalu sutradara (Kiki “Kido” Pauji). Mereka mempresentasikan hasil eksplorasi,
menyanyikan lagu prihal bencana alam dan bencana lainnya.
“Ini kontekstual,” kata asisten
sutradara (Wawam Nur). Tapi sang sutradara bertopi copet abu itu tak terima. Dengan ringan ia
menyuruh asistennya untuk tidak lagi memainkan mereka di atas pentas. Di panggung
tinggal sutradara, asisten, dan aktor utama.
Dalam banyak tradisi kelompok
teater di dunia, termasuk di Indonesia, sutradara adalah sentral dari
segalanya. Kata-katanya seakan sabda tak terbantahkan. Keinginan dan cita rasa
estetiknya adalah jalan kebenaran tak terinterupsi. Aktor kadang kala tak
ubahnya bak boneka dalam arti sesungguhnya. Sutradara adalah dewa tanpa cela.
Sutradara macam inilah yang
digambarkan dalam “Bencana”nya Beckett. Juga dalam “Geblug”. Sutradara maniak
estetika yang sering kali sebelas dua belas dengan “…penyair-penyair salon yang
bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di
sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki
dewi kesenian,” meminjam “Sajak Sebatang Lisong”nya Rendra.
Benang merah “Bencana” masih terjaga
seperti teks aslinya. Adaptasinya lebih pada menambah adegan di depan. Memberi konteks.
“Bencana”nya Beckett “dipinjam” untuk menyalurkan kegelisahan “bencana” versi penggarap.
“Bencana” itu berlatar sesi latihan
terakhir pertunjukan. Sutradara memeriksa hasil kerja asistennya. Di depannya,
seorang aktor berdiri mematung di atas sebuah balok kayu. Ia menanyakan
sekaligus mengoreksi banyak hal tentang kostum, rambut, topi, tangan, dan arah
pandangan sang aktor kepada asisten.
Segala yang dikerjakan asisten dirombaknya
habis-habisan. Sekilas saja penonton dapat mengerti bahwa sutradara semacam itu
patut disebut sutradara otoriter. Sementara sang aktor manut saja tanpa tawar-menawar.
Apalagi memberontak. Di penghujung, sutradara menganggap “hasil ciptaannya”
mantap lalu terdengarlah suara penonton bertepuk tangan. Ia pergi. Sambil mengangkat
kepala menatap kepergian sutradara, aktor itu bilang, “bajingan, belum juga kau
menghabisiku.”
Sebagaimana garapan Abuy
sebelum-sebelumnya yang kaya akan lagu, “Geblug” pun begitu. Lagu ada di awal,
tengah, dan akhir. Yang terakhir, liriknya berisi bencana wabah dan sejumlah
bencana alam: banjir, gempa, badai, naiknya permukaan air laut, gunung meletus.
“Sampai begitu mata terbuka, kita tak lagi melihat manusia,” demikian lirik terakhir
di lagu pamungkas. Geblug. Manusia jatuh karena bencana.
Apa sih yang ingin
disampaikan sutradara?
Jawaban pertanyaan itu saya juga
tidak tahu. Harus tanya ke Abuy langsung. Saya enggan bertanya. Ngga asik
bertanya tentang maksud sebuah karya seni langsung pada seniman kreatornya. Kecuali
senimannya bocor: setelah berdarah-darah menciptakan karya, cermat, teliti, dan
hati-hati menggunakan simbol, ujung-ujungnya dijelaskannya juga secara verbal.
Kalau masih bertanya juga, apa
artinya menonton? Mengapresiasi? Sebagai penonton kelas receh, saya hanya
berikhtiar memahami apa yang saya tonton dengan segala keterbatasan saya.
Seperti saya tulis di atas, secara
singkat “Geblug” bisa saja dikunyah cepat tentang lima aktor nu teu kapaké
ku sutradara yang otoriter. Ia malah memilih mematut-matut aktor utama
semaunya sendiri. Ditawari hal kontekstual, ia enggan. Geblug. Aktor tak
berdaya. Seniman dan kesenian jauh dari kehidupan. Geblug.
Tapi masa iya cuma itu? Sebagai
penonton, saya, dan juga barangkali yang lain, kan bertanya: kenapa memilih fragmen
lakon-lakon absurd? Kenapa tidak lakon realis saja biar gampang dikunyah? (Eh,
siapa bilang realis gampang dikunyah? Drama realis juga terkadang berlapis-lapis.
Persis kehidupan.)
Ketika ngobrol santai usai
pertunjukan, Abuy bilang bahwa kecuali “Bencana”, semua lakon yang fragmennya
dimainkan itu pernah ia pentaskan. Semacam nostalgia di Hatedu.
Saya tidak puas jika “Geblug”
sekedar romantisme personal sutradara belaka.
“Geblug” adalah gambaran absudrnya
dunia hari ini. Barangkali juga termasuk (kondisi) teater. Orang-orang mencari
sesuatu yang bahkan tak diketahuinya secara pasti (“Menunggu Godot”). Lelah mencari,
mereka (atau kita?) menanti. Dalam penantian yang juga tak pasti itu, mereka/kita
berharap sesuatu itu datang (“Kereta Kencana”). Tapi, setelah semua dilalui,
yang dinanti itu tak kunjung tiba. Ujung-ujungnya, sendiri dalam sepi (“Nyanyian
Angsa”). Semua adalah sia-sia, seperti aktor yang mati-matian latihan tapi
sutradara tak berkenan (“Bencana”).
Geblug.
Seperti drama realis yang kadang
berlapis-lapis, “Geblug” juga begitu. Bencana yang dimaksud bukan cuma bencana
absurditas manusia, tapi juga bencana lainnya. Kontekstulisasi “Bencana” dengan
kondisi hari ini dilakukan lewat lagu yang isi liriknya tentang bencana, alam
dan non alam, yang bertubi datang silih berganti.
Lapis dan kontekstualitas yang
lain, Malu-Malu Hatedu: “Geblug” juga dipentaskan dalam rangka penggalangan
donasi untuk pengobatan dan perawatan Mas Gajah, seorang aktivis budaya
Tasikmalaya yang beberapa waktu lalu geblug juga. Ia kena bencana. Kecelakaan
motor. Kelingking kaki kirinya harus diamputasi. Beberapa ruas tulang di kaki
kirinya patah.
Dengan ini, Abuy dan Ngaos Art
menolak bencana: terpisahnya kesenian dari kehidupan.
(Tak lama setelah “Geblug” pentas,
Indonesia kembali diterjang bencana. Bom meledak di depan Gereja Hati Yesus
Yang Maha Kudus (Gereja Katedral) Makassar, Sulawesi Selatan. Itu bencana juga.
Bencana kemanusiaan. Geblug lagi.)
Sekilas “Bencana” karya
Samuel Beckett
Teks ini pertama kali ditulis
dalam bahasa Prancis pada tahun 1982 dengan judul “Catastrophe”. Pada tanggal
21 Juli 1982, “Catastrophe” dipanggungkan untuk pertama kalinya dalam sebuah
festival seni di Prancis, Festival d’Avignon. Dua tahun berikutnya, versi
bahasa Inggrisnya dipublikasikan The Evergreen Review di Amerika Serikat.
Naskah ini didedikasikan Beckett
untuk kawannya sesama dramawan asal Ceko, Václav Havel. Havel adalah seorang dramawan,
penulis, sekaligus politisi. Melalui drama-dramanya, ia mengkritik pemerintahan
komunis Cekoslowakia yang otoriter. Seperti
umumnya nasib seniman kritis di negeri tiran, ia dipenjara karena lantang
bersuara.
Havel termasuk aktor utama dalam
Revolusi Beludru, revolusi tanpa kekerasan di Cekoslowakia pada tahun 1989 yang
mengakhiri kekuasaan komunis di negeri Eropa Tengah itu. Di tahun yang sama, ia
didaulat menjadi Presiden Cekoslowakia ke-10. 1 Januari 1993, negara ini bubar
dan pecah menjadi dua, Republik Ceko dan Republik Slowakia. Havel menjadi
Presiden Republik Ceko yang pertama dan menjabat sampai tahun 2003.
“Catastrophe” menggambarkan betapa
otoriternya Cekoslowakia di bawah pemerintahan komunis. Aktor atau yang dalam
teks aslinya disebut protagonist adalah simbol dari warga negara. Sementara
sutradara, asisten, dan operator lampu adalah simbol dari “diktator proletar”.
Demikian represifnya negara terhadap
warganya. Apa yang dikehendaki sutradara terhadap sang aktor adalah apa yang
dikehendaki negara otoriter terhadap warganya. Kepasrahan. Ketakberdayaan. “Semua
kutandai ke arah kematian,” kata sutradara dalam satu dialog. Warga negara,
perlahan atau segera, ditekan sampai-sampai menuju “ke arah kematian”.
Hal ini disimbolkan Beckett secara
jelas dengan mengikat tangan aktor dan memintanya menundukan kepala. Jelas, itu
tanda tunduk-patuh. Ketika sang asisten mengajukan ide mulut aktor disumbat
agar tak bersuara, sang sutradara menolak. Ia bukan kasihan. Melainkan yakin
dengan mantap: tanpa sumbat mulut pun, aktor (baca: warga negara) tidak akan
bersuara. “Tidak secicit pun,” katanya.
Menjelang tamat, asisten mengajukan
ide agar kepala aktor sedikti mengangkat. Sutradara murka. Pada bagian ini muncul
kata “bencana” dari mulut sutradara: “Ya tuhan! Apa lagi? Mengangkat kepalanya?
Kau pikir di mana kita? Di Patagonia? …Baik. Di sanalah bencana kita…”
Dalam konteks “Catastrophe” menyebut
Patagonia sebagai bencana berarti merujuk Pemberontakan Patagonia atau Patagonia
Trágicia. Pemberontakan Patagonia adalah sebutan untuk pemogokan pekerja peternakan
domba sekaigus pabrik wol dan penindasan terhadapnya oleh pemerintah yang
terjadi antara tahun 1920-1922 di provinsi Santa Cruz, Argentina. Sekitar 300-1.500
pekerja tewas dibantai aparat, termasuk mereka yang telah menyerah.
Peristiwa itu dilatarbelakangi
krisis ekonomi yang mendera Patagonia-Argentina pasca Perang Dunia I. Usai perang,
harga wol turun drastis gara-gara rendahnya permintaan pasar. Argentina yang
menjadikan peternakan domba dan wol sebagai salah satu komoditas utamanya
kelabakan. Krisis tak terelakan.
Para pemilik modal nyaris gulung
tikar. Demi menyelamatkan perusahaan, mereka melakukan berbagai efisiensi. Akibat
dari upaya ini, yang paling tersiksa adalah para pekerja. Akhirnya, mereka berontak,
mengajukan sejumlah hal terkait perbaikan kerja. Salah satunya kenaikan upah
dan minta agar libur ditambah. Saat itu hari libur hanya Minggu. Mereka minta
agar tidak ada pekerjaan di hari Sabtu.
Tuntutan ditolak. Serikat pekerja
membalasnya dengan mengumumkan pemogokan masal. Kerusuhan pecah lantaran polisi
bertindak semena-mena terhadap pekerja. Beberapa pimpinan serikat pekerja
ditangkap. Dengan cepat kerusuhan menyebar. Kerusuhan dua tahun itu berhasil
dipadamkan di bawah pemerintahan Presiden Hipólito Yrigoyen pada tahun 1922.
Ini adalah sejarah kelam Patagonia
Argentina. Ketika warga negara “mengangkat kepala”, mendongak menatap negara,
pada titik itu bencana terjadi. Pemerintah otoriter benci warga negara yang “mengangkat
kepala”.
Hal ini yang hendak disampaikan
Beckett. “Catastrophe” disebut-sebut sebagai naskah Beckett yang paling politis
sekaligus optimis. Di akhir cerita, seperti yang saya sebut di atas, aktor mengangkat
kepalanya, memastikan (suara tepuk tangan) penonton. Adegan “mengangkat kepala”
ini adalah pesan kuat yang hendak disampaikan dramawan pemenang Hadiah Nobel
Sastra tahun 1969 tersebut. Warga negara, betapa pun nampak pasrah dan tak
berdaya, akhirnya akan bangkit juga. Akan “mengangkat kepala” melawan tiran.
“Catastrophe”, ya, akhirnya geblug
juga. Geblug, warga negara labuh. Tapi bangkit lagi. Seperti
teater di masa Corona. Geblug. Tapi (harus) bangkit lagi. Demi hidup
yang lebih baik.
Panjalu, 28-30 Maret
2021
Keterangan gambar:
"Geblug", adaptasi bebas oleh sutradara Ab Asmarandana dari naskah "Bencana" karya Samuel Beckett. Produksi Ngaos Art, 26-27 Maret 2021. Dipentaskan di Studio Ngaos Art, Kota Tasikmalaya. (dokumentasi pribadi alias hasil motret sendiri).